I-Net   Jujur saya lebih memilih buku dibanding kalian yang terlalu konservatif dan saklek. Buku selalu punya cerita untuk dip...

Hidup itu Hanya Biru





I-Net
  •   Jujur saya lebih memilih buku dibanding kalian yang terlalu konservatif dan saklek. Buku selalu punya cerita untuk dipahami tapi manusia cenderung lebih rumit dan cenderung menyakitkan
  • Banyak yang bilang hidup itu harus putih, yang lain bilang hidup itu hitam, tapi sering kali manusia cenderung terjebak pada warna yang abu-abu “grey area” antara hitam dan putih, antara baik dan buruk. Bagiku hidup itu hanya biru, seperti langit, seperti laut. 
  • Siapa “kau”. “kau” yang selalu saya cari dalam cinta. Nafasku tersengal memburumu, hatiku lelah terus berlari hanya untuk menemukan “kau”.
  • Saya merasa hanya membutuhkan ruang kecil, keluarga kecil, lingkungan dan orang-orang yang bisa menerima saya dengan segala ke “aku” anku. Mereka-mereka inilah “the intimate others 
  • Indah “the blits of death” lampu-lampu kematian. Ketika kita melihat semuanya tak lagi sama, ada ketenangan, ada kebahagiaan. Mati sajalah
  • Berbicara mengenai beratnya hidup, belajarlah pada gembel-gembel di jalanan. Mereka-mereka telah menjadi manusia yang rela menerima hidup yang berat ini
  • Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar. Perjalanan adalah proses asimilasi, proses internalisasi pemahaman akan hakikat diri, belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang jalan yang harus dijalani oleh semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali.

Catatan Malam
30 Juli 2014. 22.00 WIB
Malam yang diingin di Malang.
 

0 komentar:

Sang Penari GWK, Bali 25 Juni 2014 Sesuatu yang sangat paradoksal memang. Kenyataannya dalam senyum yang terus mengembang ada kej...

Sandiwara Penari

Sang Penari
GWK, Bali 25 Juni 2014




Sesuatu yang sangat paradoksal memang. Kenyataannya dalam senyum yang terus mengembang ada kejengahan akan hidup yang memuakkan, atas laku dan sandiwara kehidupan. Atas tuntutan untuk selalu tersenyum meski kadang hati ingin berteriak sakit, ingin meronta dan menangis, ingin mencaci dan menghujat, marah, sedih, dan kecewa. Ada duka keletihan di antara dentingan gamelan, liukan dinamis, sensualitas, vulgaritas. Bagaimanapun juga penari-penari itu tetap harus tersenyum.
Kehidupan mungkin ibarat menari di atas panggung, penuh kepura-puraan. Pura-pura bahagia, pura-pura tersenyum, pura-pura semuanya baik-baik saja tapi kenyataannya semuanya salah. Kita sakit. Kita sepi. Kita sedih dan mungkin saja selama ini kita memang hanya berpura-pura.
Kita hanya terus menerus bersandiwara, memainkan lakon demi lakon dalam kehidupan kita.
Bagiku tak ada yang benar-benar tulus menjalani hidupnya apa adanya. Kita terjebak dalam persepsi, dalam neoma yang kita bentuk sendiri, dalam citra diri, dalam idea yang mengagungkan perfeksionis. Dalam kesemuhan dan ketidakbakaan hidup. Kita menuntut ketertataan, keberaturan dan kemapanan.
Saya sendiri secara fisik dan hati. Dalam perjalanan mencari definisi yang hingga kini saya sendiri susah menggambarkannya secara nyata, absurd. Dalam perjalanan mencari jawaban-jawaban atas pertanyaanku selama ini. Masih saja ada bagian hampa dalam hati yang belum terisi. Ada bagian yang sengaja kubiarkan kosong, kubiarkan tertutup. Kubiarkan tersembunyi pada bagian terdalam di hati saya mungkin sampai aku mati.  
 

Di hari yang panas.
Garuda Wisnu Kencana
25 Juni 2014. Pulau Dewata

0 komentar:

Ilustrasi. (inet) Saya ingin tahu, atau tepatnya diberi tahu oleh golongan yang sekiranya merasa   tahu, sok tahu atau sekedar tahu...

Saya Hanya Ingin Tahu


Ilustrasi. (inet)

Saya ingin tahu, atau tepatnya diberi tahu oleh golongan yang sekiranya merasa  tahu, sok tahu atau sekedar tahu. Saya pribadi tidak bisa membiarkan diri bingung dalam ketidaktahuanku ini. Apakah peristiwa pembunuhan sadis,  kejahatan seksual, Fedhopil dan berbagai jenis sadisme lainnya yang merebak dewasa ini adalah suatu permasalahan individu atau suatu permasalahan sosial.  Apakah tindakan saudara-saudara kita itu murni gejala personal subjektif-eksklusif, ataukah sebuah refleksi atau simptoms dari atmosfir kehidupan umum ?. Apakah pelaku kejahatan itu hanya oknum, ataukah warga dari suatu iklim kolektif seperti di JIS misalnya?. Penyakit kejiwaan seperti libido menyimpang, hasrat membunuh, kepuasan membantai tersebut urusan pribadi masing-masing pelaku ataukah perkara tersebut jadi urusan kita bersama.

Apakah yang akan menjadi terdakwa kelak di hadapan Allah mereka saja ataukah kita juga, sebab keseluruhan kejadian di lingkungan kita tidak terlepas dari upaya kepemimpinan nilai kolektif kita bersama ? apakah bapak ibu mereka, Pak Bupati, Pak Gubernur dan Pak Presiden atau seperti kita semua dijamin akan terbebas dari tanggung jawab mengenai masalah itu kelak di hadapan mizan Allah. Dalam cara berpikir hukum formal peristiwa itu berdiri sendiri. Tetapi demikian pula menurut cara berpikir sosio kultural ? apalagi cara berpikir religi universal. Terutama kalau kita memahami apa yang disebut kausalitas historis atau sebab akibat kesejarahan setiap prilaku manusia. 

Apakah pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat istimewa itu akan kita suruh bercermin, ataukah mereka adalah justru  cermin terpampang di depan wajah kita?. Kita bisa menyelamatkan diri secara gampang dengan cepat-cepat menyebut bahwa orang-orang ini memiliki kelainan jiwa. Artinya mereka berbeda dengan kita. Kalau kita ini normal. Mereka tidak. Kita tidak sadis. Kita bukan pembunuh, psikopat atau fedhofil. Kita mustahil melakukan itu.

Tapi benarkah iklim kejiwaan pada pembunuh itu ada hanya pada diri mereka dan sama sekali tidak ada dalam jiwa kita. Jangan-jangan kelak kita hanya selangkah kecil dari wilayah kejiwaan semacam itu. Jangan-jangan kita sendiri memang hidup dalam tradisi membunuh orang, memakan dagingnya, mengalungkan ususnya, atau mempermainkan kepalanya. Karena pada kenyataannya kanibalisme psikologis dan kultural memang ternyata bukan barang langka dalam praktek kehidupan kolektif kita hari-hari.

Apakah peristiwa itu histeria temporer alias situasi kalap sesaat? Atau merupakan endapan dari atmosfer sosial yang kedalamannya tak bisa di selami oleh ahli-ahli masalah sosial ? karena kaum cerdik pandai modern lebih sibuk dengan statistik, angka-angka, materi, susunan, dan tidak dengan manusia.




*Terinspirasi dari tulisan MH.A.N 



0 komentar: