Saya menyukai membaca buku ditengah malam buta saat orang-orang terlelap dalam mimpinya saat yang ada hanya suara-suara ketenangan mala...

Inikah Saatnya ?



Saya menyukai membaca buku ditengah malam buta saat orang-orang terlelap dalam mimpinya saat yang ada hanya suara-suara ketenangan malam tak ada apa-apa, hanya kita, suara lembaran buku terbolak balik dan segelas kopi susu mungkin. saya menghabiskan berlembar-lembar halaman novel tebal yang masih baru saja kubeli tadi pagi. saya duduk  di kursi dekat jendela hotel. Menyaksikan kota ini dari ketinggian. Kerlap kerlip lampu kota mengingatkanku pada suatu hari di puncak gunung Tongkor kina. Terakhir kali aku melihat bintang sedekat dan sebanyak itu satu tahun lalu di bulan Desember, menjelang pergantian tahun, di sebuah desa adat di puncak gunung di pedalaman Flores, Nusa Tengara Timur “Wae Rebo”. Jauh dari keramaian, jauh dari peradaban, jauh dari apapun. Terisolasi gunung-gunung menjulang tinggi. Sebuah tempat yang hanya ada satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia.

Saya menghela nafas panjang, saya pernah disitu. Sebuah perjalanan yang mungkin tidak lagi akan pernah terulang selamanya. Saya tersenyum penuh ironi. Perjalanan berhari-hari itu berarti selamanya, perjalanan itu mungkin hanya sekali itu saja. Tak lagi ada yang kedua, ketiga, atau keempat

Meski demikian saya kembali bisa bernostalgia dengan kenangan masa lalu itu. Seseorang kawan seperjalanan selama di Flores berkunjung ke Makasar. Kami dipertemukan secara tak sengaja, saat terjebak di pelabuhan Sape di Bima, sama-sama ketinggalan kapal penyeberangan ke Labuanbajo. Kesamaan kondisi itu memberikan rasa kedekatan secara emosional. Pertemuan-pertemuan konyol seperti itu justru membawa kesan tersendiri, menjadikan pertemanan mungkin bisa lebih awet.

Dia mengunjungi Makasar untuk trip panjangnya berkeliling sulawesi. Saya iri, andai punya cukup waktu saya pasti tidak akan melewatkan trip lintas Sulawesi itu. Hmmm,,, saya kembali mengela nafas panjang. Saya tiba-tiba merindukan perjalanan-perjalananku. Merindukan suatu rasa yang membuncah ketika berada diantara tempat-tempat asing, orang-orang asing, saya tiba-tiba begitu merindukan kebebasan itu.

Sudahlah, Mungkin memang sudah saatnya saya harus berpamitan dan menggantung ransel. Mungkin memang inilah saatnya. Kita harus berdamai dengan keadaan. Mengalah pada takdir, dari pada terus menerus harus menggerutuinya. Mungkin memang kini saya harus berganti peran. Memainkan lakon yang berbeda. Cerita kehidupan yang lain. Entahlah

0 komentar:

a.    Sally Cinta Dalam Kegilaan Anakku by Michael Greenberg    Saya menyelesaikan buku ini dalam perjalanan pulang dari libura...

Buku yang Kubaca Tahun 2017 (Part II)



a.    Sally Cinta Dalam Kegilaan Anakku by Michael Greenberg 

 Saya menyelesaikan buku ini dalam perjalanan pulang dari liburan akhir tahun yang menyenangkan.
buku ini terbilang berat, dengan translate yang kurang nyaman di baca tapi bagaimanapun juga, buku ini luar biasa. menceritakan perjuangan seorang ayah yang berusaha menemukan kembali kesadaran putrinya yang direnggut penyakit kejiwaan "Bipolar".  Banyak bahasa medis yang membuatku lebih sering mengerutkan kening saat membacanya. Buku ini kuberi bintang 4 di goodreads karena pesan mendalam yang dibawah penulis di buku ini. luar biasa. Sungguh orang tua adalah segala-galanya bagi kita.

b.    Bajak Laut & Purnama Terkahir by Aditya Mulya
Buku karya Aditya Mulya penulis “Sabtu Bersama Bapak” ini adalah buku komedi pertama yang kubaca di tahun 2017, saya hampir membaca semua buku karya penulis ini, namun entah kenapa buku bergendre komedi ini tidak membuatku terpikat. Garing. Silahkan baca review bukunya di goodreads. 

c.    Yuk Jadi Orang Tua Shalih by Abah Ihsan




Anak Yang Tercinta Hingga Terluka
Sakit dari masa lalu...
Kelak dewasa anak akan meninggalkan orang tua, itu sudah pola yang terjadi berulang dalam budaya kita, dan itu Normal. Tetapi dari beberapa kasus yang kami temui, sering kali tidak sedikit mereka pergi karena terluka. Luka batin sering kali menjadi alasan kenapa anak pergi, atau bahkan orang tua pun pergi atau berpisah karena luka batin.
Tahukah Anda bahwa luka dalam batin seseorang hanya sangat mungkin disebabkan oleh orang yang terdekat? Bukan orang yang jauh di hati Anda...
Hubungan terdekat seorang manusia diawali dengan hubungan Orang tua dan Anak, dan tidak jarang masalah terbesar manusia berawal dari hal ini.
Bayangkan...
Tubuh manusia normal itu bisa sakit, dan ada obatnya untuk menyembuhkan...
Jika batin manusia sakit, apa obatnya?
Baiklah tulisan ini tidak perlu dilanjutkan lagi daripada mengungkit hal yang akan menyakitkan
berharap sekali, tidak ada hal buruk dalam hidup anda..
Jikapun Anda menyadarinya, maka ini adalah solusi buat Anda dan Anak anda juga...
Begitu kurang lebih iklan berantai yang saya share di media sosial untuk mempromosikan buku ini. saya membaca buku ini demi kelancaran jual beli buku yang saya jual dan alhamdulillah buku ini bisa terjual lumayan banyak

d.    Selimut Debu dan Garis Batas by Agutinus Wibowo

Buku ini karya Agustinus Wibowo, penulis yang melejit dari karyanya “Titik nol” saya mengenal penulis ini dari buku terakhirnya itu “Titik Nol” yang tiba-tiba saja booming di pasaran. 2 bukunya itu merupakan pendahuluan dari titik nol itu bahkan telah kubaca di tahun 2014 yang lalu, sementara buku titik nolnya entah hilang dimana pas saya pindah kos dulu di Malang. Saya kembali membaca ulang buku ini, dan kekagumanku atas kisah-kisah petualangan yang dia tulis tak berkurang sedikitpun. Buku ini benar-benar tidak membuat saya bosan membacanya. Saya benar-benar menyukai karya-karya Agustinus Wibowo. Cara pandangnya yang berbeda melihat sesuatu, dan gaya bertuturnya dalam menggambarkan tempat-tempat yang dia kunjungi di negeri-negeri yang dilanda perang, negeri-negeri yang berselimut debu, membuat saya mampu berfantasi seakan berada bersama dia, menenteng rangsel bersama. Saya sarankan anda membaca buku ini sebelum usia anda mencapai 30 tahun, agar masih punya semangat mengangkat ransel dan berkunjung ke berabagai tempat yang belum anda sempat kunjungi.

Selain buku-buku di atas saya masih sedang berkutat dengan beberapa buku yang belum mampu kuselesaikan, antara lain lanjutan dari Kisa Kasvha karya Tasaro “Muhammad Lelaki Pengeja Hujan” yang saya berharap bisa berakhir sebelum akhir tahun tiba, ada buku Api sejarah II yang tebalnya membuat saya lelah, buku sejarah terbaik yang pernah saya miliki. Buku sejarah yang merubah 100 drajat pandanganku tentang sejarah indonesia dan umat Islam yang disembunyikan selama ini. Selain itu saya juga mendalami buku sejarah keruntuhan Khalifah Islam dalam The Fall of Khilafah karya Eugene Rogan buku yang berat, berisi deretan angka-angka tahun kejadian peristiwa dan berbagai konflik perang berkepanjangan saya selalu kewalahan tiap kali membacanya. Semoga di tahun depan saya mampu menyelesaikan semua buku yang sementara saya baca ini dan berhasil memenangkan chalange di goodreads. Oh iya, di tahun 2018 besok saya kembali akan menargetkan 30 buah buku saya berharap bisa memiliki banyak waktu untuk memenuhi semua target saya. 

0 komentar:

Tahun ini saya kembali mengikuti 2017 Reading Challenge yang dimotori oleh Goodreads , namun hingga kuartal ke empat, saya baru menyeles...

Buku yang Kubaca Tahun 2017 (Part I)


Tahun ini saya kembali mengikuti 2017 Reading Challenge yang dimotori oleh Goodreads, namun hingga kuartal ke empat, saya baru menyelesaikan tak lebih 15 buku dari 30 buku yang saya target, dengan asumsi saya bisa menyelesaikan dua buku tiap bulannya. Jika tahun ini saya kembali gagal memenuhi target artinya sudah 3 tahun ini saya kembali gagal memenangkan challenge. Kemampuan membaca saya semakin turun drastis. Berikut beberapa buku yang sempat saya resensi barangkali bisa bermanfaat.

1. Muhammad Sang Pewaris Hujan by Tasaro GK
Buku terakhir yang kubaca tahun ini adalah serial ketiga dari tertalogi Muhammad “”Sang Pewaris Hujan” Karya Tasaro GK. Buku Biografi Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang ditulis dengan gaya dan sudut pandang yang berbeda. Buku ini dipadukan dengan kisah fiktif tentang perjuangan seorang yang diberi gelar “sang pemindai surga” Kasvha dari persia yang bertualang mencari kebenaran dan terjebak diantara pusaran sejarah perkembangan Islam di awal-awal perkembangannya. .
Novel ini masih berkisah tentang Kashva yang entah karena alasan apa Tosaro dengan tega merubahnya menjadi Elyas.  Buku ini mengingatkanku pada Novel Filsafat karya Jostien Gardeer “dunia Sophie” dimana ditengah-tengah halaman kita terkaget dengan alur ceritanya yang tiba-tiba berubah drastis.
Apakah kita ini ada, apakah kita ini benar-benar ada, atau  kita hanyalah mahluk rekaan yang bermain-main di  dalam imajinasi the creator.
Kalimat itu yang terngiang-ngian di otakku begitu saya selesai membaca buku Dunia Sophie itu. Kasvah atau Elyas mungkin seperti kisah Sophie yang ternyata hanyalah figur yang di ciptakan seorang penulis bernama Sophie sebagai tokoh utama dalam novel Sophie yang juga hanyalah tokoh imajinasi penulis buku Sophie. Hahahha bingung kan. Kasvah atau Elyas pun sama. Kasvah tiba-tiba kehilangan sebagian besar ingatannya karena suatu  kejadian, sedikit hal yang tersisa darinya hanyalah Elyas, teman surat menyuratnya yang kemungkinan hanyalah teman imajinasinya selama ini yang dia ciptakan sendiri dan entah mengapa Tasaro merubah Kasvah menjadi Elyas.
Tasaro kehilangan banyak figur penting yang pada novel sebelumnya mengambil porsi yang cukup menarik. Kisah pencarian Xerxes yang membuatku penasaran di Buku sebelumnya tiba-tiba kehilangan jejak di sini. Juga  Vakhshur bocah yang selalu mengikuti Kashva,  serta Astu  dan suaminya orangtua Xerxes yang semuanya entah kenapa tiba-tiba dilenyapkan di novel ini. Meski demikian Tasaro kembali memunculkan sosok-sosok seperti Maria dan adiknya Abdellas, Abdul Masih, Junior dan Bar  sebagai cameo.
Saya masih lebih menyukai petualangan Kasvah di dua novel sebelumnya di banding pada buku ketiga ini,  kisahnya cenderung dipaksakan atau mungkin karena kisah Kasvah memang harus dibikin panjang untuk mengikuti biografi Khalifah yang menjadi ciri khas buku karya Tasaro ini.
Saya tak sabar ingin segera menyelesaikan kisa Kasvah pada novel terakhir Tasaro. Semoga Novel ke empat tersebut benar-benar menjad klimaks dari novel ini. Novel ini kuberi bintang 4 di goodreads, kurang satu bintang dari nilai sempurnanya. Meski demikian saya mengucapkan banyak terimakasih kepada penulis buku ini, yang telah bersusah payah menghadirkan buku ini sebagai bacaan yang berkualitas.


2. Life Traveler by Windy Ariestanty
Secara tak sengaja saya menemukan buku ini diantara buku-buku usangku yang lama tak tersentuh, lengkap dengan penanda-penanda kecilnya yang sudah mulai pudar warnanya. saya membuka salah satu lembaran yang bertanda, dan saya menemukan petikan ini

"kadang kita menemukan 'rumah' ditempat yang tidak kita duga. menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. mereka-mereka yang memberikan 'rumah' itu untuk kita, apapun bentuknya'

'Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri: sebuah rumah yang sesungguhnya. yang membuat kita tak asing meski berada di tempat asing sekalipun’
Windy begitu apik menuliskan catatan perjalanannya ini, dimulai dari petualangannya di Vietnam hingga perjalanan berkesannya ke Eropa. Buku ini meski diberi judul 'Life Traveler' Windi justru lebih banyak melihat sisi lain dari sebuah perjalanan, esensi dan makna dari sebuah perjalanan itu sendiri. Buku ini ringan tapi dalam dan sedikit melangkolis memang. Buku ini menceritakan berbagai fragmentasi Kehidupan yang dilihat penulis selama perjalannya mulai dari hal-hal ringan seperti perjalananya dengan sleeper bus ke Ha Noi atau sebuah kedai kopi yang unik yang dia singgahi pada perjalanannya ke Paris. Kisah-kisah ringan namun menarik itu diceritakan kembali secara apik di dalam bukunya. Banyak hal yang bisa dipelajari dari buku ini, termasuk tempat-tempat yang layak di kunjungi ala Windy.
Saya memutuskan membaca kembali buku ini, menemani masa liburku di Rumah. dan saya kembali jatuh suka dengan catatan perjalanannya Windy Ariestanty. Terimakasih telah menghadirkan buku ini


3. Anak Rantau by A. Fuadi

Satu-satunya yang tidak kusukai dari novel ini adalah nama pemeran utamanya. "heppi" kenapa harus Hepi ? begitu gerutuku. Heppi tokoh utama di novel ini adalah anak SPM kelas 3 yang jadi pahlawan super hero di kampungnya. Saya yakin di dunia nyata tidak pernah ada anak seumuran itu mampu melakukan hal-hal seperti Heppi lakukan. itu kadang yang membuat saya berfikir, kenapa para penulis novel kadang membuat tokoh yang tidak membumi, terlalu fiktif untuk menjadi manusia.
Di luar ketidaksukaan saya terhadap tokoh utamanya, secara garis besar saya jatuh suka pada novel ini. Kisahnya ringan dan menyentuh tapi tidak melankolis. hubungan antara anak lelaki dan ayahnya digambarkan cukup baik. Selama ini kenyataannya selalu ada jarak yang tak kasat mata antara anak lelaki dan ayahnya, begitu juga Heppi, ayahnya dan kekeknya Heppi. Hubungan ketiga manusia beda generasi ini cukup rumit dengan berbagai kompliknya.
A. Fuadi selalu mampu membawa pembaca larut dalam novelnya, seperti novel-novel sebelumnya banyak pesan-pesan moral yang bisa dipetik dari kisah ringan ini. Novel ini kuberi bintang 4 kurang satu bintang dari nilai sempurna bagaimanapun juga saya mengucapkan banyak terimakasih kepada penulis telah menghasilkan karya ini.
 
4.  Cut Nyak Dien: Sebuah Novel Epik Perang Aceh by Sayf Muhammad Isa


Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropa yang pernah mengalahkan Inggris, di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan Belanda di atas belahan dunia.

Perang Aceh termasuk ke dalam sepuluh perang terlama di dunia. Pada tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Belanda mengeluarkan Pernyataan perang dengan resmi atas kerajaan Aceh. Maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral J.H.R Kohler pada tanggal 5 April 1873 mulai menyerang Aceh. Pasukan Belanda memusatkan serangannya pada Masjid Raya Baiturrahman. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman terbakar dan dapat dikuasai Belanda. Dalam pertempuran tersebut Jendral Kohler tewas. Meskipun Masjid Raya Baiturrahman dapat dikuasai Belanda, namun hal itu tidak berlangsung lama. Belanda semakin terdesak dan pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.

Namun kemudian Belanda datang lagi. 24 Desember, 1873 Belanda kembali menyerang Aceh dengan mengerahkan serdadu upahannya dari Jawa, Madura, Manado dan Maluku. Mereka juga menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Prancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerahkan mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh. Kedatangan kembali Belanda ke Aceh dipimpin oleh Jendral J.Van Swieten. Belanda berhasil menguasai istana dan dijadikan daerah pertahanan. Walaupun istana dapat dikuasai Belanda, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung. Di bawah pemimpin-pemimpin Aceh seperti Panglima Polim, Teungku Chik Di Tiro, Teuku Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dien, Teuku Umar dll, rakyat Aceh terus berperang melawan kedzaliman dan penjajahan Belanda. Setelah terjadinya perang periode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Aceh tahun 1942. Novel ini sudah ku resnsi khusus silahkan baca di link ini

5. Bocah Penjinak Angin by William Kamkwamba
I try, and I made it!”
William Kamkwamba, The Boy Who Harnessed the Wind: Creating Currents of Electricity and Hope

“Dan saat aku sudah turun dari panggung dan kembali ke kursiku, kulihat beberapa orang bahkan menangis. Setelah bertahun-tahun menderita-kelaparan dan terus menerus mencemaskan keluargaku, putus sekolah dan kesedihan ayahku, kematian Khamba, dan ejekan orang-orang ketika aku mencoba membuat kincir angin, setelah semua hal itu, akhirnya aku diakui. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti dan menghargai apa yang telah kulakukan. Dadaku terasa ringan, seolah-olah beban berat terlepas dan jatuh ke lantai di ruangan pertemuan itu. Aku merasa lega”

Buku ini merupakan kisah nyata dari William Trywell Kamkwamba yang ditulis bersama Bryan Mealer. Setting di Malawi, Negara kecil di sebelah tenggara Afrika, saat itu William berusia 14 tahun. Kalimat awal di BAB 1 sangat menarik, “ Sebelum aku menemukan keajaiban ilmu pengetahuan, ilmu sihir menguasai duniaku. Malawi di tahun 2002, bagaikan mimpi buruk bagi rakyat negara kecil di tenggara afrika itu. Banjir yang diikuti oleh kekeringan dan gagal panen menyebabkan kelaparan yang membunuh ribuan orang. bencana itu tidak hanya menelan banyak korban jiwa lebih jauh bencana itu membunuh banyak harapan dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi setiap orang. Buku ini sudah ku review khusus, jika berkenang silahkan baca di link ini 

*bersambung

0 komentar:

Ramang-ramang Ramang-ramang memiliki luas sekitar kurang lebih 45 ribu hektar, setiap sudut serta sisinya tampak megah dan misterius...

Wisata Sehari di Ramang-Ramang



Ramang-ramang

Ramang-ramang memiliki luas sekitar kurang lebih 45 ribu hektar, setiap sudut serta sisinya tampak megah dan misterius. Kemisteriusannya itu mengundang rasa penasaran untuk dijelajahi. Pesona Rammang-rammang pun digadang-gadang tidak kalah eksotis dengan Tsingy Stone Forest yang dinobatkan sebagai karst nomer satu di dunia. selain itu, dicela-cela bebatuannya masih menyimpan banyak misteri tak tertaklukkan. Ini kali kedua saya mengunjungi tempat ini. Kali pertama saya dibuat terkagum-kagum dengan pemandangannya yang bak lukisan itu, kali ini saya semakin terkagum dengan apa yang tersembunyi diperut gunung batunya

Padang Ammarung

Namanya Kampung Berua, tempat ini seperti terkurung di dalam dimensinya sendiri, terisolasi Ggunung-gunung batu menjulang tinggi tak tertaklukkan,. Lembah ini seperti berjalan merangkak, tertatih-tatih melewati jaman. Rumah-rumah kayu tua yang jumlahnya tak seberapa tampak lapuk termakan usia. Jumlah penduduk di sini bisa dihitung jari. Hanya di isi tak lebih dari 15 kepala keluarga. Tak banyak yang bisa dilakukan disini, jika tak menjadi nelayan orang-orang harus merantau, di sini tak ada apa-apa, tidak ada uang, tidak ada sekolah, tidak ada fasilitas kesehatan. Satu-satunya akses ketempat ini adalah melewati sungai Pute.


Di sini kami tidak ada pekerjaan, kita tak bisa menanam apa-apa, di sini hanya ada karang dan karang. Bebatuan cadas dan gunung-gunung yang tinggi menjulang itu, selain itu tak ada. Bapak dulu nelayan, tapi sejak bahan bakar makin sulit di dapat, kita terus menerus merugi, akhirnya bapak ikut merantau diajak sama keluarga, keluar menambang emas di Bombana Sulawesi Tenggara, dari situ kita bisa bertahan hidup. Kini bapak semakin tua, pekerjaan seperti itu tak lagi mampu dilakoninya apalagi kini tempat menambang bapak dulu sudah disegel pemerintah, orang-orang tak lagi bisa mendulam emas disitu.

Ibu pernah mencoba menambang, bersama beberapa orang penduduk desa ini kami ke Donggala, perbatasan Sulawesi barat-Sulawesi Tengah konon katanya disana banyak emasnya. Tapi bukannya untung malah buntung. Di sana tak ada apa-apa, Ibu harus berkendara sehari semalam dan pulang degan membawa hutang. Beruntunglah tempat ini mulai ramai, orang-orang sudah mulai berdatangan, Ibu jualan pisang goreng dan kopi di sini.

Saya terpekur mendengar cerita pemilik kedai kecil ini. saya beristirahat di warung paling pojok di “puncak ammarung”. Saya suka tempat ini, di depan saya berdiri kokoh bebatuan karts yang konon katanya merupakan karts terbesar ke dua di dunia. Paradoksal memang, Siapa sangka dibalik keindahan tempat ini masih ada jerit tangis warga yang dibekap oleh kemiskinan. Nyatanya tak selamanya apa yang tampak indah di luar akan terlihat indah juga di dalam


Landscape yang paling saya sukai persis di sana, bebatuan tinggi saling berhadap-hadapan menyisakan sedikit cela seprti sebuah pintu yang bisa membawa kita ke dunia lain, dunia paralel. Cela bebatuan itu mengingatkan saya pada lukisan-lukisan dalam imajinasi saya dulu. Angin berhembus malas, tampat ini gerah, pengap dan panas. “Puncak Ammarung” begitu orang-orang sini menyebutnya, saya tidak tau pasti mengapa tempat ini diberi nama puncak ammarung. Mungkin karena ketika angin berhembus, atau hujan turun dengan derasnya, tempat ini meraung-meraung seperti menangis. Begitu penjelasan singkat si Ibu. Tempat ini dipenuhi dengan bebatuan karang berserakan dimana-mana. Beberapa kedai berjejer rapi di sini, namun hanya dua kedai ini yang terbuka, kedai pertama setelah penanjakan tadi, dan kedai ini, bagian terujung puncak ammarung.



Pesona Hutan Batu
Salah satu tempat yang tak boleh terlewatkan di Ramang-ramang ini adalah hutan batunya. Hutan batu di Maros ini masuk dalam kategori UNESCO sebagai World Heritage (warisan dunia) kategori Natural. Kawasan Karst Maros ini juga dikenal sebagai Hutan Batu Terbesar dan Terindah Kedua di dunia. Posisi pertama diduduki oleh Taman South China Karst, Yunnan, Cina.



Konon katanya Hutan batu ini sudah terbentuk sejak beribu-ribu juta tahun lamanya. Para geologiwan menggolongkan batuan penyusun kawasan kars ini berumur antara Eosen sampai Miosen Akhir. Pembentukannya sebagai akibat aktivitas air pada areal batugamping, sehingga terjadi pelarutan dan membentuk bentang alam kars yang khas. Berbeda dengan kebanyakan kawasan kars di tempat lain yang umumnya berbentuk conicall hill karst (kars berbukit kerucut), di Maros-Pangkep bukit-bukitnya berlereng terjal membentuk bangun menyerupai menara yang sangat khas. Di dunia, bentuk khas seperti kars Maros-Pangkep ini dikenal sebagai tower karst atau kars menara. Keberadaannya dapat berdiri sendiri maupun berkelompok, membentuk gugusan pebalahgunungan kars yang menjulang tinggi*


Abaikan Penampakan Jomblo Kadaluarsa di belakang itu

Kita bisa menikmati keindahan hutan batu ini dari beberapa sisi. Pertama dari jalam masuk ke dermaga dua. Sebelum sampai di dermaga dua, kedua di dekat dermaga satu dari sisi lain. Jika kalian kebetulan berangkat dari dermaga satu maka sisi lain hutan batu ini bisa dinikmati tepat disebelah kanan tak jauh dari dermaga satu. Namun jika kita berangkat dari dermaga dua kita harus melawan arah dulu. Saya terkagum-kagum menyaksikan hamparan hutan batu yang membentang panjang ini. kita seperti berada di suatu dimensi yang berbeda, namun sayangnya tempat ini sepertinya tinggal menghitung waktu. Perusahaan semen raksasa tak jauh dari tempat ini perlahan tapi pasti akan memborbardir tempat ini, mengubahnya menjadi bersak-sak semen. Menjadi pundi-pundi uang bagi segelintir orang.


Terhipnotis Keindahan Perut Gunung
Dari penelusuran Geomagazin setidaknya terdapat sebanyak 30 gua dari 268 mulut gua telah diidentifikasi secara lengkap oleh Bappeda dan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulawesi Selatan. Gua-gua tersebut rata-rata memiliki stalaktit dan stalagmit yang indah. Sebagian dari gua yang ditemukan, ternyata merupakan habitat kelelawar. Gua-gua tersebut membentuk lorong yang menakjubkan dan sebagian berfungsi sebagai sungai bawah tanah dengan debit aliran sangat besar. Salah satunya keluar sebagai sungai dan air terjun Bantimurung. Hingga kini, gua terdalam dan terpanjang di Indonesia pun ditemukan di kawasan kars Maros-Pangkep. Gua terdalam berbentuk sumur tunggal dengan kedalaman 260 m ditemukan di Leang Leaputte, sedangkan gua terpanjang diperkirakan mencapai 27 km ditemukan pada sistem Gua Salukkan Kallang.
Goa Berlian
Saya memasuki dua goa yang menakjubkan. Yang pertama goa berlian tak jauh dari Padang Ammarung dan yang berikutnya goa kunang-kunang. Goa berlian masih berada di kawasan ramng-ramang di dermaga tiga. Dari padang Ammarung kita cukup berjalan kurang lebih 10 menit ke arah selatan, petunjuk arah ke goa ini cukup jelas. Namun sebelum sampai ke bibir goa terlebih dahulu kita akan melewati tiga rintangan yang lumayan menyiksa. Yang pertama cela neraka. Saya menyebutnya jalan setapak diantara dua bebatuan besar ini seperti cela neraka. Jaraknya tidak lebih dari 200 meter, namun di cela itu kita akan melewati jalan setapak yang dipenuhi karang-karang tajam tak berprikejalanan. Kaki saya terbaret-baret karena sendal tipis yang kugunakan.


Lepas dari mulut cela kita harus mendaki ke bibir goa dengan tingkat elevasi yang lumayan miring. Bukan pendakiannya yang menyiksa namun tapak setapak diatas bebatuan cadas itu yang membuat saya meringis bila salah langkah. Dari mulut goa kita akan memanjat dengan menggunakan tangga kayu kurang lebih 5 meter, dan bagian tersulitnya sebelum sampai ke perut goa ini adalah lagi-lagi kita harus melewati cela kecil bebatuan yang saya bisa pastikan bagi mereka yang memiliki ukuran celana di atas 34 dijamin pasti tidak akan mampu melewati cela kecil ini.

Celanya Pres Body, Orang buncit dilarang lewat
saya tiba-tiba teringat filem 127 hours yang dipernakan oleh James Franco. Filem ini diangkat dari kisah nyata Aron Ralston yang pada 25 April 2003 memasuki Grand Canyons untuk melakukan perjalanan wisata seorang diri dan mengabadikannya dengan handycam. Saat melanjutkan perjalanan seorang diri melewati celah-celah di antara ngarai, salah satu bebatuan besar yang menjadi pijakan kakinya tiba-tiba bergeser. Aron pun tergelincir jatuh dan salah satu tangannya tertindih batu itu hingga berdarah. Aron harus melewati 127 jam yang menegangkan di cela bebatuan itu berbagai macam ilusi, kenangan, pantasmogaria bercampur baur selama jam-jam menyedihkan itu. Meski pada akhirnya Aroon bisa selamat dari cela bebatuan itu namun dia harus membayarnya dengan kehilangan tangannya. Meski demikian kejadian pahit itu tidak serta merta membuat Aron berhenti dari hobinya. Filem ini merupakan salah satu filem traveling pavorit saya. Saya bayangkan jika perut saya off side sedikit lagi saya pasti terjepit dicela ini seperti Aron. Perut goa berlian ini tidak telalu luas, gelap dan pengap. Udara sangat tipis, saya tak tahan berlama-lama disini.

Goa Kunang-Kunang


Gua ke dua yang kami datangi adalah Gua kunang-kunang. Tempatnya kurang lebih sekitar 2 atau 3 kilo dari dermaga dua. Lumayan jauh memang, sebaiknya minta tolonglah warga sekitar buat jadi guide kalian bila ingin berkunjung ke tempat ini. selain untuk memajukan perekonomian masyarakat sekitar, menemukan tempat ini memang tak muda. Meski awalnya saya enggang untuk menuju ke sini namun saya mendapatkan pegalaman yang berbeda di goa ini, saya menyaksikan keindahan perut gunung di gua ini,. Ini kali pertama saya melihat goa seindah ini. sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan.




Goa ini dipenuhi dengan stalaktit dan stalakmi yang indah batu-batu ini mengeluarkan cahaya berkelap kelip seperti kunang-kunang. Menakjubkan. Mengagumkan. Konon katanya dahulu Goa ini merupakan istana kunang-kunang, namun faktanya jika kita memasuki area dalam goa ini, setelah mencapai kedalaman kurang lebih 20 meter kira akan menemukan sebuah bongkahan batu yang mirip altar yang mana jika bebatuan itu terkena cahaya dari lampu senter kita makan bebatuan itu akan memantulkan cahaya berkelap kelip seperti kunang-kunang. Selain itu beberapa bagian stalaktit dan stalakmi bila dipukul-pukul akan mengeluarkan suara yang merdu, saya tercengang. Perut gunug batu ini menyimpan banyak rahasia keindahan dalam kegelepannya.

Dibanding gua berlian perut gunung batu tempat gua kunang-kunang ini lumayan luas, namun karena alat penerangan saya tidak bekerja maksimal saya takut-takut melangkah, takut merusak ekosistem yang ada di dalam perut gunung ini.



Ilham, bocah kecil kelas 4 sd dengan sigap mengantar kami ke atas mulut goa. Kaki-kaki kecilnya ringan melangkah, seakan telah begitu hafal dimana seharusnya memijak. Untuk sampai ke aula goa yang luas ini bisa dibilang tidak mudah, kita harus mendaki dua tangga yang lumayan tinggi. Namun perjuangan itu tidak sia-sia.

Goa ini masih sangat alami, belum di ekspos dan dikomersilkan. Bahkan kita tidak ditarik biaya apapun untuk masuk ke dalam goa. Nenek Sutina penjaga goa hanya menyewakan alat penerang di depan mulut goa. Cucunya si ilham juga tidak memasang tarif untuk menjadi guide kita menyusuri goa ini. seikhlasnya buat tambahan biaya sekolah katanya.



Namun meski demikian saya rasa alangkah bijak jika kita sedikit berbagi dengan mereka yang ada di sana. Bukankan tujuan untama dari parawisata adalah meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Bila memiliki rezeki sedikit berlebih jangan pelit-pelit membelanjakan uang kalian pada masyarakat sekitar. Belanjalah di warungnya, belilah jualan mereka meski kalian tidak terlalu membutuhkan.


Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Ramang-ramang ini namun waktu saya sangat terbatas, saya di ramang-ramang dari jam 9 pagi dan kami meninggalkan tempat ini menjelang magrib. Saya masih merasa wajib untuk datang ke tempat ini. masih banyak cela bebatuan yang harus ku lihat. Saya bahkan mengagendakan untuk menginap di tempat ini suatu hari nanti. Semoga saja keinginan saya itu bisa terwujud. Selain tempat-tempat diaats setidaknya ada banyak tempat lagi yang masih layak dikunjungi di Ramang-ramang.

2 komentar:

China town: Tersesat Meski tidak setertib di Singapura, kereta bawa tanah di Malaysia juga mengagumkan. MRT ini menghubungkan banyak ti...

Melintas Batas Part VI: Epilog


China town: Tersesat
Meski tidak setertib di Singapura, kereta bawa tanah di Malaysia juga mengagumkan. MRT ini menghubungkan banyak titik-titik sentral di Malaysia. Berbeda dengan negeri tetangganya Singapura yang cenderung lebih simpel dengan menggunakan warna-warna untuk membedakan jalur MRTnya, di Malaysia lebih cenderung menggunakan nama-nama daerah tujuannya, seperti halnya  di Jakarta.

Untuk masalah penginapan, di Malaysia seperti  di Indonesia, bertebaran tempat-tempat penginapan yang ramah di kantong, mulai dari hostel, guest house atau hotel kelas melati.  China Town atau Bukit Bintang adalah tempat-tempat yang  sering jadi tempat menginap para pelancong. Selain karena lokasinya berada di pusat kota, akses yang terbilang mudah, penginapan di sini juga terbilang murah meriah.  

Kami sendiri memutuskan menginap di kawasan China Town, dari KLCC Tower Kami turun di stasiun pasar seni. Persis di samping stasiun MRT terdapat halte bus. Pertimbangan kemudahan akses itu lah kenapa saya akhirnya memilih kawasan ini untuk menginap. Kami menginap di hotel China Town Inn.. Kamarnya lumayan bersih, dengan ranjang tingkat dan bagian bawahnya cukup luas untuk ditempati dua orang, tarif semalam kurang lebih 300 ribu. Terdapat fasilitas kamar mandi dalam yang lumayan bersih, Handuk, sabun mandi, AC  namun sayangnya kita tidak diberi sarapan gratis. 

Tak jauh dari tempat kami menginap juga terdapat pusat perbelanjaan murah yang lumayan terkenal di Malaysia Pasar Petalin, selain itu di malam hari di sepanjang jalan di Petalin ini akan berjejeran street food yang sangat menggoda. Sayangnya saya tidak berani mencicipi aneka penganan itu. Saya hanya menikmati sepiring roti canai ditambah kari ayam dengan segelas teh tariknya,


Bukit Jalil: Nasionalisme yang Tergadai 
Seumur hidupku yang sudah menjalan ilebih dari seperempat abad kehidupan yang menyenangkan ini (hahahhahah)  saya tidak pernah sekalipun tertarik untuk mengikuti acara apapun di ruang terbuka yang penuh sesak dengan manusia.  Seperti menonton pertandingan bola misalnya. Saya sedikit paranoid dengan suara-suara bising dan gemuruh-gemuruh manusia dikeramaian. Sekali dulu pas waktu  SMP, saya  pernah menghadiri perlombaan agustusan di lapangan kecamatan kampungku yang di padati manusia. Sialnya saya harus berakhir di puskesmas, kepala saya tiba-tiba berputar-putar, keringat dingin membasahi punggung saya. Saya pingsan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku saya pingsan. Setelah itu saya tidak lagi-lagi berminat menghadiri perkumpulan-perkumpulan manusia seperti itu. Apapun bentuknya.

Pantangan itu entah kenapa terpatahkan di bukit jalil. Jutaan manusia yang berseliweran ini tidak membuatku panik sedikit pun. Tidak ada kecemasan, tidak ada keringat dingin, atau mata berkunang-kunang. Saya lega saja berjalan-jalan mengelilingi stadion bukit jalil. Saya mengunjungi beberapa stan yang menjual oleh-oleh khas sea game juga beberapa stan jajanan yang tidak pernah saya temukan di Indonesia. Orang-orang berteriak teriak memasarkan jualannya,. Bahasanya terdengar lucu dan cepat. Bahasa Melayu moderen.  

Bukit jalil terlihat megah, di sampingnya Axiata arena tak kalah mempesonanya. Lampu-lampu berwarna warni terpasang dimana-mana. Stadion ini berkapasitas sekian ribu orang. Polisi-polisi Malaysia bertampan Melayu  berseliweran membagi-bagikan bendera Malaysia. Saya menggenggam dua bendera berukuran kecil di tanganku. Kukibar-kibarkan dengan lucu. Sambil tersenyum-senyum.  Bisa-bisa saya dicap tidak nasionalis ini, tidak pancasilais. Istiliah-istilah yang lagi tren di nusantara sekarang ini.

Urusan nasionalisme ini terkadang lucu dan rumit, bagaimana kita bisa mengukur Nasionalisme seseorang ?. bagaimana mengukur kecintaan seseorang terhadap negerinya ?. tidak ada takaran pasti yang bisa digunakan untuk mengukur ini.  Apakah TKI di Malaysia atau di berbagai belahan dunia itu tidak Nasionalis. Apakah orang-orang yang berpindah kewarganegaraan itu tidak nasionalis. Tidak mencintai Indonesia, tidak lagi memiliki kebanggaan berbangsa dan berkewarganegaraan Indonesia ? Apakah pejabat negara yang koruptor itu Nasionalis atau tidak ?
 
"Apa gunanya Nasionalisme jika kita harus mati kelaparan. Mulut butuh disumpal makanan, asap dapur harus mengepul. Anak-anak harus bersekolah dan semua itu butuh duit. Nasionalisme tidak pernah bisa diukur dengan IC atau KTP"  begitu kata paman saya yang pernah tinggal lama di Malaysia berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan anak-anaknya lahir dan secara resmi tercatat sebagai warga negara Malaysia. Dua diantaranya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Indonesia, tanah leluhurnya ini. Apakah mereka tidak nasionalis ?

Saya bertemu seorang kawan baru. Meski dia berkewarganegaraan Malaysia tetapi kecintaannya ke Indonesia juga tak bisa di ragukan. Dia lahir dari rahim seorang Ibu berkewarganeragaan Indonesia. Ayahnya sendiri penduduk asli kuala lumpur. Ketika kutanya kemarin pertandingan sepakbola antara indonesia dan malaysia dukung siapa, dia hanya tersenyum. 

Kecintaan kepada negeri tidak bisa diukur hanya dari kartu identitas kita. Apalagi hanya klaim-klaim “kami Indonesia, Kami Pancasila” Orang luar yang tidak terlahir di Indonesia bisa lebih Indonesia di bandingkan kita sendiri. Seperti teman baruku itu, dia mencintai Indonesia sama seperti dia mencitai negerinya Malaysia dan menurutku tidak ada yang salah dengan itu. Kita tidak bisa memaksa hati untuk lebih condong kepada siapa dan kepada apa. Hati punya kehendaknya sendiri. 

Epilog: Garis Batas
Negara-negara bertikai demi garis batas. Rakyatnya di medsos lebih parah lagi saling berdebat demi hal yang jauh tidak lebih penting, adu argumen hingga berbusa-busa, saling klaim, saling menjatuhkan demi kebanggaan yang mereka imani. Menyusuri pertikaian seperti ini seperti menguraikan benang kusut, yang akhirnya tak akan terurai.

Tapal batas yang kita banggakan itu sejatinya hanyalah warisan penjajahan. Tanah-tanah diirs-iris, dibagi-bagi demi kepentingan kolonialisasi. Garis batas yang dibuat oleh orang asing yang mengkotak-kotakkan kita hingga seperti ini. Indonesia dan Malaysia, Korea Utara dan Korea Selatan Pakistan dan India, Israel dan Palestine dan banyak lagi negara-negara di belahan dunia ini yang terkotak-kotakkan demi kepentingan orang asing itu. Bahkan lucunya Indonesia dan Malaysia yang masih serumpun itu bukan hanya berkonfrontasi soal perbatasan, tetapi juga sejarah, adat, lagu daerah, dan “hak paten” budaya. Bagaimana mungkin kita bisa saling mengklaim siapa yang paling berhak atas makanan“tempe” atau “nasi goreng”. Kadang kita lupa Malaysia adalah Nusantara di masa lalu. Dulu dia adalah “Kita” 

Saya bayangkan, suatu hari nanti manusia tak lagi dibatasi oleh batas-batas teritorial negara yang artifisal itu. Kita tak lagi harus di kotak-kotakkan, tidak dibatasi dengan seabrek peraturan-peraturan menyusahkan yang kita buat sendiri. Tidak lagi ada Indonesia, Malaysia, Singapura, China, Jepang, Amerika, Palestine, Arab Saudi atau negara-negara manapun.  Negara-negara itu melebur menjadi satu. menjadi “warga dunia”.

0 komentar:

Welcome  To Johor Baru. Gambaran awal saya mengenai Johor Baru seperti perbatasan Indonesia dan Malaysia dI Kalimantan. Sepi dan pen...

Melintas Batas Part V: Negeri Jiran yang Menggoda


Welcome  To Johor Baru.
Gambaran awal saya mengenai Johor Baru seperti perbatasan Indonesia dan Malaysia dI Kalimantan. Sepi dan penuh dengan perkebunan kelapa sawit. Saya keliru, Johor Baru kota yang besar. Bangunan-bangunan menjulang tinggi. Bahkan terminal Busnya lebih keren dari bandara udara di tempatku.  Saya berdecak. Beberapa saat yang lalu paspor saya baru saja di stempel di pintu imigrasi Malaysia. Di sini Imigrasi terbilang longgar, orang-orang Malaysia cenderung lebih ramah dan sopan dibanding orang Singapura. Saya hanya ditanya beberapa pertanyaan umum seperti berapa lama di Malaysia, akan bermalam di mana, akan ke mana saja dan beberapa pertanyaan kecil lainnya. Saya melenggang mulus melewati imigrasi Malaysia sambil tersenyum puas. Saya resmi telah berada di Negeri Jiran ini.

Berbeda dari Indonesia, Malaysia sendiri merupakan negara federal yang terdiri dari tiga belas negeri (negara bagian) dan tiga wilayah federal. Ke-13 negara bagian Malaysia adalah: (1) Johor, (2) Kedah, (3) Kelantan, (4) Melaka, (5) Negeri Sembilan, (6) Pahang, (7) Perak, (8) Perlis, (9) Pulau Pinang, (10) Sabah, (11) Sarawak, (12) Selangor, dan (13) Terengganu. Selain itu terdapat 1 wilayah yang merupakan teritori federal yaitu (Wilayah Persekutuan) yang terdiri atas 3 wilayah pembentuk yaitu (1) Ibukota Kuala Lumpur, (2) Labuan, dan (3) Putrajaya.

Saya masih terbengong-bengon di Johor Baru Chekpoint (JBC). Terkagum-kagum melihat kemegahan tempat ini. Tempatnya tidak mirip  pintu lintas batas melainkan lebih mirip pusat perbelanjaan mewah. Beberapa gerai makanan cepat saji pun ada di sini.  Hal pertama yang kulakukan adalah mengganti kartu hp. Paket internet seminggu hanya sebesar 20 Ringgit saja.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku sholat lima waktuku ku lakukan di tiga negara berbeda. Tadi pagi saya masih Sholat subuh di Batam Indonesia, siangnya saya sholat duhur dan ashar di masjid Sultan Singapura sementara malam ini saya Sholat maghrib dan isya di Musolah kecil di pojok Johor Baru Checkpoint Malaysia.  Bebeda dengan Singapura, di sini saya tidak kesulitakan menemukan tempat sholat seperti halnya di Indonesia.

Setelah sholat tak sengaja saya kembali dipertemukan dengan malaikat penolong. Kali ini seorang mahasiswa yang masih memiliki berdarah Indonesia, bahkan beberapa kali dia sempat berkunjung ke Indonesia kenangnya.  Dia mengantar kami ke Terminal Larkin, terminal regional di Johor. Dari terminal ini kita bisa menjangkau seluruh penjuru Malaysia.

Kuala Lumpur: Negeri Jiran yang Menggoda 

Saya meringkuk kedinginan di pojok masjid Negara Malaysia di Kuala Lumpur. Menyaksikan dari ketinggian ini Kuala Lumpur di subuh hari. KL Tower terlihat indah di seberang sana. Ujungnya  memancarkan cahaya biru seperti cahaya Bulan. Bendera Malaysia berbagai ukuran terbentang di mana-mana. 31 Agustus besok  Malaysia akan merayakan hari kemerdekaannya.

 Rasa-rasanya baru beberapa jam yang lalu saya berlari-lari kecil di stasiun bawah tanah Harbourfront, mengejar MRT ke Woodlands Checkpoint, bagian terujung Singapura yang membatasi dengan Negeri Tetangganya Malaysia. Paspor saya di stempel dan saya diijinkan meninggalkan Singapura seperti di tendang.

Subuh ini saya tiba-tiba sudah di KL, perjalanan panjang nan melelahkan dari Johor Baru di tempuh hampir 5 jam lamanya. Beberapa menit yang lalu saya masih berada di terminal bersepadu selatan di Selangor.  celingak celinguk kebingungan tanpa tujuan. Satu-satunya tempat yang terpikir olehku adalah masjid.

Berbekal aplikasi pinta uber saya memesan taksi online itu dan memintaku mengantar ke Masjid ini. Subuh di Malaysia satu jam lebih lambat di banding subuh di Indonesia. Sholat subuh baru akan di mulai pada pukul 06.00 pagi, Subuh yang terlalu siang menurutku. Perbedaan sejam itu pada awalnya membuatku bingung, bahkan di masjid Sultan di Singapura saya sempat di tegur oleh jamaah masjid karena saya sholat duhur lebih cepat sejam dari waktu seharusnya.

Satu-satunya tempat di KL yang ingin ku kunjungi hanyalah twins towers. Seperti kata orang-orang tak afdal rasanya jika ke KL tak berkunjung ke menara Petronas ini. Sama halnya di Singapura kalo belum ke Marlion Park dan berfoto dengan latar kepala Singa yang memancarkan air dari mulutnya itu belum di kata pernah ke Singapura.  Seorang teman yang sering berlalu lalang ke luar negeri menertawakanku, percuma keluar negeri kalo hanya ingin mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Tempat yang dikunjungi kebanyakan orang.

 “Tak apalah, saya ingin menjadi pelancong kebanyakan itu”. Begitu kilahku. Saya hanya ingin menikmati perjalananku, apapun bentuknya. Menikmati setiap momen yang kulewati di tempat-tempat yang ku kunjungi. Saya sungguh hanya ingin menikmatinya, dulu waktu kecil saya tidak pernah terbayang bisa bertualang sejauh ini, melintasi batas-batas negeri. Bahkan dulu diwaktu kecil saya tidak pernah bermimpi bisa bepergian dengan pesawat terbang.  saya hanya seperti kebanyakan anak kampung lainnya dengan mimpi-mimpi yang sangat terbatas, berlari-lari kecil mengejar pesawat yang kebetulan melintas di atas langit kampungku. Berteriak kencang meminta di jatuhkan uang dari langit. Tanpa pernah berfikir mana mungking mereka di atas ketinggian beberapa puluh ribu mdpl itu bisa mendengar suara cempreng kami.

Dulu waktu saya kecil, saya sering berkhayal, bagaimana rasanya berada di atas sana. Bagaimana rasanya berada dilangit. Diatas awan, di atas gunung. Bagaimana jika malam hari bisakah kita memegang bitang yang berkelip kelip itu. Khayalan-khayalan konyol anak-anak kecil. Hingga saya akhirnya memahami, langit tak pernah sedekat tampaknya, bintang tak secantik yang kita bayangkan. Kita tertipu oleh mata kita sendiri.

Pagi-pagi saya sudah berada di Twins Towers, berpose ala-ala. Saya terkagum-kagum memandangi Petronaks Tower ini. Terlihat tinggi dan begitu megah. Twins Towers merupakan ikon negeri ini. Saya tiba-tiba teringat monas. Ikon negeri tercinta kita itu. Berkali-kali saya ke Jakarta saya belum pernah sekalipun menyempatkan mampir ditempat ini, bahkan ketika saya harus menetap selama beberapa bulan di ibu kota itu, saya tidak sekalipun menginjakkan kakiku di sana. Saya tiba-tiba merasa menghianati negeriku.

Kuala lumpur terlihat asri, pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan. Burung-burung liar berbulu cantik beterbangan tanpa rasa takut. Berebut makanan di trotoar jalanan. Batinku jika burung-burung secantik ini berkeliaran di jalan-jalan  Jakarta, saya pastikan dalam waktu dekat burung itu sudah terpajang dengan cantik di pasar burung pramuka.  Tak jauh dari Twins Towers terdapat rumah makan India di pinggir jalan, tepatnya di pasar tradisonal yang saya lupa namanya. Makanannya murah meriah. Saya mencicipi nasi kari India. Rasa karinya kental dan bumbu rempahnya terlalu kuat. Perutku memanas.

Setelah sarapan tempat yang terpikir olehku adalah batu caves. Salah satu objek wisata yang di rekomendasikan jika berkunjung ke Kuala Lumpur. Batu Caves sendiri hanyalah kompleks peribadatan umat Hindu. Yang membuatnya istimewa dikarenakan di sana ada patung  besar yang berbalut warna emas. Patung Dewa Murugan tampak menjulang tinggi. tingginya mencapai 43 meter dan konon katanya patung ini merupakan patung Dewa Hindu yang tertinggi di dunia.


Selain keindahan patung Dewa Murugan, Batu Caves juga memiliki 3 gua utama dan gua kecil. di pintu masuk vihara ini kita akan disambut ratusan burung dara yang siap menjadi objek foto. Ditambah dengan latar belakang 272 anak tangga menuju kuil dan patung Dewa Hindu itu.

Kami menggunakan taksi online menuju ke sana, hanya 14 ringgit saja jika di konversi ke rupiah kurang lebih 50.000 untuk jarak yang lumayan jauh, sekitar 25 menit berkendara. Di banding Singapura, orang-orang Malaysia cenderung lebih santai. Lebih bersahabat. Lebih sopan dan lebih cantik (hahahhahaha). Suku Melayu masih mendominasi di sini. Kita masih cenderung lebih leluasa bercakap-cakap. Saya tidak merasa tertekan dan terintimidasi. Tidak ada tatapan sinis dan merendahkan. Meski sentimen Indonesia dan Malaysia sedang hangat-hangatnya karena persoalan bendera terbalik. Bakan karena kebaikan orang-orang melayu itu saya berkesempatan menonton closing ceremony sea games di bukit jalil dengan tiket  gratis.

Seorang bapak-bapak mengajak saya bercakap-cakap. Dia tampak terkaget, katanya bahasa kita tidak terlalu berbeda. Dia lumayan faham dengan bahasa Indonesia  yang saya gunakan, kecuali jika saya menggunakan bahasa slank katanya. saya nonton Upin dan Ipin tiap hari, jawabku. dia tertawa lebar. 

Bersambung

0 komentar:

Ada banyak cara menuju Johor dari Singapura. Salah satunya dengan rute yang saya tempuh ini. Kami menggunakan MRT dari Harbourfront ke Wo...

Melintas Batas Part IV: Singapura-Johor



Ada banyak cara menuju Johor dari Singapura. Salah satunya dengan rute yang saya tempuh ini. Kami menggunakan MRT dari Harbourfront ke Woodlands lalu dilanjutkan dengan bus ke Wodlands Chekpoint dan terakhir ke Johor Baru. Meski tak bisa berbahasa Inggris dengan baik, saya tidak menemukan banyak kendala terkait jalur-jalur transport di Singapura. Segala sesuatu di Singapura sudah di setting demikian jelasnya, sehingga potensi untuk tersasar sangat kecil kemungkinannya bahkan untuk saya yang tidak mampu berbahasa Inggris ini, petunjuk-petunjuk yang ada di sini sangat memudahkan. Bilapun jika terdesak kebingungan dan membutuhkan pertolongan saya sarankan carilah ibu-ibu bertampang melayu yang berjilbab. Melayu Singapura paling tidak masih menyisakan sedikit kepedulian terhadap orang lain, apatisme akut yang menjangkiti sebagian besar warga Singapura masih belum sepenuhnya menjangkiti orang-orang Melayu. Lagi pula meski kita tidak bersaudara dalam identitas kebangsaan paling tidak kita bersaudara dalam hal keimanan.




Saya kebingungan di Woodlads station, saya harus menemukan Wodlands checkpoint gerbang perbatasan antara Singapura dan Malaysia, berdasarkan petunjuk yang saya peroleh di Woodlands inilah pintu keluar Singapura menuju Malaysia. Saya berputar-putar mengelilingi stasiun ini namun tidak berhasil menemukan dimana tempat menyeramkan itu (read: imigrasi). Orang-orang masih tampak terburu-buru. Berseliweran kemana kemari. Pertama kalinya saya melihat pengamen di Singapura di stasiun ini. Seorang bapak tua bermain alat musik chaines. Menggeseknya dengan penuh penghayatan. Gesekan dawainya mengeluarkan suara menyayat hati. Meski demikian saya perhatikan tak ada seseorang yang tampak tertarik menikmati iramanya. Polisi wanita bertampang India berdiri dengan serius didepannya. Berkacak pinggang seakan menampakkan arogansinya. Saya takut-takut menghampirinya. Tatapan seriusnya menyiutkan nyali saya. Saya masih belum pulih dari trauma imigrasi.

Seorang ibu-ibu berjilbab hitam berparas melayu segera kuhampiri. Dengan malu-malu saya menanyakan arah Woodlands chekpiont. Hal pertama yang diucapkan kepadaku adalah “bisa cakap Melayu? “ sambil tersenyum lega saya mengangguk.




Dari Woodlads MRT kita harus menuju ke Woodlands Checkpoint by bus. Jangan lupa siapkan duit recehan kalo enggak salah saya harus bayar hanya beberapa sen untuk kesana. Woodlands Checkpoint adalah titik imigrasi keluar masuk Singapura via 1st link (jalur 1) yang berbatasan langsung dengan Johor Baru. Disini kita diminta untuk turun dan melaporkan keberangkatan ke Johor, sama seperti imigrasi biasa. Jangan lupa persiapkan paspor anda dan kartu identitas anda.

Malam itu tampak antrean pelintas batas mengular, terutama di pelayanan paspor Malaysia. Di sini ada beberapa loket paspor. Beberapa di khususkan untuk warga negera Singapura, bebera loket di khususkan untuk warga negara Malaysia dan sisanya untuk seluruh Pasport dari berbagai negara. Saya menghabiskan waktu kurang lebih sejam untuk antri di sini. Saya sungguh kelelahan dan lapar. Kepalaku berkunang-kunang, antrean di depanku tampak tak ada habisnya. Di sini kita dilarang mengambil gambar, jadi saya tidak bisa mengabadikan momen ini.

Setelah proses imigrasi selesai, kita harus berjalan ke bawah tempat antrian menanti bus. Dari imigrasi ini kita akan menuju ke Johor Baru Chekpoint (JBC) pintu imigrasi Malaysia. Berhubung karena proses imigrasi yang lumayan lama maka di sini aturan busnya akan sedikit berbeda. Bus yang menuju Johor bila sudah di Woodlands Checkpoint boleh dinaiki oleh semua penumpang, jadi jangan takut ketinggalan bus yang digunakan sebelumnya. Pastikan saja tiket bus kalian tidak sampai hilang. Ingat tiket bus itu hanya berupa selembaran kecil sebesar stik es krim. Berjalanlah menuju tempat antrean keberangkatan bus. Ikuti saja orang-orang yang keluar dari imigrasi. Selama menjalani proses imigrasi ini beruntung saya sempat berkenalan dengan seorang pemuda berparas melayu berkewarganegaraan Singapura yang kebetulan juga akan menyeberang ke Johor. Saya banyak mendapat bantuan dari dia, bahkan dia rela menunggu saya menjalani proses imigrasi yang lumayan lama. Terimakasih untukmu kisanak.

*bersambung

0 komentar: