Pagi Berkabut di Langit Mamuju Sabtu sore, 24 Oktber 2015 di Mamuju.  Minggu ke empat aku berada di tempat baru ini. Hujan mulai tu...

Berdamai Dengan Ketidaknikmatan

Pagi Berkabut di Langit Mamuju

Sabtu sore, 24 Oktber 2015 di Mamuju.  Minggu ke empat aku berada di tempat baru ini. Hujan mulai turun, meski hanya tetesan-tetesan kecil. Rasa-rasanya sudah lama sekali kemarau panjang. Entah kenapa saya sangat menyenangi mendengar suara tetesan hujan itu. Suaranya seperti seseorang sedang memainkan musik, merdu sekali. Tetesnya menciptakan irama. tik..tik..tik...  Aku merindukan suara hujan ini, suaranya seakan menarik ku ke suatu tempat yang jauh. Hujan selalu mampu menghipnotis dan meresonasi ingatan masa laluku, membawaku ke tempat yang telah lama orang-orang lupakan.  Hujan membuat orang-orang menjadi lebih romantis.

Tadi pagi saya kembali memulai kebiasaan lamaku, berlari. Di tempatku yang dulu, hampir tiap hari saya melakukan aktivitas ini. Berlari.  Dari kosanku, saya akan berlari ke alun-alun selatan  Jogya. Saya akan melewati toko roti beraroma manis, di perempatan selanjutnya saya akan bertemu seorang kakek yang sedang mendorong istrinya di kursi roda, mereka terlihat begitu bahagia, romantis sekali. Saya tiba-tiba merindukan tempat itu. Saya berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tempat itu. Pasti akan sangat menyenangkan.

Di tempat yang baru ini rasa-rasanya begitu sepi, apalagi di pagi hari buta begini. Saya berlari melewati bukit-bukit gundul menuju jalan utama, tidak ada siapapun sepanjang jalan ini yang kujumpai, hanya beberapa ekor sapi yang menguasai jalan raya. Sungguh ada sekawanan sapi yang dengan asyiknya berbaring di tengah jalan raya itu.

Saya melewati jembatan dengan aliran air yang begitu jernih, sungai panjang ini berkelok  menuju muara, di kedua sisinya berdiri ratusan pohon kelapa menjulang ke langit. Juga sampan-sampan kecil milik nelayan tertambat tak beraturan di pinggir sungai.  Saya suka memandang aliran sungai itu, warnanya biru kehijau-hijauan terlihat begitu tenang. Kalian tahu, air sungai itu memiliki nilai filosofis yang tinggi, seperti ini kira-kira “meski pada akhirnya air dari sungai itu bermuara di laut yang sama tapi setiap mereka membawa kisahnya masing-masing. Seperti kita ini, meski pada akhirnya kita akan kembali ke tempat yang sama, setiap kita punya cerita kehidupan yang berbeda”. Barangkali seperti itu nilai filosifi dari aliran air sungai itu. Itu menurut kesotoyyanku. Hehhee.

Di perjalanan pulang saya melewati rute berbeda. Saya berjalan menyusuri pantai Manakara melewati jalan berdebu sepanjang garis pantainya. Jalanan ini sedang dalam tahap pembangunan, beberapa jembatan juga masih dalam konstruksi. Saya suka melewati pesisir ini. Angin laut berhembus perlahan menerbankan debu-debu ke sembarang arah. Angin laut terasa hangat dan menenangkan itulah mungkin banyak orang yang suka duduk berlama-lama memandang laut. Laut seperti merekam semua hal dalam kehidupan manusia, mengambil segala kepedihannya lalu menenggelamkannya ke dasar samudra. Entah kenapa laut selalu kuanalogikan sebagai lambang kebebasan sejati. Bersama lautan manusia bisa menjadi lebih bebas.

Saya rasa, meski tempat baru ini seperti ini saya akan berusaha menyukainya seperti saya menyukai Malang dan Jogja, dua tempat yang memberiku banyak kenangan manis. Tidak banyak yang istimewa dari tempat ini memang, tapi bagaimanapun juga saya berharap bisa bahagia di sini. Saya pikir di manapun kita nantinya kita tidak bisa benar-benar bahagia sebelum bisa menyesuaikan diri dengan diri kita sendiri. Mari berdamai dengan ketidaknikmatan.

Pesisir Pantai Mamuju
Sungai dengan aliran airnya  yang tenang




0 komentar:

Suatu pagi saya duduk di lobi kantorku. Saya sedang memikirkan tentang sesuatu yang berat, kehidupan dan kematian. Beberapa menit seb...

Kisah Seekor Kecoak.



Suatu pagi saya duduk di lobi kantorku. Saya sedang memikirkan tentang sesuatu yang berat, kehidupan dan kematian. Beberapa menit sebelumnya saya baru saja membaca berita di koran. tentang beberapa orang pendaki yang meninggal terbakar di Gunung Lawu. miris dan menyedihkan.

Pandanganku teralihkan oleh suatu gerakan di lantai,  sekitar setengah meter dari kakiku. Seekor kecoak. Hewan itu tergeletak dalam posisi terbalik, kaki-kaki kecilnya meronta-ronta sia-sia.  Saya memalingkan wajah, namun kedua mata saya kembali tertuju ke mahluk kecil  yang berada dalam keadaan menyedihkan itu.

Aslinya saya salah satu tipe manusia yang kurang bisa bersahabat dengan hewan bernama kecoak ini, beda dengan si Juki yang punya piaraan kecoak namanya coro, tau kan si Juki. Komik yang lumayan terkenal di webtoon itu. Meskipun demikian saya mempertimbangkan beberapa pilihan untuk mengambil tindakan atas nasib malang kecoak tersebut. Pertimbangan pertama menginjaknya dan melepaskannya dari penderitaan, yang kedua mengabaikannya dan pura-pura tidak melihatanya dan pertimbangan terakhir saya bisa menyelamatkan nyawanya, seekor serangga memang, tapi tetap merupakan nyawa.

Saya memutuskan untuk mengambil pilihan ketiga, saya melangkah ragu-ragu menuju ke kecoak malang tersebut. Menendangnya dengan lembut.  shuttt.... kecoak itu terlempar sekitar tiga meter dari kakiku, masih terjungkir balik. Kaki-kaki kecilnya masih meronta-ronta. ah gagal.. fikirku,. Sudahllah, saya kemudian mengabaikannya.  saya rasa tidak ada kaitannya antara kehidupan kecoak itu denganku. Saya berjalan meninggalkannya.

Beberapa menit kemudian diliputi rasa penasaran saya kembali ke tempat kecoak tersebut, dan sialnya saya masih menemukannya dalam kondisi seperti semula, semakin melemah. Kali ini kembali kutendang kecoak itu dengan lembut. Shut.. dan berhasil, tubuh kecoak itu terpental beberapa meter, terbalik dan segera berlari meninggalkanku. Dia menghilang dibalik lemari tanpa mengucapkan terimakasih kepadaku. Rasanya menyenangkan, saya menyelematkan satu nyawa, meski hanya seekor kecoak tapi itu tetap satu nyawa.

Keesok hari, saya kembali menemukan kecoak itu terjungkir balik di lobi kantorku dan saya sangat yakin kecoak yang terjungkir balik ini adalah kecoak yang sama yang kutemukan kemarin. Anehnya saya tidak lagi merasa harus menyelamatkannya. Saya menginjaknya. membebaskannya dari penderitaan, dan dia mati. Entah mengapa saya merasa lega, mungkin karena berpikir kecoak itu tidak lagi akan merasakan penderitaan yang sering dia rasakan selama ini, terjungkir balik.  Mungkin dia akan tenang di sana.

Kematian mungkin memang seperti itu, hanya seperti selaput tipis yang begitu gampang disebrangi. Seperti kecoak tadi, dia tidak pernah menyangka akan berakhir di kaki orang yang telah menyelamatkan hidupnya sebelumnya.

Bukan hanya kecoak, manusia pun seperti itu, pagi ini mungkin saja kita masih bisa menghirup udara bebas, tapi siapa yang menjamin beberapa jam kemudian kita masih berada dalam kondisi yang sama. Kita bisa tiba-tiba saja mati.

Kembali berbicara tentang kematian. Saya tidak pernah merasa takut mati di usiaku kini. Dulu saya selalu berfikir mungkin saya akan meninggal di usia mudaku. seperti Soe Hok Gie, salah satu tokoh pavoritku. Manusia pada umumnya ketika berfikir tentang kematian, mereka akan memikirkan banyak hal yang kemungkinan belum sempat mereka lakukaan. Ambis-ambisi besar mereka yang belum tercapai, anak-anak mereka yang belum bisa mandiri dan berbagai persoalan-persoalan lainnya, yang justru membuat mereka akan semakin gelisah dan takut akan kematian itu. Menurutku begitu kita mati, maka tugas dan kewajiban kita di bumi sudah berakhir, kita tidak lagi perlu memusingkan hal-hal seperti itu. Kita terbebas. Kita berpindah ke kehidupan yang lain, ke tempat dimana semua manusia akan kembali,  ke kehidupan yang lebih abadi. Kita mati.




0 komentar:

Mt. Papandayan 2.665 mdpl Saya duduk termenung di depan perapian, gugusan bintang terlihat begitu mempesona, ratusan ribu b...

Salam Perpisahan dari Papandayan




Mt. Papandayan 2.665 mdpl



Saya duduk termenung di depan perapian, gugusan bintang terlihat begitu mempesona, ratusan ribu berkelap kelip sangat cantik, tapi kalian tahu bintang tak pernah secantik tampaknya, tak pernah sedekat yang bisa kita bayangkan, mata kita selalu tertipu. September ini angin gunung  terasa begitu dingin, kayu terbakar habis begitu cepat. Jaket tebalku semakin kukencangkan. Jam 10. 30 pm, saya masih betah duduk di depan perapian ini. Sendiri. Teman-temanku sudah nyaman bergemul dibawa sleeping bagnya masing-masing. Menghalau dingin. Saya selalu menyukai momen-momen seperti ini, bisa berkontenplasi, bisa lebih dekat dengan alam,  hidup terasa begitu bebas.

Kami mendirikan tendah di area pekemahan Gunung Papandayan, Pondok Saladah. Kami sedang melakukan pendakian ceria di Gunung ini. Gunung yang memiliki ketinggian hanya 2.665 mdpl ini. Gunung ini berada di wilayah Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Area camping ground ini telihat sepi, tidak banyak pendaki yang melakukan pendakian  akhir pekan ini. Mungkin karena kebakaran dahsyat minggu lalu, ratusan hektar hutan hangus terbakar, juga berhektar-hektar bunga edelweis yang menjadi  daya tarik gunung ini hampir tak bersisa, semuanya terbakar hangus. Entah berapa banyak tanaman dan satwa endemik juga ikut terbakar.

Papandayan layaknya Prau di Wonosobo, cukup bersahabat untuk pendaki pemula. Tidak membutuhkan usaha yang begitu keras untuk menapak puncaknya. Banyak fasilitas di atas sana, tidak perlu bersusa payah membawa bekal yang memberatkan pendakian. Ada beberapa warung di sana. juga pasilitas toilet dan musollah sederhana. Pendaki sangat dimanjakan di pondok Salada. Pendakian di gunung ini hampir tidak pernah sepi. 

Di titik awal pendakian kita akan melewati kawah belerang yang berbau sangat menyengat, titik awal pendakian ini terbilang cukup menyiksa. Aroma beleran begitu menyengat ditambah hawa panas pegunungan menjadi tantangan awal para pendaki. Setelah titik ini kita akan melwati jalur treking berdebu dan area hutan  pohon cantigi dengan rantingnya yang menyebar ke mana-mana. Bagian ini adalah bagian yang sangat kusukai dari pendakian papandayan ini, hutan hoomgen ini tampak begitu berbeda dibawa sinar matahari. Kesan eksotis dan sedikit menyeramkan begitu terasa, apa lagi saat senjahari, saat matahari hampir tenggelam menyebabkan bayangan hutan lebih gelap.


Selain traking dan pemandangan selama jalur pendakian yang indah, Papandayan juga terkenal dengan hutan matinya. Hutan mati jaauh lebih eksotis, ratusan pohon-pohon cantigi  mati yang hangus terbakar begitu terlihat berbeda. Konon dulu katanya hutan mati ini lebih lebat lagi, lebih banyak pepohonan bekas terbakarnya, tapi seiring semakin banyaknya pengunjung yang datang area hutan mati ini pun semakin berkurang. Sejengkal demi sejengkal, sebatang demi sebatang. hampir punah. Begitulah alam, manusia datang tanpa sadar membawa perubahan. Manusia  menginginkan alam berubah sekehendak hatinya, bukan malah sebaliknya belajar banyak hal pada alam.

Di sisi lain hutan mati ini ada jurang yang mengaga dengan asap belerangnya yang cukup tebal, tanah kapur putih begitu kontraks dengan pepohonan yang hangus terbakar, bunga-bunga edelwais yang belum mekar sempurna juga tanaman perdu di sekeklilingnya.  Hembusan angin utara menerbangkan debu-debu pegunungan yang berwarna putih kelabu. Warna debu-debu bebatuan kapur.



Papandaya kurasa sebagai titik akhir pendakianku. Cukup sudah, saya tidak lagi ingin menambah daftar panjang manusia-manusia yang datang dan merubah alam. Cukup sudah keinginan-keinginan itu. Aku akan mulai mencintai alam dengan caraku, dengan tidak mengunjungi, membiarkan alam dengan kisahnya sendiri. Pendakian ini memberiku banyak pelajaran berahrga, bahwasanya tidak semua hal yang kita anggap baik ternyata memang baik. Nyatanya Papandayan habis terbakar oleh orang-orang yang mengaku mencintai alam. Ratusan hektar hilang hangus terbakar api. Hamparan edelweis yang indah itu hampir tak bersisah, juga pepohonan-pepohonan yang cantik itu. Apa lagi yang kita banggakan sebagai pecinta alam. Bagiku cukup sudah.






sudah kuucapkan selamat tinggal pada bebatuaan dan rerumputan
juga pada pepohonan yang bernyanyi riang diterpa angin
Sudah kuucapkan selamat tinggal pada ribuan bintang dilangit 
yang begitu indah menatapnya dari ketinggian
juga pada dinginnya malam dan pada tetesan embun dipagi hari.
selamat tinggal.. selamat tinggal
a_m





terimakasih untuk teman-teman dari @Postualang
untuk kebersamaannya yang singkat
Perjalanan mempertemukan persaudaraan
Papandayan September 2015

5 komentar: