Namanya Mamasa, negeri ini berselimut kabut. Di Subuh hari suhu udara bisa mencapai 7 drajat. Tempat ini dikelilingi gunung-gunung tingg...

10 Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Mamasa

Namanya Mamasa, negeri ini berselimut kabut. Di Subuh hari suhu udara bisa mencapai 7 drajat. Tempat ini dikelilingi gunung-gunung tinggi, jalanan berliku-liku dengan jurang yang menganga lebar di kiri kanannya. Tempat ini seakan berada di dimensi yang berbeda, menyendiri tersembunyi di lereng-lereng gunung Gandang Dewata. Mamasa seperti dimensi lain yang jauh, ada semacam tembok portabel tak kasat mata yang membatasi kehidupan di sana dan kehidupan dunia luar. Bahkan dulu  hingga akhir tahun 80an perjalanan Mamasa-Polewali ditempuh tiga hingga empat hari lamanya. Barulah di tahun 1988 Perjalanan Mamasa-Polewali bisa ditempuh dengan Kendaraan roda dua. Perlahan tapi pasti saya rasa Mamasa mulai menemukan masa depannya.

Mamasa memerdekakan diri dari Induk Kabupatennya baru beberapa tahun yang lalu, 2 dasarwarsa belum berlalu. Pemekaran itu harus dibayar mahal. Konon puluhan nyawa harus melayang, diwarnai konflik berdarah yang tak begitu terendus media. Meski demikian Mamasa resmi memisahkan diri pada tahun 2002.  Namun kini lihatlah, tempat ini seperti terkaget-kaget menyakiskan pertumbuhan daerahnya. Jalan beton dari pintu gerbang Kabupatennya sampai di kota, listrik, jaringan telfon dan internet yang dulu hanya mimpi belaka kini benar-benar bisa dinikmati. Mamasa akan menjadi ikon wisata Sulawesi Barat disuatu hari nanti.

Pertamakali saya ke Mamasa, akhir tahun 2015 lalu dan sejak saat itu entah sudah ke sekian kalinya saya mengunjungi negeri berselimut kabut ini. .Saya selalu dibuat kagum setiap datang berkunjung ke tempat ini. selalu ada hal baru dan misterius yang kutemukan. Mamasa memiliki semua kualifikasi sebagai tempat wisata, Berada di ketinggian 1600 mdpl menjadikan tempat ini beriklim sejuk.  Pemandangan alam yang indah dan masih alami, adat dan tradisi yang unik, serta aneka kuliner dan juga kopi Mamasa-nya yang terkenal sanagan enak. Setidaknya ada beberapa tempat yang direkomendasikan yang harus kalian lihat atau kunjungi jika sedang berada di Mamasa, beriku 10 diantaranya:

1. Makam Tedong-Tedong Balla
Tedong-tedong minanga atau kuburan tedong-tedong yang terletak di Desa Buntu Balla, Mamasa. kuburan ini diperkirakan berusia sekitar 400 tahun lebih. Akses ke sini terbilang mudah. dari Ibu kota kabupaten Mamasa hanya dibutuhkan 10-15 Menit untuk sampai ditempat ini. Tedong (kerbau) di Mamasa begitu di sakralkan, selain karena untuk kepentingan ritual, hewan ini juga melambangkan strata sosial suatu keluarga. Karena saking berartinya, bahkan dulu bangsawan-bangsawan mamasa di semayamkan di dalam patung berbentuk Tedong, seperti yang ada di Binanga ini, orang di sini menyebutnya Liang Tedong. Liang Tedong, ialah kuburan yang terbuat dari kayu yang berbentuk kerbau, didalam perut kerbau inilah disimpan mayat mayat para bangsawan Mamasa. Masyarakat Mamasa meyakini bahwa Makam Tedong Tedong Minanga di Balla adalah pusat pemakaman nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu. Hingga kini tak banyak literatur yang bisa menjelaskan asal-usul dan filosofi keberadaan kuburan tedong-tedong ini termasuk Bapak yang menjaga Makam ini.

2. To’ Pinus Mamasa
Siapa sangka setelah berkunjung untuk ke sekian kalinya, saya baru menemukan tempat ini "hutan Pinus" yang jaraknya kurang lebih hanya 500 meter dari tempatku menginap. Tempat ini mengingatkanku aka hutan pinus di Malino tapi dalam skala yang lebih kecil. Berlokasi di pusat kota yakni persis dibelakan kantor Bupati Mamasa menjadikan akses kesini terbilang mudah, sayangnya tidak banyak yang tahu mengenai keberadaan to’ pinus ini. Mungkin karena masih di kelola secara pribadi dan kurangnya publikasi menjadikan tempat ini belum seterkenal tempat wisata lainnya di Mamasa. Tarif masuk terbilang sangat murah, hanya Rp2.000,00 per orang.  Namun berhati-hatilah saat ingin berkunjung ketempat ini. Selain karena tangga menuju ke hutan pinus sangat licin dan curam, juga pemilik kawasan wisata ini memelihara beberapa ekor anjing yang sering menyalaki pengunjung.

3. Kolam Air Panas Mamasa

Dengan suhu udara yang begitu dingin, berendam di air panas yang masih begitu alami memang sangat menyenangkan. Di Mamasa setidaknya terdapat tiga titik kolam permandian air panas yang berada di sektiaran kota Mamasa. Tarif masuk permandian air panas ini berpariasi antara Rp5.000 sampai dengan Rp15.000 per orang. Kolam air panas terdekat berada di belakang Hotel Nusantara. Terdapat beberapa kolam dewasa dan anak-anak juga satu kolam privat yang bisa disewa secara probadi. Kola ini terbilang sangat bersih dan terawat di banding dua kolam lainnya. Berendam di kolam air panas di tengah hawa dingin Mamasa yang dingin memang sangat menyenangkan.

4. Buntu Liara
Kalau di Toraja terkenal akan negeri di atas awan “Lolai” di Mamasa juga terdapat tempat yang sama yakni “Buntu Liara”.  Setidaknya ada beberapa jalur yang bisa diakses untuk menuju ke tempat ini. Namun akses terdekat dari pusat kota yakni melalu lajur Balla Peu. Kita harus berkendara kurang lebih 30 Menit kea rah Balla. Wisatawan biasanya memarkir kendataan di depan kantor desa. Lalu kemudian dilanjutkan dengan trekking menuju puncak gunung Liarra yang berada di Desa Talimbung. Trekking ke puncak membutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga 1 jam. Tapi ingat awan-awan berarakan hanya muncul saat pagi (pukul 5 hingga 9) dan sore hari (pukul 3 hingga 4). Di luar waktu itu awan sudah menghilang. Waktu terbaik mengunjungi tempat ini setelah subuh atau sebelum matahari terbenam. Persiapkan bekal secukupnya jika akan berkunjung di tempat ini di kawasan ini belum ada sama sekali warung makanan yang bisa di jumpai.

5. Upacara Adat Rambu Solo
Secara sekilas tidak ada perbedaan yang mencolok antara Mamasa dan Toraja dari cara mereka memperlakukan mayat dalam ritual adat Ramu Solo. Seperti halnya di Toraja, di Mamasa Kematian tidak pernah diartikan sebagai Duka. Kematian adalah sesuatu yang seharusnya dirayakan. Orang yang meninggal itu hanya berpindah. Mereka berpindah ke alam yang lebih baik. Mereka naik kasta. Itulah mengapa kematian di sini dirayakan seperti merayakan kehidupan. Disini kematian justru mempersatukan kehidupan. Kematian salah satu anggota keluar akan mendatangkan ratusan sanak saudara dari seluruh penjuru. Sanak keluarga datang berbondong-bondong. Mereka datang membawa ayam, babi atau kerbau yang harganya bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta untuk dipersembahkan ke keluarga yang meninggal. Beban biaya pemakaman yang mahal dalam upacara adat Rambu Solo akan ditanggung bersama semua anggota keluarga besar. Itulah mengapa ikatan kekeluargaan begitu kokoh di sini. Ikatan keluarga bahkan tidak terputus meski seseorang telah meninggal.

6. Upacara Adat Mangarong di Nosu
Salah satu upacara adat yang sangat kurekomendasikan untuk kalian saksikan di Mamasa adalah upacara adat Mangarong ini. Upacara adat ini hanya ada di Nosu jadi bila berkeinginan menyaksikan upacara adat yang masih sangat natural ini datanglah ke Nosu pada musim-musim panen tiba yakni tepatnya di bulan-bulan Agustus atau September setiap tahunnya. Sayangnya akses ke Nosu masih sangat minim. Dibutuhkan nyali yang super ekstra untuk menjangkau tempat ini. Jika berkeinan mengunjungi tempat ini sebaiknya gunakanlah kendaraan roda dua jenis trail dari kota Mamasa.
Di Nosu, mayat-mayat tidak dikuburkan di lubang-lubang batu sebagaimana saudara tua mereka di Toraja. Mayat-mayat justru disimpan dengan rapi di alang-alang (rumah makam). Mayat-mayat leluhur di tumpuk di sana. Disusun dengan rapi seperti guling. Setiap tahun tepatnya di bulan agustus setelah musim panen tiba akan diadakan ceremonial “mangaron”. Seluruh mayat yang ada se distrik ini dikeluarkan, dikumpulkan di tanah lapang. Babi dan kerbau-kerbau disembelih sebagai persembahan. Pakaian-pakaian mereka di ganti, dibungkus lagi dengan rapi, diupacarakan lagi, baru kemudian dikembalikan ke “alang-alang” , peristirahatan terakhir mereka.

7. Terasering di Pana 
Distrik ini masih begitu terpencil. Berjam-jam perjalanan dari ibu kota kabupaten. Akses ke sana tidak bisa dibilang mudah. Bayangkan hanya sekitar 70km dari Ibu kota Kabupaten harus ditempuh 6-7 jam perjalanan.  Tempat ini dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi, hutan-hutan tua, dan jurang-jurang yang menganga lebar. Aroma mistis bercampur aroma kopi menyeruak kuat di udara. Jangan harap kalian bisa dengan mudahnya mengakses internet di sini bahkan hanya untuk menelepon pun di sini hampir sama mustahilnya.  Meski dibekap ketertinggalan seperti ini tempat ini punya sesuatu yang sangat istimewa. Panorama alam yang begitu indah. Hamparan pertanian bertingkat-tingkat membentuk lukisan alam yang sangat indah. Tempat ini mengingatkanku akan kawasan terasering di Ubud Bali. Selain kawasan pertanian tempat ini juga terkenal dengan ke aslian kopinya. Hampir serratus persen penduduk disini bertani kopi. Dari sinilah sumber pemasok utama kopi Mamasa yang terkenal beraroma nikmat itu.

8. Patung Tedong di Taman Kota

Masih tentang “Tedong”, persis di pusat kota Mamasa, tepatnya di taman kota ada sebuah patung Tedong Besar yang berwana belang atau Tedong Doti. Tedong Doti berharga mahal, hanya segelintir orang yang bisa memiliki dan mempersembahkan tedong doti pada ritual Rambu Solo. Satu tedong doti bisa seharga puluhan bahkan ratusan juta. Tedong doti memang suddah menjadi symbol di Mamasa, salah satu wujud kecintaan orang-orang Mamasa terhadap hewan sakral ini dengan dibangunnya patung Tedong sebagai ikon kota Mamasa.

9. Patung Bunda Maria

Saya terkagum-kagum melihat Patung Bunda Maria  yang begitu tinggi ini. Belakangan kuketahui patun ini merupakan salah patung Bunda Maria tertinggi di Asia Tenggara. Patung ini berada di Pena tepatnya di Bukit Ziarah Bunda Maria Pena. Proses pembuatan patung dan kawasan religi ini memakan waktu yang cukup lama. Sementara patungnya sendiri didatangkan langsung dari Magelang, Jawa Tengah. Patung berwarna putih setinggi 12 m ini diresmikan sejak 2012. Selain patung Bunda Maria, juga terdapat bebera patung-patung lain menghiasi dari halaman bawah tempat yang dicanangkan menjadi situs ziarah umat Katolik ini.

10. Gereja Tua Mamasa
Bangunan ini merupakan sebuah gereja tua di kota Mamasa. Gereja ini berada di atas perbukitan menghadap ke jantung kota Mamasa yang dibangun pada zaman Belanda tahun 1938. Bangunan ini merupakan gereja tertua kedua yang ada di Mamasa. Meski akses ke tempat ini sangat mudah namun cagar budaya ini tak terurus, di sekelilingnya sekarang ditumbuhi rerumputan liar. Selain gereja tua ini terdapat beberapa gereja yang syarat dengan nilai sejar di Mamasa juga beberapa Gereja yang tampilannya sangat indah seperti Gereja Katolik St. Petrus  yang baru selesai dibangun pada tahun 2017 lalu.


0 komentar:

Jalan-jalan tidak perlu harus spektakuler. cukup pergi ke tempat-tempat yang asing atau melakukan sesuatu yang baru Karena pendakia...

Banyuwangi Part II: Tersesat di Baluran


Jalan-jalan tidak perlu harus spektakuler. cukup pergi ke tempat-tempat yang asing atau melakukan sesuatu yang baru

Karena pendakian ke Gunung Ijen baru bisa dimulai pada tengah malam buta maka praktis pagi ini saya belum bisa menuju kawasan taman nasional gunung ijen. Saya memutuskan mengunjjungi Taman Nasional Baluran dulu. Setelah bersih-bersih, sarapan dan istirahat sebentar saya memutuskan untuk mengunjungi Baluran seorang diri. Berbekal google maps pada aplikasi smarphoneku dan motor rentalan yang juga disediakan di penginapan tempatku menginap, saya menyusuri jalan-jalan sepi di Banyuwangi.


Taman Nasional Baluran sendiri merupakan sebuah kawasan konservasi hutan lindung terbesar ke sekian yang dimiliki Indoneisia. Taman Nasional ini  terletak di wilayah Banyuputih, Situbondo dan Wongsorejo, Banyuwangi (sebelah utara), Jawa TimurIndonesia. Nama dari Taman Nasional ini diambil dari nama gunung yang berada di daerah ini, yaitu Gunung Baluran. Gerbang untuk masuk ke Taman Nasional Baluran berada di 7°55'17.76"S dan 114°23'15.27"E. Taman nasional ini terdiri dari tipe vegetasi sabana, hutan mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Tipe vegetasi sabana mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran yakni sekitar 40 persen dari total luas lahan. (Sumber: Wikipedia)

Sebelum sampai ke Taman Nasiunal Baluran, saya sempat tersesat sejauh 15 kilometer. Saya terhipnotis hutan-hutan jati yang berjejer rapi di sepanjan jalan menuju Situbondo. Keindahan hutan-hutan jati yang mengering ini membuatku tak sadar. Tampa kusadari saya sudah berkendara terlalu jauh meninggalkan pintu gerbang masuk ke Baluran. Beruntung saat itu mata saya ngantuk sekali, saya memutuskan menepi di warung kopi pinggir jalan, menikmati segelas kopi hitam beraroma nikmat. Ibu pemilik warung kopi menertawakanku. Saya terlalu jauh tersesatnya katatanya. Tersesat seperti ini justru kadang patut disyukuri. Saya tidak mungkin menemukan pemandangan sebegini indahnya andai kata tidak tersesat tadi. Disepanjang jalan berjejer pohon-pohon jati yang hampir mengering tak berdaun. Rumput dan ilalang berwarna coklat keemasan, juga sisa bekas hutan terbakar menyisakan pepohonan yang hangus dan rerumputan yang kini berwarna arang. Tempat ini terlihat aneh namun eksotis, sedikit kelam namun mempesona. Saya berkali-kali harus berhenti hanya untuk mengangumi keindahan lukisan alam didepanku itu. Sayangnya tak ada seseorang yang bisa kumintai tolong untuk mendokumentasikanku di tempat ini. Tempat ini begitu sepi, kendaraan yang melintas pun hanya satu dua. Resiko solo backpacker seperti saya ini pasti akan sangat minim dokumentasi pribadi.

Setelah memutar haluan, saya akhirnya menemukan pintu masuk taman nasional Baluran. Tak banyak yang berkunjung hari ini, mungkin karena memang bukan akhir peken dan cuaca juga sedang panas-panasnya. Tiket masuk Baluran terbilang murah hanya beberapa puluh ribu rupiah saja, dan kita bisa menikmati banyak hal di dalam taman nasional itu.


Jalan menuju posko induk berbatu dan berdebu. Disepanjang jalan pohon-pohon mengering disana sini. Daun-daunnya berguguran rontok tertelan hawa panas yang menjadi-jadi. Tempat ini terlihat begitu rapuh. Kering dan rawan terbakar. Ayam-ayam hutan berlarian di sepanjang areal savanna. Membuatku harus berhenti berkali-kali mengambil gambar sebisanya.  Setelah jalan berdebu dengan pepohonan mengeringnya kita juga akan melewati kawasan hutan musiman “Evergreen”. Berbanding terbalik dengan kondisi hutan sebelmunya, tempat ini justru berwarnah hijau cerah. Dengan dedaunan dan pepohonan yang rapat disepanjang jalan. kupu-kupu beraneka warna beterbangan juga beberapa berkelompok di beberapa titik genangan air disepanjang jalan. Konon hutan ini berada diwilayah cekungan dimana terdapat sungai bawah tanan yang sellau menyupai air di pepohonan sehingga tempat ini akan selalu hijau sepanjang tahun.


Ada beberapa Julmah titik wisata yang bisa dinikmati di taman nasional ini, namun diantara bagian itu, savanna bekol adalah bagian yang paling indah dan memukau. Saya betul-betul minikmati pesona padang savana bekol  ini. Sejauh mata memandang, padang savana membentang luas. Saya seperti menyaksikan Serengeti secara langsung. tempat yang selama ini hanya bisa kusaksikan dilayar kaca dalam program Natgeo kini betul-betul tampak nyata di depanku. Ayam-ayam hutan berlariang kesana sini. Rusa-rusa berkelompok maupun sendirian juga sesekali memotong jalan. Segerombolan monyet-monyet kecil menguasai oase ditengah padang rumput itu. Juga seekor kerbau liar seukuran gajah tampak begitu perkasa berkubang dibawa genangan air yang tak jauh dari jalan utama. Membuatku harus memperlambat laju motorku dan mengabadikannya satu dua gambar melalu kamera kecil yang kubawa serta ini.  Sayangnya saya tak berhasil menemukan “Macan Tutul Jawa” hewan buas yang jadi pemangsa utama selain manusia di Taman Nasional ini.


Tempat ini mengingatkanku pada filem lawas "The Gods Must Be Crazy" filem lucu yang mengambil setting di padang Savana Bushmen di pedalaman Gurun Kalahari Afrika Selatan. Film ini bercerita tentang Xixo seseorang dari suku tradisional di Afrika menemukan benda modern berupa botol Coca-cola yang terjatuh dari sebuah pesawat

Alkisah, botol cocacola yaang dianggap kiriman dari langit tadinya  menjadi sebuah berkah, awalnya, suku Bushmen berpikir bahwa botol kaca tersebut merupakan pemberian para dewa dan menggunakannya untuk berbagai keperluan. Sayangnya, hanya karena satu botol kaca yang diberikan, suku Bushmen sering bertengkar dan bahkan melakukan kekerasan demi mendapatkan botol itu.

Xi yang menyadari bahwa benda tersebut lebih banyak membawa dampak negatif memutuskan untuk segera membawa botol tersebut ke “ujung Bumi”. Petualangan Xi demi membebaskan kaumnya dari “kutukan” botol pun dimulai. Bayangkan jika hanya satu buah botol bisa merusak tatanan dan keharmonisan sebuah suku dan alam , bagaimana jika berton-ton sampah yang secara sadar maupun tidak sadar kita buang ke alam. Berapa besar dampak kerusakan ekosistem yang dihasilkan dari ketololan kita.

Setelah padang savanna, juga ada posko induk atau gardu pandang. Namun sayangnya tempat ini sedang dalam masa renovasi, wisatawan tidak diperkenangkan untuk memanjat gardu pandang ini. Masih dilokasi yang sama juga terdapat mushollah dan  warung sederhana yang menyajikan es kelapa yang terasa begitu segar setelah terbakar hawa panas. Selain itu masih di kawasan yang sama juga terdapat beberapa vila yang dikelola oleh taman nasional baluran yang biasa disewakan kepada wisatawan bagi yang ingin merasakan sensasi bermalam di alam liar Baluran.


Tak jauh dari padang savanna bekol juga terdapat kawasan wisata pantai Bama dengan pasir putihnya yang indah jaraknya kurang lebih 3 km lagi. Selain itu masih dikawasan yang sama juga tedapat hutan Magrove dan dermaga mangrove yang tenang dan romantis. Tempat ini juga merupakan habitat asli monyet berekor panjang. Monyet disini terkenal usil dan jahil suka mencuri dan merampas makanan para pengunjung. Bebeapa kali tas saya hampir dijarahnya, beruntung mas mas penjaga pantai sigap mengamankan barang-barang saya.  Pantai Bama juga di lengkapi berbagai macam fasilitas yang membuat nyaman pengunjung, terdapat toilet bersih dan musolah juga beberapa tempat peristirahatan dan kantin yang juga sama bersihnya. Selain itu wisata bawah air di pantai ini juga terkenal bagus. Waktu terbaik untuk snorkeling disini


*Bersambung: Banyuwangi Part III

0 komentar:

Bertualang lagi pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjung melihat sesuatu yang belum pernah ditemui aku tak sabar bertual...

Banyuwangi Part I: Dipungut


Bertualang lagi
pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjung
melihat sesuatu yang belum pernah ditemui
aku tak sabar bertualang lagi

bertualang lagi
seperti kaum hippie yang hidup dijalanan
bersama teman-teman terbaikmu
dunia selalu membuka jalannya untuk kami
aku tak sabar bertualang lagi

Dua Hari di Banyuwangi
16 September 2018. Dini hari pukul 00.30. Stasiun Surabaya Gubeng ke Karangasem Banyuwangi.  Waktu tempuh diperkirakan 6 jam.  Kereta ini akan tiba di satisun tujuan pada pukul 6.30 pagi.  Satu-satunya yang menemaniku hanya novel setebal bantal.  Yang jika bosan membolak baliknya memang kujadikan bantal penjanggal leher. Saya dalam perjalanan menuju Banyuwangi, sendirian.


Sorang kawan lama pernah bertanya, “Bagaimana rasanya bepergian sendiri”. Saya tersenyum, menjawabnya. Sejatinya kita tidak pernah benar-benar sendiri. Berkali-kali saya melalukakan solo backpacker berkali-kali pula saya dipungut oleh backpacker lain. Kita akhirnya tidak pernah benar-benar sendiri. Akhir tahun 2016 yang lalu saya solo backpacker ke Labuan bajo selama Sembilan hari lamanya. Diperjalanan saya justru dipungut oleh 3 orang backpacker dari Kalimantan dan membuat peralanan saya jauh lebih menyenangkan. Saya pernah dipungut oleh backpacker asal Gorontalo, pernah dipungut oleh backpaker asal Medan atau entah dipungut oleh orang  yang entah dari mana datangnya. Mungkin didahi saya orang-orang melihat tulisan tolong selamatkan saya, tolong bantu saya, tolong saya tidak tahu jalan. Maka dari itu orang-orang berkenang menolong saya. Intinya perjalan sendiri tidak berarti kau harus melakukan segalanya sendirian. Perjalanan kali ini pun saya tidak benar-benar sendiri. Saya dipungut oleh backpacker dari Sumatera. Secara tak sengaja kami dipertemukan di Taman Nasional Balurang kami akhirnya bersepakat untuk bersama-sama menuju kawah ijen di malam harinya.

Kenapa harus bertualang sendiri ?. Bagiku dalam sebuah perjalanan dimana tak ada seorang pun yang mengenaliku secara personal, saya justru merasa lebih bebas. Bebas mengekspresikan diri, lebih leluasa menjadi diriku sendiri. saya pikir, perjalanan seperti itu memang sangat perlu dilakukan. bayangkan hampir setiap hari kita terbatasi oleh batas-batas portabel yang dibuat manusia. Batasan-batasan sosial yang memaksa kita untuk harus menghormatinya. tanpa protes. Perjalanan “sendiri” membuka semua selubung itu.  Kita tak harus banyak bertoleransi dengan berbagai macam batasa-batasan yang dibuat orang lain atau lingkungan kita.

Saya sangat jarang bepergian dengan rombongan yang banyak, batas toleransi saya hanya empat orang. batas ideal hanya dua orang, dan sangat menyenangkan bila bisa bertualang sendiri. Bepergian rombongan terlalu menguras tenaga, kita akan merasa capek harus banyak bertoleransi, harus menyamakan persepsi dan itenary, harus memaklumi macam-macam hal yang bisa jadi justru merugikan saya sendiri. Kalau masalah teman, saya yakin kita bisa bertemu banyak manusia-manusia luar biasa di jalan. Merencanakan hal-hal bego bareng, memulai hubungan baru atau siapa tahu bagi yang jomblo kronis bisa ketemu jodoh di jalan :-). Perjalanan sendiri memang menyenangkan.  Adrenalinku seperti terpacu lebih cepat.  Hormon endorpin pemicu rasa bahagia seperti membuncah.   Perasaan bebas sekaligus penasaran bercampur baur jadi satu.  Aku menuju tempat yang asing.

Saya tiba di Banyuwangi  lebih lambat satu jam dari waktu perkiraan tiba. Keluar dari stasiun karang asem saya kebingungan tak tahu harus kemana. Beruntung kemudahan akses internet sekarang sangat membantu pelancong dadakan minim persiapan seperti saya ini. Dari penelusuran singkat mbah google, saya akhirnya memutuskan untuk memilih basecamp di staisun karang asem ini. Mengingat posisi staisun yang sangat strategis untuk menjangkau semua dsetinasi wisata yang menarik di Banyuwangi ini. Saya memilih penginapan persis didepan pintu keluar stasiun karang asem “Rumah Singgah Banyuwangi”. Tariff permalam berkisar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah. Dengan tipe kamar dormitory dengan beberapa orang dalam satu kamarnya, atau privasi. Saya sendiri memilih kamar privasi dengan tariff 100 ribu permalamnya, kamar sendiri yang dilengkapi dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Dengan pertimbangan barang-barangku akan lebih aman jika kutinggal berpergian disbanding jika harus berbagi kamar dengan orang asin. Tidak banyak pengunjung yang menginap di penginapan ini, hanya dua orang yang berasal dari Belgia, transit untuk sementara waktu menunggu kereta menuju Bromo. Jauh-jauh mereka datang dari Belgia hanya untuk mengunjungi Bali dan Bromo katanya. Mereka sudah meghabiskan dua Bulan di Bali dan berencana masih akan tinggal di Indonesia untuk dua atau tiga bulan kedepan.

Saya sempat merasa berbangga dan sekaligus miris, mereka datang dari negeri yang jauh untuk menikmati negeri kita ini sementara orang-orang Indoneisa sendiri berlomba-lomba memposting foto jalan-jalannya ke luar negeri. Bukannya iri tapi saya merasa negara kita memiliki banyak hal yang lebih layak dan lebih cantik untuk dikunjungi, memiliki banyak tempat-tempat yang tak akan habis untuk di jelajahi. Itulah mengapa saya putuskan untuk menikmati Indonesiaku, memuaskan diri untuk berkeliling sebelum melirik-lirik negeri tetangga. Sayangnya beberapa objek wisata di Indonesia justru terlalu mahal untuk dijangkau dibanding ke luar negeri sendiri. Raja Ampat misalnya, sekali ke Raja Ampat bisa sebanding perjalanan dua kali bolak balik ke Malaysia atau Thailand.

*bersambung

0 komentar:

D'Djawatan Banyuwangi Hal utama yang kau harus lakukan di saat umurmu sudah berada di angka tiga adalah “ Memafkan dirimu ”. Di usi...

Maafkanlah Dirimu

D'Djawatan Banyuwangi

Hal utama yang kau harus lakukan di saat umurmu sudah berada di angka tiga adalah “Memafkan dirimu”. Di usiamu yang sekarang ini artinya kau sudah melewati setengah dari jatah hidup “kaummu”. Bukannya Ummat Nabimu hanya diberi jatah 60 tahun atau lebih sedikit.

Aku tahu, kau telah mengalami banyak hal dalam hidupmu. Beberapa memang mungkin sebuah prestasi yang membanggakan. Kau mungkin sudah melewati jenjang kuliah SI atau bahkan S2, sudah berpenghasilan mapan, punya rumah atau mobil, punya istri, sudah traveling ke banyak tempat. Tapi bukan tak mungkin kau telah mengalami banyak hal-hal buruk yang disebabkan oleh ulahmu sendiri, yang kadangkala kegagalan dan kekecawaan itu membuatmu tak bisa berdamai degan dirimu.

Maafkanlah dirimu, banyak hal yang memang tak bisa digapai. Banyak kesalahan yang justru menguatkan. Banyak cerita menyakitkan kelak akan menjdi penguat. Kehidupanmu memang tak selalu baik-baik saja tapi dengan usia yang telah berada pada titik itu,aku yakin kau  telah siap menghadapi goresan takdir seperti apa yang masih menunggumu di depan sana.

Maafkanlah dirimu, dengannya kau bisa menerima dirimu dengan ikhlas, bisa kembali menjalani hidup apa adanya. Sisa umurmu mungkin tak sebanyak dari umur yang telah kau habiskan. Bisa jadi ternyata umurmu tak sepanjang anganmu. Bisa jadi hari ini atau besok tiba-tiba Tuhan berkata “it’s your time”, maka kau bisa apa.  Ajal tak pernah menunda.

Kau pasti tahu tragedi pesawat itu. Kecelakan tragis JT 610  itu beberapa hari yang lalu. 189 orang dinyatakan hilang. Jasadnya belum ditemukan. 10 orang diantaranya bukannya dari teman seinstansimu?. Jasad dari para korban sampai sekarang bahkan belum ditemukan bukan.

Hari ini mereka yang ada di daftar itu, bisa jadi besok, lusa, tahun depan atau entah penugasan yang ke berapa nasibmu sama tragisnya dengan mereka. Kau tahu, kematian hanya seperti itu. hanya seperti selaput gagasan tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tiba-tiba saja kita disitu. Di dunia kehampaan, dunia keabadian. Dunia ketiadaan. Kita mati. Begitu kita mati, berarti bagian yang dimainkan di dunia ini telah berakhir, dan sekarang saatnya kita harus melanjutkan arus yang lebih besar lagi. Maka dari itu, kematian hendaknya mengajarkan kita betapa pendek dan tidak berharganya kehidupan di dunia ini. Kehidupan manusia nyatanya hanya sesingkat itu, namun pertanggungjawabannya abadi. Kau sudah siap ?

“….Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”
 ( Al Munafiqun 10-11)

Katakanlah (wahai Muhammad): "Sebenarnya maut yang kamu melarikan diri daripadanya itu, tetaplah ia akan menemui kamu; kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu Ia memberitahu kepada kamu apa yang kamu telah lakukan (serta membalasnya)".
(Al-Jumu'ah 62:8)



Welcome thirty 
Mamasa, 3 November 2018

0 komentar:

Kau pernah merasa bosan pada suatu keadaan ? "Agustus Minggu Pertama" Berada diatas ketinggian berpuluh-puluh ribu mill...

Lelaki Yang Tertawan Masa Lalu: Bandara

@asdar_munandar

Kau pernah merasa bosan pada suatu keadaan ?

"Agustus Minggu Pertama"
Berada diatas ketinggian berpuluh-puluh ribu mill diatas laut berjam-jam lamanya pasti akan sangat membosankan. Kau hanya bisa menggerutui detik demi detik waktu yang terlewat. Tak ada yang bisa kau lakukan selain menyerahkan nasibmu pada pilot yang tidak kau kenali itu. Aku sangat benci ketergantungan seperti ini, ketidakberdayaan atas takdir yang aku tak punya daya mengupayakan apapun selain berpasrah. Aku benci berpasrah, menyerah pada ketidak berdayaanku. Menjadi lemah.  Namun pada kenyataannya ada banyak hal yang memang tidak bisa kita paksakan. Manusia selalu dibatasi garis takdir, ada batasan-batasan tak kasat mata yang memang tak bisa kita seberangi seberapa kuat pun kita terus menerus mencoba.



Hiruk pikuk bandara seperti tak pernah berakhir, tak ada jeda. Dari pagi sampai pagi lagi. Orang-orang berlalu lalang entah kemana, mereka bepergian dengan berbagai alasan. Cinta, keluarga, masa depan, rasa sakit, rindu, atau bahkan ada banyak yang bepergian tampa alasan. Mereka hanya ingin pergi, menjeda sejenak dari rutinitas dunianya yang mungkin semakin menjenuhkan. Menggendong ransel berkilo-kilo, menuju suatu tempat yang belum pernah mereka lihat. Traveler begitu orang-orang menyebutnya. Dulu saya pernah menjadi bagian dari orang-orang itu, bepergian tampa alasan, pergi hanya karena ingin pergi.  Tiba-tiba saja berada di spektrum lain dunia ini, berada di suatu tempat antah berantah, hilang di suatu tempat yang asing dan itu menyenangkan.

Bagian terbaik dari suatu perjalanan bagiku adalah menunggu di bandara. Menunggu pesawat yang akan membawamu pergi. Saya betah berlama-lama di bandara, menyaksikan jutaan manusia berlalu lalang itu, kau bisa membedakan tujuan bepergian mereka dari cara berpakaian atau tentengan yang mereka bawa. Bandara memang menceritakan banyak spektrum kehidupan, ada banyak hal yang terjadi di bandara. Ada banyak cerita yang bisa dikisahkan.

Pramugari-pramugari berdandan rapi, perempuan-perempuan muda bergaya glamor, celana setengah jengkal atau dengan rok panjang dengan sobekan yang tak kalah panjangnya, Makeup-makeup menor dengan koper-koper yang terlihat mewah. Orang-orang di bandaran selalu ingin terlihat lebih kaya bahkan paramu saji restoran atau toko oleh-oleh di ruang tunggu juga terlihat lebih berkelas, satu-satunya yang selalu tampak sederhana dan bersahaja hanyalah tukang bersih-bersih toilet.

Aku pernah bertemu seseorang di bandara, kami sama-sama menanti perjalanan selanjutnya, sama-sama harus menunggu berjam-jam lamanya. Bedanya dia akan ke barat dan saya akan ke timur. Secara tak sengaja kami duduk di meja yang sama di sebuah kafe pojok di terminal keberangkatan internasional. Kami bertukar cerita, tempat-tempat menarik yang masing-masing akan kami kunjungi. Uniknya dia pernah mengunjungi tempat yang akan kukunjungi dan aku pernah mengunjungi tempat yang dia kunjungi. Lucunya, selama berjam-jam itu kita tidak saling memperkenalkan diri, tidak bertukar nomor hape bahkan tidak saling follow di Instagram.  Aku rasa pertemuan-pertemuan sepintas seperti itu hanya suatu yang kontemplatif, suatu keadaan yang membiarkan kita hadir dan tersingkir dalam satu wilayah waktu seseorang. Tak lagi ada pertemuan-pertemuan berikutnya. namun pertemuan singkat itu meninggalkan sedikit kenangan manis, yang entah kenapa kadang saya berharap momen itu bisa terulang atau saya berharap dalam satu penerbangan tiba-tiba kita kembali dipertemukan. Lucu, memang garis takdir mempertemukan manusia lalu mempermainkannya.  


0 komentar:

gambar milik sendiri Judul: To Live ‘Hidup’ Penulis: Yu Hua Penerjemah: Agustinus Wibowo Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Terb...

Resensi Novel To Live

gambar milik sendiri

Judul: To Live ‘Hidup’
Penulis: Yu Hua
Penerjemah: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan pertama, 2015
Tebal : 224 halaman
Rate: 5/5

Satu-satunya yang membuatku tertarik membaca buku ini awalnya hanya  karena nama besar penerjemahnya “Agustinus Wibowo” traveler writer yang menuliskan teriologi Titik Nol, Selimut Debu dan Garis Batas itu, buku yang banyak mengubah pandanganku tentang bagaimana kita melihat suatu perjalanan.

Agustinus Wibowo menerjemahkan buku “To Live” karaya  Yu Hua ini begitu sempurna, mungkin karena kesamaan etnis yang membuatnya begitu nyaman membahasakannya kembali dalam dalam bahasa Indonesia. To Live terlalu tragis menurutku, saya belum pernah membaca novel setragis ini sebelumnya. Menyedihkan dan begitu tidak adil bagi pemeran utamanya. Fugui sang tokoh utama harus mengalami kesedihan demi kesedihan dalam hidupnya, kebangkrutan yang tragis dan kematian demi kematian anggota keluarganya satu persatu. Kematian yang begitu absurd dan menyakitkan. Buku ini begitu sempurna menggambarkan penderitaan seseorang. Namun uniknya Yu Hua menggambarkan peristiwa itu begitu sederhana, begitu natural, bahwa hidup dan mati sepertinya memang hanya sesederhana itu, sesederhana penulis novel menentukan kapan satu tokoh dalam cerita harus berakhir. Begitu manusia hidup maka suatu saat pasti akan mati, kehidupan dan kematian hanya peristiwa alam biasa yang memang akan dihadapi semua manusia. Sebuah narasi kematian yang begitu polos. 

Yu Hua begitu luar biasa menarasikan buku ini. Karakter setiap tokoh digambarkan begitu kuat. Bukan hanya kisah si pemeran utama Fugui yang membuatku jatuh cinta pada buku ini, ada tokoh-tokoh pendukung lain yang digambarkan begitu baik. Ada Youqing, Fengxia dan Jiazhen juga ada menantu Fugui yang berkepala miring itu serta cucunya yang meski hanya mengambil sedikit bagian dalam buku ini juga memberikan warna yang unik dalam kisahnya.   

To Live adalah buku tentang Cina, mengambil setting pada masa revolusi kebudayaan dimana kegagalan demi kegagalan pemerintahan Cina masa itu menyebabkan penderitaan dan bencana kelaparan yang luar biasa pada rakyatnya. Karya ini merupakan karya kontroversial yang fenomenal, topik revolusi kebudayaan dan kritikan terhadap kebijakan rezim pada saat itu masih menjadi isu sensitif di China. Meski sempat dilarang beredar di Cina, buku ini telah meraih berbagai penghargaan Internasional, telah difilmkan dan telah diterjemahkan ke lebih dari 20 Bahasa. 

Berikut beberapa petikan yang kusukai dari buku ini:
 “Your life is given to you by your parents. If you don't want to live, you have to ask them first.”― Yu Hua, To Live
“No matter how lucky a person is, the moment he decides he wants to die, there's nothing that will keep him alive.” ― Yu Hua, To Live
“Orang hidup itu yang penting senang, jadi miskin pun tak ada yang perlu ditakuti.”—To Live ‘Hidup’, hlm. 39
“Manusia hidup itu lebih baik biasa-biasa saja. Berjuang demi ini, berjuang demi itu, berjuang ke sana-sini, akhirnya juga hilang nyawanya sendiri.”—To Live ‘Hidup’, hlm. 208

0 komentar:

Judul : Dua Sahara: Romansa Giza hingga Thursina Penulis : Owen Putra Penerbit : Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama, Jaka...

Resensi Novel: Dua Sahara, Romansa Giza hingga Thursina




Judul : Dua Sahara: Romansa Giza hingga Thursina
Penulis : Owen Putra
Penerbit : Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta)
Paperback, 292 pages
Published by Penerbit Kalil


Dulu sekali ketika pertamakali menginjakkan kaki di dunia pesantren, tujuan utamaku saat itu adalah melanjutkan SMA di Gontor dan setelahnya bisa Kuliah di Al Azhar Mesir. Mimpi-mimpi itu terus ku dekap selama bulan-bulan pertama di pesantren. Memotivasi ku menghafalkan kata demi kata mufrodat yang tidak gampang. Namun nyatanya manusia harus mengalami banyak hal dalam hidupnya, yang seringkali hal-hal itu justru kadang jauh dari apa-apa yang kita inginkan. Jangankan ke Gontor atau Al Azhar menyelesaikan pendidikanku di pondok saat itu saja saya tak mampu.

Membaca buku ini mengingatkanku pada hasrat masa kecilku itu, mondok dan melanjutkan pendidikan di Al Azhar. Saya rasa hasrat masa kecil kita tidak pernah benar-benar pergi, meski kita yakin sudah tidak mungkin menggapainya.  


Andai waktu itu saya bisa menyelesaikan studiku di pondok, mungkin saya sudah mejadi bagian dari kisah penulis. Menjadi junornya di Al Ashar.  Mungkin saya menjadi bagian dari rombongan mahasiswa Indonesia yang melakukan pendakian ke bukit Sinai seperti yang penulis ceritakan dalam bukunya atau menjadi bagian dari petualangannya mengunjungi makam raja-raja Mesir kuno, piramida di Giza.

Saya menyukai buku ini, meski ditulis dengan gaya bertutur yang sangat sederhana namun bagiku buku ini cukup mampu menghidupkan imajinasiku menjadi salah satu mahasiswa di perguruan tinggi Islam tertua ke dua di dunia itu. Owen mampu mendeskripsikan lika-liku kehidupan mahasiswa Al Azhar dengan cukup baik. Tak hanya itu Owen juga mampu menghadirkan suasana keseharian rakyat Mesir dalam bukunya, dia memberikan gambaran yang cukup detail mengenai kehidupan di negeri Cleopatra itu.

Saya jatuh suka pada buku sederhana ini. Saya membayangkan diriku hadir bersama penulis itu di sana, di Mesir negeri piramida, negeri para nabi. Saya ucapkan banyak terimakasih untuk penulis atas usaha yang tak biasa untuk menghadirkan buku ini.

Note:Tahun ini saya kembali mengikuti reading challenge di gooreads. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang selalu menargetkan 30 eksemplar buku yang harus kubaca, tahun ini saya hanya menargetkan 20 Buku untuk kuselesaikan, mengingat kesibukan saya yang semakin menjadi-jadi. saya harap dengan target yang sedikit itu saya bisa menyelesaikan reading challengenya yang belum pernah terpenuhi selama ini.
Hingga kuartal ke dua saya baru mampu menyelesaikan 8 Buku dari 20 Buku yang harus diselesaikan. Beberapa diantaranya belum sempat kubikinkan resensi antara lain Islam dan Diabolisme Intelektual, The Gepgraphy of Faith karya Eric Weiner, Sisrkus Pohon kara Andrea Hirata, Originnya Dan Brown, Traveller's Wisdom dan Menyusuri Garis Bumi karya Clement Seteve

0 komentar:

Bagaimana Rasanya hidup di atas perahu? Dulu khayalan-khayalan seperti itu sering muncul di alam bawah sadarku. Hidup di atas perahu, j...

MANDAR, SANDEQ DAN ORANG-ORANG PERAHU




Bagaimana Rasanya hidup di atas perahu?
Dulu khayalan-khayalan seperti itu sering muncul di alam bawah sadarku. Hidup di atas perahu, jauh dari siapa-siapa jauh dari apa-apa. Hanya laut, air, angin dan bintang di malam hari. Betapa menyenangkannya.

Pagi ini saya menyaksikan kehidupan itu secara nyata, orang-orang berdatangan dari samudera nan luas, membawa hasil laut aneka macam. Muka-muka lelah tergambar jelas di garis wajah yang di dominasi pemuda-pemuda tanggung itu. Semalaman menerjang ombak dan angin laut yang kadang tak bersahabat. Kehidupan di laut tak semenyenangkan yang kubayangkan, fikirku.

Semalaman mempertaruhkan nyawa kami hanya mendapatkan segini. Begitu kata seorang abk yang usianya mungkin masih belasan. Sekotak kecil ikan aneka macam dia perlihatkan.

“Tak ada lagi yang lain ?” tanyaku memastikan. Dia hanya menggeleng menatap sayu.

“Malam ini purnama, ikan-ikan tak ada yang mendekat. Kami bisanya segini”.  Saya mengangguk pelan.

Pelan-pelan kutinggalkan dermaga ini. hiruk pikuk penadah ikan memang tak seramai beberapa hari kemarin, hanya satu dua ibu-ibu tua yang tak lelah bergulat dengan kehidupan masih betah disana. Menanti sekantong dua kantong ikan jatah dari ABK yang ingin ditadah dan dijualnya kembali di pasar. Rutinitas seperti ini sudah berjalan lama sekali, sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu.

Awalnya saya bingung, bagaimana transaksi-transaksi bisu itu terjadi. Orang-orang melakukan transaksi tanpa banyak cakap. Hanya gelengan dan anggunkan uang dan kresek hitam berisi ikan bertukar tangan.

Ibu-ibu tua pengepul ikan mengumpulkan kresek demi kresek yang berhasil di tadahnya dari jatah-jatah ABK. Dikumpulkan kedalam termos berisi es batu lalu kemudian di angkut ke pasar, dijual lagi ke pembeli dalam jumlah yang telah dibagi kecil-kecil.

 Orang-orang Mandar memang terkenal ulung mengarungi samudera. Nenek moyang mereka konon katanya berasal dari lautan. “Kami tak bisa lepas dari laut, Kami terbiasa hidup diatas potongan-potongan kayu itu. Berjalan diatas daratan berlama-lama seperti ini malah membuat kami mabok.  begitu kata mualim kapal sambil tertawa lebar.

“Kenapa dulu tidak mencari pekerjaan yang lain aja, jualan atau jadi pegawai kantoran misalnya”, tanyaku iseng.

Bapak tua itu tertawa, menatapku dengan heran. Kami ini tak bisa hidup didaratan, orang tua kami dahulu dilahirkan di laut, dari sanalah kami berasal. Meski penghasilan menjadi nelayan tak pasti, meski kadang kami harus bertaruh nyawa namun kami justru akan mati jika dipisahkan dari akar kehidupan kami” begitu mualim itu menjawabnya.

Suku Mandar dan Laut memang mungkin dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kecintaan mereka terhadap samudera telah mengakar, salah satu contoh nyata dari kecintaan itu adalah “Sandeq” perahu layar bercadik yang sepenuhnya menggunakan tenaga angin ini telah lama digunakan melaut oleh nelayan Mandar. Perahu ini sudah tercipta sejak masa silam, dan telah banyak mengajarkan para pelaut Mandar untuk menjadi pelaut ulung

Dewasa ini meski Sandeq tak lagi digunakan untuk menangkap ikan perahu buatan tangan yang sangat diakui oleh dunia ini masih terus terjaga eksistensinya. Selain untuk transportasi antar pulau perahu-perahu sandeq ini lebih sering digunakan untk pestival lomba balap sandeq, dan anehnya hanya orang-orang mandar yang bisa dan mampu menunggangi kuda laut ini.

Festival Sandek sendiri hanya ada di Mandar, setiap tahun dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Republik Indonesia Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali Mandar  mengadakan lomba balap sandeq yang diberi nama “Sandeq Race”. Konon pestifal ini tidak hanya melibatkan ketangkasan mengendarai perahu berlayar, kemampuan menaklukkan ombak, dan ketajaman membaca  arah angin juga sangat dibutuhkan. Tak jarang perlombaan balap sandeq ini melibatkan perkara-perkara mistis, ilmu ghaib bahkan beberapa kali pula lomba balap perahu layar ini menelan korban jiwa. “kalah angin” begitu kata pemerhati budaya Mandar yang sempat kutemui beberapa waktu lalu.
Sandeq adalah Mandar, begitu kata orang-orang. Menurut sejarah Sandeq sendiri sebelumnya bernama Pakur, yakni jenis perahu bercadik yang masih kasar bentuknya dan lebih lebar. Pakur kemudian berevolusi, menjadi sandeq. Pertimbangannya untuk kecepatan. Itulah sebabnya, bentuk ideal Sandeq adalah seperti jantung pisang jika dilihat dari muka. Dan soal kecepatan, konon sandeq adalah perahu tercepat sedunia.


Polewali Mandar, 28 April 2018


0 komentar:

April Minggu ke 3 Bagaimana seandainya waktu tidak pernah ditemukan ? Bagaimana seandainya alat pengukur waktu tidak pernah dicip...

Lelaki yang Tertawan Masa Lalu: Waktu



April Minggu ke 3
Bagaimana seandainya waktu tidak pernah ditemukan ?
Bagaimana seandainya alat pengukur waktu tidak pernah diciptakan ?
Masikah ada kata terlambat ?
Masikah ada manusia yang terburu-buru ?
Masikah ada manusia yang menunggu ?

Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini dibuat oleh seorang ahli Astronomi muslim bernama Ibnu al-Shatir sekitar 3.500 tahun sebelum Masehi. Jam ini menunjukan waktu berdasarkan letak matahari, dengan cara memanfaatkan bayangan yang menimpa permukaan datar. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Dari situlah mungkin cikal bakal perkembangan jam hingga saat ini, sampai kita sekarang mengenal macam-macam jam.

Namun dibalik rentetan panjang sejarah jam itu atau dibalik perkembangan jam yang sudah sedemikian modern ini, esensi dari jam itu sejatinya hanyalah alat penanda waktu. Alat ukur yang menentukan kau datang tepat waktu atau tidak, atau alat ukur yang bisa menggambarkan seberapa lama kau akan menunggu seseorang misalnya.

Saya sudah terlalu lama menunggumu, seseorang yang entah siapa, seseorang yang bahkan wujudnya sudah tidak lagi bisa kuingat dengan baik. Rasa-rasanya sudah berabad-abad lamanya. Kata orang-orang waktu-waktu berlalu begitu cepat, namun bagi seseorang yang menunggu waktu justru berjalan merangkak. Kau bisa merasakan pergeseran detik demi detiknya begitu perlahan, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari. Semua seperti dibuat slow motion. Berjalan perlahan tertatih-tatih meninggalkan jejak luka yang menjadi-jadi.

Sampai sekarang saya masih terus menunggu “seseorang” itu. Dia yang namanya bahkan sudah tidak pernah lagi disebut oleh sesiapa, sudah dilupakan orang-orang bertahun-tahun lamanya. Saya berjalan menyusuri garis pantai, meninggalkan jejak-jejak kaki di pasir basah. Angin laut bertiup hangat menenangkan. Konon katanya, dahulu orang-orang bisa berkirim kabar dengan perantara angin laut. Angin laut mengabarkan banyak hal, menceritakan kisah-kisah dari negeri-negeri yang jauh, dari orang-orang yang telah lama pergi, begitu Nenekku dulu pernah bercerita.

Namun perlahan-lahan orang-orang melupakan kebijaksanaan alam itu. Beralih ke tekhnologi super canggih yang bisa mempertemukan dua orang yang terpisah jarak beribu-ribu mill hanya dengan sekali pencetan. Pada akhirnya angin laut terlupakan, manusia kehilangan kepekaan, konektivitas kita dengan alam memudar, manusia tak lagi bisa memahami bahasa alam, bahasa angin.

Namun meski demikian, pada dasarnya kemampuan manusia untuk terhubung dengan alam tidak serta merta hilang. Beberapa orang mungkin masih diberi sedikit kepekaan meski tidak sekuat orang-orang di jaman dahulu. Atau beberapa orang masih diberi kemampuan itu, meski sudah samar-samar.

Pernahkah kalian berjalan-jalan ke pantai, dan tiba-tiba seperti mendengar bisikan samar-samar  entah dari siapa, mungkin itu pesan yang dibawa oleh angin laut. pesan yang dikirm dari seseorang dari negeri yang jauh, dari seseorang yang telah lama pergi. dari seseorang yang mungkin begitu kau rindukan. seseorang yang membuatmu rela menunggu begitu lama. 

Suatu waktu saya berjalan di pantai seperti sekarang ini, tetiba saya mendengar suara angin berbisik, menyampaikan pesan entah dari siapa meski hanya samar-samar. Sejak hari itu saya sering menghabiskan waktuku duduk berlama-lama di sini. Di pinggir pantai ini, menunggu kabar yang dibawa angin. Saya berharap suatu hari bisa memahami bahasa itu dengan baik. Saya berharap pesan yang dibawa angin itu adalah pesanmu.



Bersambung

0 komentar:

Detail Buku Judul: The Geography of Faith - Pencarian Tuhan di Tempat-Tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem Penu...

Resensi The Geography of Faith- Pencarian Tuhan di Tempat-Tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem


Detail Buku
Judul: The Geography of Faith - Pencarian Tuhan di Tempat-Tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Zahra Haifa
Penerbit: Penerbit Qanita
Cetakan: I, September 2016
Tebal: 500 halaman
ISBN: 978-602-402-040-8
Harga: Rp 85.000

Sudahkah kau menemukan Tuhanmu ?
Buku ini dimulai dengan pertanyaan itu. Sederhana tapi bermuatan teologis yang tinggi. Eric Weiner, di sebuah rumah sakit secara tak sengaja mendapat pertanyaan teologis seperti ini “Sudahkah kau menemukan Tuhanmu”. berhari-hari setelah pertemuannya dengan perawat rumah sakit itu, pertanyaan itu terus menerus terngiang-ngiang di otaknya. Hingga pada satu titik Eric memutuskan untuk kembali keluar dari zona nyamannya. Bertualang untuk menemukan Tuhannya.

Perkenalan pertamaku dengan Eric saat membaca bukunya The Geography of bliss. kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia untuk menemukan definisi kebahagiaan, saya terseok-seok membaca buku itu, butuh kurang lebih 6 bulan lamanya untuk menyelesaikan buku yang bernarasi panjang-panjang itu namun saya akui buku itu salah satu buku terbaik yang pernah saya baca selama ini, kocak namun syarat akan nilai-nilai filosofi.

Sementara buku keduanya ini tidak terlalu membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Tak lebih dari dua bulan lamanya saya sudah berada dilembaran terakhir buku ini. Saya membaca buku ini diantara kesibukan kerjaku yang seperti tak ada habisnya ini. mungkin karena saya sudah mulai akrab dengan gaya berutur si Eric, skeptismenya dan ketakutan-ketakutan yang tak beralasannya yang selalu dia selipkan dalam narasinya yang panjang-panjang.

Eric berkelana ke pelosok negeri dari Kathmandu (Nepal), China, Istanbul, sampai Yerussalem. Catatan dari perjalanan tersebut lantas ia kumpulkan menjadi buku setebal 500 halaman ini. Sebuah catatan perjalanan spiritualitas. Sebuah perjalanan untuk menemukan Tuhan.

Meski pada dasarnya Eric seorang Yahudi, namun menurut penuruturannya dia telah lama meninggalkan ke Yahudiaannya. Eric mengakui dirinya bukan orang yang religius namun juga dia tidak sampai menjadi ateis, dia percaya ada sesuatu yang maha besar dibalik semua apa yang terjadi di semesta ini, namun meski demikian dia menempatkan agama diurutan nomor sekian dalam prioritas hidupnya.

Sebagai orang yang liberal keterikatan kepada sesuatu yang bersifat dogmatis akan sangan mengungkung hidupnya. Eric bukan manusia seperti itu. Dia bebas, dia selalu menganalogikan dirinya hanya seperti seseorang yang terus menerus mengintip dibalik pintu, tanpa berniat ikut masuk kedalam, terikat. Jadi ketika dia tidak menyukai sesuatu dari apa yang dia intip itu dia bisa pergi dengan gampang tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Seperti katanya “Aku sengaja tidak memilih agama secara utuh, tetapi sedikit irisannya. Irisan Tuhan”. (Halaman 33)

Buku ini berisi delapan bab. Bab pertama sendiri Eric menceritakan bagaimana perkenalan Eric dengan Sufisme di Istambul Turki. Tempat Rumi sang pujangga Islam menuliskan syairnya dan tempat asal para darwis yang berputar. Di kota ini penulis berusaha untuk berlatih sema, upacara berputar dalam suifiesme. Selanjutnya bab ke dua Eric mencertikan perjalanan spiritualnya ke Kathmandu di Nepal. Kota tersebut memiliki sejarah agama Buddha yang dalam. Di sini penulis belajar untuk bermeditasi.

Bab ke tiga buku ini mengambil setting di New York di Amerika Serikat. Pada sebuah penampungan tunawisma di Bronx Selatan, di sini Erick belajar untuk lebih mengenal Fransiskan, salah satu ordo Katolik yang berada di sudut koda New York dimana pelayanan adalah misi utama dari ordo ini. Perjalanan spiritual berikutnya mengantarnya ke Las Vegas. Eric kemudian menghadiri pertemuan Raelian yang mewah. Raelian adalah kepercayaan terbesar berbasis UFO. Mereka percaya bahwa semua makhluk hidup di bumi diciptakan oleh Elohim. Raelian juga sering disebut sekte UFO, para skeptisme kelompok ini menyebut agama ini sebagai sekte zaman akhir. Tetapi merujuk pada buku "Intelegent Design", Raelian adalah pencerah bagi agama-agama primitif yang mempercayai hal-hal gaib atau hal-hal supranatural secara buta tanpa proses scientifikasi. Realian mencoba menjembatani antara mistisme dan sains.

Perjalanan pencarian Tuhan kemudian dilanjutkan dengan mengikuti tur agama Tao di Wuhan, Cina. Penulis berharap di kota ini dia dapat memperbaiki chi-nya yang bermasalah. Taoisme juga sering disebut dengan Tao.Tao adalah kekuatan utama didalam alam semesta yang terdapat pada semua benda, terdapat didalam inti segala benda di surga dan di bumi, kekal abadi dan tidak dapat berubah.

Pada bab berikutnya Eric menceritakan bagaimana dia bertemu dengan seorang penyihir di Washington D.C. dari sini dia belajar mengenal wicca. Wicca tidak hanya menawarkan satu Tuhan, tetapi ratusan Tuhan. Dengan kata lain, Wicca adalah keyakinan yang sempurna bagi orang-orang yang kurang cocok berkomitmen. Jika gagal dengan satu tuhan, kita dapat mencari yang lain. (halaman 350)

Masih di kota yang sama, Washingtong D.C., penulis kemudian melanjutkan pencarian spiritualnya dengan mengikuti Lokakarya Syaman. Dia mencoba praktik spiritual Syamanisme. Paham Syamanisme. tradisional menempatkan alam sebagai titik sentral kehidupan dan kematian. Alam manusia dan alam roh saling terhubung dan kehidupan di dua alam tersebut saling terkait satu sama lain. Syaman percaya mereka bisa terhubung lagi dengan kekuatan yang dulu dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan ruh binatang. Binatang dianggap luar biasa kuat jika dapat mengambil bentuk rupa manusia atau jika dapat merangarahkan elemen yag tidak dimilikinya. (halaman 388)

Kemudian pada bab terakhir, Erick menutup pencariannya dengan mengunjungi Tzfat (juga dieja Safed), kota kecil di kawasan pinggiran Tel Aviv, Israel untuk memahami Kabbalah agama leluhurnya. Perkenalannya dengan Eyal, Moshe (penganut Katolik), Yedidah, David, dan membaca berbagai buku, membawanya berdikusi tentang Kabbalah. “Aku menyebutkan sesuatu yang kubaca tentang bagaimana Kabbalah mengajarkan bahwa bukan saja manusia membutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan juga membutuhkan manusia.Bagiku ini sangat menarik. Tuhan membutuhkan kita? (halaman 415)

Buku ini memang tidak bertujuan untuk membandingkan mana agama terbaik diantara semua agama yang ada di muka bumi ini. Buku ini hanya tentang kisah seseorang yang ragu akan keimananya, lalu berjalan mencari sesuatu yang lain di luar apa yang dia yakini selama ini. Namun seperti kata Eric “Agama yang buruk merendahkan kita. Agama yang baik meninggikan kita, menjadikan kita orang yang lebih baik daripada yang kita sangka, atau daripada yang mungkin kita bayangkan” (halaman 478) . Begitulah Eric, kita tidak pernah menarik kesimpulan apapun dari buku-bukunya.

2 komentar:

Islam dan Diabolisme Intelektual autor; Syamsuddin Arif Hardcover , 253 pages Published August 2017 ...

Islam dan Diabolisme Intelektual

Islam dan Diabolisme Intelektual
autor; Syamsuddin Arif
Hardcover, 253 pages
Published August 2017 by INSISTS
ISBN139786021998571
Edition Language: Indonesian 
 
Tahun 2018 saya kembali mengikuti reading challengge di goodreads. tahun ini saya menurunkan targetku dari 30 buku ke hanya 20 Buku yang kemungkinan besar bisa ku selesaikan, akibat kegagalanku 2 tahun terakhir ini menyelesaikan challenggeku.
Selain itu saya masih terikat beberapa buku yang belum mampu kuselesaikan di tahun sebelumnya. saya masih terkatung-katung membaca The Fall of The Khilafah dan Api Sejarah 2 yang harus segera kuselesaikan secepatnya. Tahun ini saya menargetkan membaca buku ilmiah 75% lebih banyak dibanding buku non ilmiah. 

Buku pertama yang kubaca tahun ini adalah buku karya Syamsuddin Arief “Islam dan Diabolisme Intelektual”. Buku ini sangat menarik, buku ini kuberi bintang 5 di goodreads dan satu-satunya buku yang pernah kuberi nilai sempurna di goodreads selama ini.

Buku ini merupakan kumpulan artikel penulis yang pernah di terbitkan di berbagai media cetak dan online, dihimpun dan dicetak menjadi buku yang wajib menjadi salah satu referensi bagi kalian yang suka berkutat dengan ranah “worldview”  peran pemikiran, islamisasi sains atau apapun nama kerennya. Meski ditulis dengan bahasa sederhana buku ini dilengkapi dengan referensi-referensi ilmiah yang menjadikannya begitu berbobot.

Pertama kali melihat buku ini saya sangat tertarik dengan judulnya “ Islam dan Diabolisme intelektual” dua hal yang dibenturkan dalam satu kalimat “Islam dan Diabolisme”.  Diabolisme sendiri berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian kepadanya.  Iblis kata penulis buku ini adalah prototype intelektual “keblinger’. Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya justru karena ia membangkang, menganggap dirinya hebat, dan melawan perintah Tuhan. Dalam hal ini Iblis tidak sendirian, sudah banyak kader-kader yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya termasuk di Indonesia.   

Buku ini banyak mengupas bagaimana logika-logika yang terkesan intelektual namun menyesatkan dan berbahaya disisipkan sedemikian rupa dalam tubuh umat Islam. Pembangkangan yang dibungkus dengan manis dalam wajah intelektualitas. Penyakit yang beberapa dekade terakhir juga mulai merusak generasi-generasi muda muslim di Indonesia.

0 komentar: