Saya hanya ingin menikmati
kebebasanku menjalani hidup. Bebas mengabaikan atau mengikuti kebiasaan
masyarakat yang kurasa tidak sesuai denganku. Saya hanya ingin melakukan
sesuatu yang membuatku bahagia. Percuma saja bermanis muka, bersusah payah
mengerjakan sesuatu yang membuat kita tersiksa. Memoles diri, mencitrakan diri
di depan orang lain hanya untuk mendapat satu dua kata pujian. Puihhh bagiku
itu sampah. Banyak yang bilang saya liberal.
Berbicara tentang
liberal, saya yakin banyak di antara kawan-kawanku yang mulutnya fasih
mengucapkan kata liberal. Benci setengah mampus dengan diksi itu, tapi sama
sekali tidak mengerti maksudnya. Mintalah menjelaskan definisi liberal dan
kaitannya terhadap agama dan kehidupan. Saya yakin, mereka akan gelagapan
sendiri. Saya bukan pengagum kaum moralis, liberalis, sosialis, pluralis,
komunis, masokis atau is-is dan me-me lainnya. Saya masih meyakini ajaran agama sayalah yang
seharusnya jadi acuan dalam menjalani hidup, tentunya dengan cara yang paling
tepat untuk saya. Tapi bagaimanapun juga
banyak nilai-nilai kebaikan universal yang harus kita junjung tinggi. Banyak
perbedaan di antara kita yang harus dihormati, bahkan di antara penganut agama
yang sama pun kita menemukan jurang menganga yang membatasi kita. Sedikit berlapang
dadalah.
Menurutku kehidupan
beragama dewasa ini bergeser dari ibadah yang penuh esensi, ibadah yang begitu
suci, ibadah yang sakral menjadi ibadah yang penuh formalitas dan ritualitas
semata. Kita hanya dituntut untuk melakukan sesuatu sesuai manual guide yang
telah ditetapkan. Kita tidak diperkenangkan mengajukan pertanyaan, meminta
penjelasan apalagi melakukan kritikan. Kita hanya menerima tanpa harus memaknai.
Saya sering bertanya
tentang Tuhan, tentang keadilan-Nya, dan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang
selama ini otak saya sendiri belum mampu mencernanya. Tapi kata mereka Tuhan
terlalu suci untuk dipertanyakan. Saya bingung, bukannya to get answers, must
ask a questions. Mereka lagi-lagi bilang saya liberal, kenapa tidak sekalian
saja bilang saya kafir. Terakhir mereka
menyuruh saya ke rumah ibadah. Berdoa dan bertanyalah kepada Tuhan langsung.
Dulu saya tak yakin
kita bisa menemukan Tuhan di antara tempat-tempat peribadatan dengan
kilauan-kilauan cahaya lampunya yang seterang permata itu. Bagaimana tidak,
datanglah ke rumah peribadatan dan
lihatlah apa yang dilakukan orang-orang di sana. Mereka sibuk mencela sesama
saudara seimannya. Sibuk mengagung-agungkan golongannya, sibuk mencitrakan
dirinya sebagai golongan yang paling benar. Entahlah.
Tapi bukan berarti saya tak pernah menemukan
Tuhan. Saya pernah menemukan Tuhanku di
sebuah koridor rumah sakit, bersama orang-orang yang putus asa, justru di
tempat inilah orang-orang yang telah kehilangan Tuhan akan menemukan-Nya
kembali. Tuhan itu ada, pasti ada, dan saat itu saya berdoa. Saya berdoa supaya
Dia mengampuniku yang telah bertahun-tahun meninggalkan-Nya, mengampuniku yang
telah khianat, berbohong dan melakukan dosa seenaknya hanya untuk berpaling kepada-Nya
di saat aku membutuhkan-Nya. Saya berdoa kepada-Nya Yang Maha Pengampun, Yang
Maha Penyayang, Yang Maha Pemurah seperti yang ada di dalam kitab-kitabnya. Saya
bersujud dan menciumi lantai. Saya beroda setelah sekian tahun melupakan Tuhan.
NB: Kadang saya
takut dengan apa yang terbersit di pikiranku
0 komentar: