Barangkali pernah, dalam hidupmu, engkau memiliki simpul persahabatan yang engkau percaya tak ada tandingannya. Engkau mengandalkannya kad...

Resensi Novel: Aku Angin Engkaulah Samudra


 

Barangkali pernah, dalam hidupmu, engkau memiliki simpul persahabatan yang engkau percaya tak ada tandingannya. Engkau mengandalkannya kadang lebih dibanding engkau memercayai kemampuanmu sendiri. Engkau mengenangnya seperti halnya Padi melagukan Harmoni. Engkau merasa tidak mungkin berdiri hari ini tanpa dirinya di masa lalu, meski di masa nanti, di mana dia, engkau tak tahu lagi.

(Tasaro GK)

 

Buku ini berkisah tentang Maru dan orang-orang yang hadir dalam satu wilayah waktunya. “Persahabatan” begitu mungkin orang-orang menyebutnya. Ikatan yang terjalin kuat karena satu alasan, entah karena kesamaan nasib, hobi, pekerjaan, latar belakang masa lalu atau hanya karena kebetulan bertemu disuatu tempat namun memberi suatu ekses yang mendalam.


Saya membaca buku ini saat hubungan antar orang-orang yang tadinya kuanggap sahabat mulai merenggang. Satu persatu simpul yang pernah kuikat begitu kokoh itu melerai. Kenyataannya waktu, jarak dan interaksi yang tak lagi seintens dulu menjadi tembok tak kasat mata yang sukses merenggankan ikatan itu. Kita akhirnya berjarak. Seperti Maru, satu persatu satu orang-orang yang dianggap sahabat akhirnya tertinggal dibelakang. Maru pergi, hidup berpindah seperti angin.


Nyatanya memang seperti kata Maru “waktu selalu punya superheronya masing-masing”. Kita akan selalu menemukan orang-orang baru dalam kehidupan kita, pun sebaliknya mungkin kita pada akhirnya juga akan saling melupakan dan itu tak perlu terlalu kita sedihkan.


Buku ini bermula dari kisah Maru di masa kecil, persahabatannya yang kental degan Samu menjadi kisah nostalgia yang melatari hampir semua kisah dalam novel ini. Maru yang namanya konon berarti Angin dan Samu yang merupakan singkatan dari Samudera. Dua anak manusia yang harus memilih dan menajalani pilihan hidupnya masing-masing. Samu menjadi tentara seperti impian kecilnya dan Maru ditadirkan untuk hidup berpindah seperti angin dia menjadi jurnalis dan bepergian ke berbagai daerah.


Konflik bersenjata antara TNI dan GAM di Aceh kembali mempertemukan mereka. Persahabatan yang tadinya merenggang oleh waktu kita menemukan titik jalannya kembali. Apakah persahabatan yang dulu dibina di masa kecil bisa kembali menguat seperti sedia kala atau senyatanya waktu dan jarak memang begitu sukses merenggangkan suatu hubungan.


Manusia pasti akan megalami banyak hal dalam hidupnya, memasukkan banyak pemahaman baru yang mewarnai idiologi dan cara pandang mereka. Ketulusan persahabatan di masa lalu harus di uji dengan idealisime dan kepentingan pribadi. Samu yang tentara dan Maru yang jurnalis. Samu harus melihat segala sesuatu dari kacamata militernya, sementara Maru sebaliknya dia melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda.


Saya selalu menyukai membaca buku Tasaro GK. Tertalogi “Muhammad lelaki penggengam hujan” atau “sewindu” yang sukses membuatku baper berat. Entah kenapa tulisannya selalu bernaas. Selalu terasa hidup. Pun sama halnya dengan buku ini. Diluar ada bebeberapa hal yang terasa begitu mengganggu karena penggunaan sudut pandang yang berubah-ubah, buku ini masih tetap layak diberi bintang 4. Terimakasih Mas Tasaro GK untuk semua karya-karyanya yang selalu menginspirasi.

 

0 komentar: