Merdeka Sejak Hati Penulis: A. Fuadi Editor: Mirna Yulistianti ISBN: 9786020622965 Halaman: 365 Cetakan: Pertama Mei 2019 Pene...

Resensi Novel: Merdeka Sejak Hati

 



Merdeka Sejak Hati


Penulis: A. Fuadi

Editor: Mirna Yulistianti

ISBN: 9786020622965

Halaman: 365

Cetakan: Pertama Mei 2019

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

 

 

Pada sore hari ini, Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 bertepatan dengan 5 Februari 1947, di ruang kuliah STI Jalan Senopati No. 30 Yogyakarta, HMI telah mengabarkan kelahirannya. Tanpa pakai spanduk, tanpa undangan, tanpa pengumuman. Hanya pakai Bismillah. (hal. 189)

 

Perkenalanku pertama dengan organisasi ini, di pelataran masjid kampus di masa-masa saya masih mahasiswa baru dulu. Seorang senior datang mengajakku  bercakap-cakap. Awalnya masih terkesan biasa, namun belakangan pertanyaannya semakin aneh. Pertanyaan-pertanyaan diluar nalar anak baru yang masih polos dan imut seperti saya. Bayangkan tiba-tiba seseorang menanyakan kepadamu “apakah kau percaya Tuhan ?. apakah kau bisa membuktikan kalo Tuhan itu benar-benar ada. Atau bisakah tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar dan lebih kuasa dari dia”.


Beruntung adzan duhur menghentikan berondongan pertanyaan yang menurutku omongkosong belaka itu. Selepas sholat, diam-diam saya meninggalkan masjid melalui pintu yang berbeda, bagaimana mungkin saya bisa percaya seseorang bisa menjelasskan tentang ketuhanan saat Tuhannya sendiri memanggilnya  untuk bersujud, dia masih tidak bergeming, masih tetap asik cekakak cekikian dengan teman perempuannya di pelataran masjid.


Pengalaman tidak menyenangkan itu meninggalkan stigma tersendiri bagiku pada organisasi ini. Itulah kenapa saya sama sekali tidak pernah tertarik untuk bergabung atau bersinggungan dengan apapun tentang organisasi ini. Begitu selesai membaca buku ini, rasa-rasanya saya ingin kembali ke masa lalu, membawa buku ini dan menimpukkannya di wajah senior saya dulu itu. Berteriak di wajahnya dan memintanya memahami prinsip dasar yang menjadi landasan kokoh organisasi ini dibentuk.


Menurutku A. Fuadi sukses menceritakan secara menarik kisah hidup Lafra Pane dari masa kecil hingga detik-detik terakhir kehidupannya yang luar biasa. Esensi dari buku ini ada dasarnya bukan tentang lafran, tapi tentang HMI, organisasi yang dilahirkan dari kegelisahannya untuk memberiksan kontribusi  bagi negeri ini.


Novel ini bukan hanya sekedar hikayat seorang tokoh di masa lalu. Buku autobiografi ini adalah sebuah kisah yang layak dijadikan cerminan untuk generasi saat ini. Bagaimana seorang Lafran Pane, pahlawan nasional itu yang mungkin kurang dikenal menunjukkan kematangan hati dalam memegang prinsif kemerdekaan, nasionalisme, dan juga Islam. Baladatun Tayyiban wa Robbun Ghafur. Begitu selalu cita-cita dan bayangannya tentang masa depan Indonesia. Negeri yang baik dan diridhoi Tuhannya


Saya benar-benar jatuh suka dengan prinsip kemerdekaan yang dianut Prof Lafran, merdeka sejak hati sebagaimana judul buku ini. Kemerdekaan berarti ketidakterikatan pada perkara-perkara dunia yang nisbi. Kemerdekaan dari belenggu penjajahan fisik maupun psikis. Kemerdekaan dari utang budi apalagi utang materi.


Ahmad Fuadi selalu sukses menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dari tangan dinginnya beliau telah melahirkan banyak karya-karya best seller. Buku ini menurutku buku autobiograpi terbaik untuk pahlawan Indonesia yang pernah saya baca selama ini. Gaya bertutur yang runut, pemilihan diksi dan bagaimana beliau mengatur alur kisah hidup seseorang yang membentang panjang dengan segala pergolakannya diberikan porsi yang pas. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada bagian dari kisah di buku ini yang terkesan terburu-buru. Semuanya diatur sesuai porsi yang tepat, sehingga kita tak sempat dibuat jenuh membacanya. 4 bintang untuk buku ini.  

1 komentar:

Bagiku keluarga ibarat sebuah pohon yang kokoh, dari akar, batang, dahan, ranting bahkan daun, saling terkait dan harus saling mendukung sat...

Kematian Seperti Pencuri



Bagiku keluarga ibarat sebuah pohon yang kokoh, dari akar, batang, dahan, ranting bahkan daun, saling terkait dan harus saling mendukung satu sama lain untuk tetap menjadi  kuat.  Seperti halnya pohon, beberapa waktu pasti akan menumbuhkan kuncup-kuncup daun segar yang baru, atau ranting-ranting segar yang tumbuh, pun sebaliknya. Beberapa dahan pasti akan menua patah meninggalkan batangnya, atau daun menguning dan berguguran.


Tahun ini, dua dahan yang selama ini banyak menopang kami akhirnya mengucapkan selamat tinggal. Pertama di awal tahun dan yang kedua beberapa hari kemarin ini. Dahan itu akhirnya patah, meninggalkan bekas luka yg menganga di batang pohon induknya. Juga di hati kami. Kami kehilangan orang yang kami cintai itu. Paman dan bibi kami.


Bagiku kematian ibatar pencuri yang kejam. Mencuri bapak dari anaknya, mencuri suami dari istrinya, mencuri saudara dari saudaranya. Yang lebih menyedihkan, kematian mencuri banyak kebahagiaan. Meninggalkan duka yang menjadi-jadi.


Kematian selalu meninggalkan sesal. Sesal, Kenapa tidak sempat meluangkan banyak waktu untuk bercakap semasa mereka hidup. Sesal kenapa tidak banyak mengabadikan momen yang indah bersama. Sesal kenapa tak banyak mengucapkan rasa sayang satu sama lain. Sesal kenapa tidak banyak membuat mereka tersenyum. Memberi mereka banyak hal yang membahagiakannya. Kita selalu merasa masih punya waktu. Merasa bahwa maut masih begitu jauh, masih berada  diujung jalan sana ditempat yang masih susah dijangkau. Namun sekali lagi kita tertipu. Takdir selalu punya caranya sendiri. Punya ceritanya sendiri. Punya jalannya sendiri. Dan kita selalu terlambat menyadari.


Kalian tahu menyaksikan nafas-nafas terakhir orang yang kalian cintai itu begitu berat. Dua orang ini, yang pergi lebih cepat meninggalkan pohon keluarga kami, saya menyaksikannya bagaimana beratnya sakarat yang harus mereka lalui. Saya menyaksikan betapa nafas-nafas kecil itu perlahan-perlahan meninggalkan jazad mereka, saya menyaksikan helaan nafas terakhir itu. Saya menyaksikannya di depan mataku. dan tetiba mereka tiada. Menyebrang ke dunia lain itu. Dunia kesepian abadi, dunia kehampaan, dunia kematian. Kematian mungkin hanya seperti itu. Hanya seperti selaput gagasan tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tiba-tiba saja kita disana. Di dunia yang berbeda. Begitu kita mati, cerita kehidupan kita telah berakhir. Terkubur bersama jazad yang habis dimakan cacing. Satu-satunya yang tersisah adalah sekelebat kenangan-kenangan yang perlahan memudar.


2019 Penuh Duka


0 komentar:

Kalimat itu kutemukan entah di sosmed mana, entah kenapa setiap kali merapalkannya   membuat saya selalu merinding. Pamit ke Masjid, pulan...

Pamit ke masjid, pulang ke surga.




Kalimat itu kutemukan entah di sosmed mana, entah kenapa setiap kali merapalkannya  membuat saya selalu merinding. Pamit ke Masjid, pulang ke Surga. Sederhana itu, tapi bagiku begitu sangat syarat makna. Setiap kita pada dasarnya mengharapkan akhir hidup yang baik “khusnul khotima” pun juga diriku. Akhir-akhir ini entah kenapa saya selalu membayangkan detik-detik terahir hidupku. Bagaimana nanti dititik itu. Bagaimana saya melewatinya. Apakah kelak saya berakhir di sujud terakhir di masjid, atau sedang sibuk-sibuknya menyusun laporan di depan laptopku.


Seseorang pernah berkata, akhir dari hidupmu akan menentukan awal dari arus kehidupanmu yang lebih besar nanti.  Bagaimana kau berakhir, begitu pula kau akan memulai kehidupan barumu di akhirat.  Saya selalu merasa belum mempersiapkan banyak hal untuk kehiddupan baruku, sementara tuntutan dunia seakan tidak ada habis-habisnya untuk dituruti. Saya selalu merasa tertinggal di belakang dan waktu berlalu begitu cepatnya berlalu. Saya takut, ketika garis finisku tiba saya tidak bisa tersenyum lega, berpamitan pada dunia dengan penuh kemenangan. Pamit ke masjid tapi pulang ke surga. Saya takut, justru ketika detik-detik itu datang, saya justru malah gigih menggenggam kuat tali dunia. Berpegangan pada sesuatu yang semu, sesuatu yang pasti akan kulepaskan terpaksa atau tidak. Saya takut.Setiap kali merasa tertekan seperti itu, saya merasa kecewa pada diriku.

0 komentar:

Beberapa hari terakhir rasa-rasanya cuaca semakin dingin, konon posisi matahari dan bumi saat ini adalah jarak terjauh yang pernah ada. Feno...

Menanti di Ruang Tunggu



Beberapa hari terakhir rasa-rasanya cuaca semakin dingin, konon posisi matahari dan bumi saat ini adalah jarak terjauh yang pernah ada. Fenomena ini para Ilmuan menyebutnya dengan istilah Aphelion. Benar atau tidaknya saya sendiri kurang faham.  


Jika berbicara tentang jarak yang terpikir di benakku justru jarak atara hidup dan mati. Saat ini jarak itu terasa begitu tipis, hanya seperti dipisahkan selaput tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tetiba kita berada diseberang dunia lain itu. Dunia kehampaan, dunia kematian.


Berita duka bertebaran di media sosial. Setiap hari kabar duka itu berdatangan tak henti-henti. Karib kerabat, sanak saudara, orang-orang yang kita kenal sepintas lalu maupun mereka yang begitu akrab, tetiba kabar dukanya datang menghenyakkan batin. Kita tertegung, merenungkan antrian kita pada nomor urut ke berapa. Bukankah sejatinya kita juga sedang menanti di ruang tunggu yang sama.


Dunia sedang sakit, sedang dilanda pandemi yang sepertinya tidak ada titik terangnya. Manusia terbelah, segolongan mempercayai pandemi ini nyata segolongan lagi menganggapnya hanya rekayasa demi kepentingan korporasi yang lebih besar. Masyarakat merasakan dampak yang luar biasa dari pandemi ini, sementara pemerintah mengeluarkan ke(tidak)bijakan yang ugal-ugalan. Sebentar-sebentar istilah baru dikeluarkan sebentar-sebentar larangan ini itu di terbitkan. Rasa-rasanya tidak ada solusi yang lebih praktis sementara waktu demi waktu korban berjatuhan semakin banyak. Masyarakat justru diminta goyang ubur-ubur atau menggunakan kalung penangkal anti corona itu.


Anehnya saya belum menemukan para pembuat kebijakan ugal-ugalan itu justru menjadi korban, saya belum mendengar kabar duka dari mereka, padahal saya sedang menanti-nanti kabar-kabar itu. Bukan karena apa, cuman barangkali kebijakan yang lebih baik, yang lebih bijaksana untuk rakyat bisa dikeluarkan setelah mereka sendiri mengalami nasib yang sama.  Jangan sampai air mata yang mereka tumpahkan hanya karena melihat rakyatnya menderita, bukan air mata keran mereka juga terdampak penderitaan yang sama.


Atau barangkali pandemi ini memang pintar menyasar golongan tertentu. Golongan yang tidak bisa memiliki akses untuk mendapat perawat terbaik di rumah sakit. Golongan yang tidak memiliki relasi yang bisa memberinya dukungan untuk mendapatkan penanganan terbaik.  Ah sudahlah percuma juga memikirkan para pejabat itu, lebih baik kembali rebahan. Menikmati segelas teh madu dan menyelesaikan novel tebalku ini.   


Makassar, 6 Juli 2021

0 komentar:

  Sometimes, all you need just a little bit of a nostalgia Beberapa malam yang lalu saya bermimpi, berjalan di jalan setapak di antara hut...

A Little Bit of Nostalgia

 




Sometimes, all you need just a little bit of a nostalgia


Beberapa malam yang lalu saya bermimpi, berjalan di jalan setapak di antara hutan pepohonan pinus yang rindang. Saya berjalan perlahan, menapak diantara bebatuan yang berbukit-bukit. Suara angin menderu lembut, menggesek dahan dan dedaunan pinus, menghasilkan melodi yang menyedihkan. Dari kejauhan sayup-sayup kicau burung bernyanyi, nyanyiannya sama menyedihkannya. Iramanya seperti meratap, berkisah tentang mereka-mereka yang telah lama pergi.   


Siang yang sepi, tak ada sesiapa, benar-benar suatu kesendirian yang menyayat hati. Kesendirian yang mencekam. Kesendirian yang menyakitkan. Saya benci perasaan seperti ini. Perasaan ditinggalkan, Perasaan sepi yang menjadi-jadi. Perasaan hampa, rasanya kosong sekali. Saya terus berjalan, hutan pinus semakin rapat dan cahaya matahari semakin meredup. Saya terbangun di tengah malam buta. Merasa kesepian dan tak berdaya. Mimpi itu terasa begitu nyata. Perasaan hampanya pun sama nyatanya dan saya menangis sejadi-jadinya.


Konon mimpi seperti itu adalah perwujudan dari sesuatu yang kita pendam dalam hati. Sesuatu yang selalu kita coba untuk sangkal. Luka batin di masa lalu yang belum bisa pulih seutuhnya. Atau sesuatu yang entah apa yang selalu berusaha kita simpan di lobang hati terdalam kita, entahlah.


Setiap terbangun di tengah malam seperti itu, mata ku sudah tidak bisa terpejam. Fikiran ku mengembara kemana-mana. Seringkali terjebak di masa lalu yang pahit. Konon manusia tidak pernah bisa bersembunyi dari masa lalunya, seberapa kuat pun mereka mencoba. Masa lalu, seperti air yang keruh, mengalir di antara cela-cela bebatuan hitam. Selalu menemukan jalan untuk menorehkan luka lama.  Menampungnya percuma, membuangnya juga tak bisa.


Sudah satu minggu ini saya kembali ke Mamuju. Kota kecil yang kutinggalkan delapan bulan yang lalu karena hancur di hantam gempa. Meski sudah beberapa malam tidur disini saya masih belum terbiasa. Trauma gempa di malam kelam itu masih sering menghantuiku. Saya bisa tiba-tiba terbangun begitu saja.  Bahkan kadang hanya mendengar suara pintu yang berdecit membuat jantungku berdetak tak karu-karuan. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Mungkin tempat ini butuh waktu lama untuk pulih. Pembangunan berjalan merangkak, ditambah kondisi pandemi seperti ini. Tempat ini seperti ditarik mundur jauh kebelakang. Bagaimanapun juga, Mamuju punya banyak cerita manis dalam 5 tahun terakhir hidupku. 


Saya tak pernah menyangka, saya akan kembali ke tempat ini. Kembali berbaring di kamar sempitku. Dengan pemandangan laut yang menghampar dari balkon kamarku. Saya menyukai suasana pagi di sini. Semurat jingga dari seberang laut nan jauh terlihat cantik. Dahulu saya suka menatap laut, menatap sejauh mata memandang, menatap cakrawala di kolong langit sana. Penasaran seberapa jauh sih jauh itu. Waktu kecil dulu, saya selalu berharap bisa pergi jauh menyongsong cakrawala. Setelah dewasa akhirnya saya memahami, seberapa jauh pun kita melangkah nyatanya kita tidak pernah bisa benar-benar bisa menggapai cakrawala. Cakrwala tidak pernah sedekat yang kita bayangkan. Belakangan juga kuketahui jauh senyatanya bukan hanya tentang jarak, juga bukan tentang tujuan atau tempat. Jauh sejatinya hanyalah tentang sesuatu yang terus menerus kita inginkan tapi tidak bisa kita gapai. Manusia selalu dibatasi garis takdir. Ada batasan-batasan tak kasat mata yang memang tak bisa kita seberangi, seberapa kuat pun kita terus menerus mencoba. 


Seminggu disini hujan terus menerus mengguyur kota kecil ini di sore hari. Bukan hujan yang besar, tapi bukan juga rintik yang tidak membuatmu kuyup. Saya menyukai suasana hujan yang tenang seperti ini. Begitu tenang. Ketenangan yang menghanyutkan. Pintu balkon sengaja kubuka lebar, tempias air hujan seperti bertiup lembut ke kamarku. Hembusan dinginnya menyejukkan hatiku. Seseorang pernah berkata, jika hujan turun dan kau sedang bersedih, cukup pejamkan matamu dan rentangkan tanganmu di bawa hujan, biarkan rintiknya menyentuh hatimu. Maka pelan-pelan kau akan merasa lebih baik. Apa memang seperti itu ?


Mamuju, 15 Agustus 2021

2 komentar:

  Pagi ini saat saya iseng buka facebook, tetiba pemberitahuan tentang kenangan beberapa tahun silam muncul diberandaku. Iseng kemudian saya...

Semua Masa Ada Heronya

 



Pagi ini saat saya iseng buka facebook, tetiba pemberitahuan tentang kenangan beberapa tahun silam muncul diberandaku. Iseng kemudian saya menscrol pemberitahun itu. Saya menemukan postingan fotoku kurang lebih 10 tahun silam, bersama kawan-kawan lama saya.


Saya memperhatikan gambar itu lamat-lamat, menelusuri wajah satu persatu kawanku yang dulu pernah sangat akrab. Sambil berusaha meresonasi ingatan masa lalu.  Mereka-meraka yang ada digambar itu adalah orang-orang yang pernah hadir dalam satu wilayah waktuku. Mejalani hidup bersama, bertualang, bermain, saling tertawa, saling terluka dan saling bahagia. Hingga kemudian waktu dan jarak akhirnya menjadi jurang pemisah.


Saya kembali menelusuri wajah mereka satu persatu, kini mereka bukan lagi teman yang dulu kukenal seperti itu. Bahkan satu persatu kira menjadi asing. Saling menjauh dan hampir tidak pernah bertegur sapa. Mereka dan aku kini menjadi orang yang berbeda, dengan wilayah waktu yang berbeda pula.


Saya kemudian menyimpulkan sesuatu, “semua masa ada heronya”.  Masa itu, mungkin mereka-mereka diutus untuk menjadi Hero dalam hidupku, tapi kini mereka harus menjadi hero untuk orang lain. Untuk keluarga kecil mereka, atau hero di lingkungan kantor kerja mereka dan aku pun demikian. Saat ini, di usia seperti ini fokus kita bukan lagi pada simpul yang biasa kita sebut “persahabatan’, fokus kita seharusnya bergeser pada arus yang lebih besar, pada ikatan kuat keluarga, pada visi, misi dan tujuan hidup yang sama, pada surga yang bahagianya abadi. Bukan lagi hanya sekedar bisa tertawa dan nongkrong bersama, atau bisa saling berbagi hobi yang sama. Bukan, bukan perkara nisbi seperti itu.


Saya berdoa dimanapun kalian dan apapun kehidupan yang kalian jalani saat ini, saya sungguh berharap kalian bisa menjalaninya dengan bahagia. J


0 komentar:

Title: Selasa Bersama Morrie Author: Mitch Albom Genre: Memoar, Semi-biography, Philosophy Publisher: Gramedia Pustaka Utama Release Date: 1...

Resensi Novel: Tuesdays With Morrie


Title: Selasa Bersama Morrie
Author: Mitch Albom
Genre: Memoar, Semi-biography, Philosophy
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Release Date: 10 Oktober 2016 (terbit pertama tahun 1997)
Pages: 209
Harga: Rp. 45.000
Judul Asli: Tuesdays With Morrie
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo


Saya membaca buku Biografi yang sangat bagus. Buku Biografi Prof Morrie Schwarts yang ditulis oleh mantan mahasiswanya sendiri “Mitch Albom” Novelis terkenal berkebangsaan Yahudi, yang karya-karyanya sudah tidak diragukan lagi. Biografi ini sendiri bukan buku biografi seperti kebanyakan buku Biografi lainnya. Ditulis dari masa kanak-kanak hingga keberhasilan tokohnya. Buku Biografi ini justru ditulis untuk mengenang masa-masa akhir Prof Morrie. Bulan-bulan terkahir menjelan kematiannya karena penyakit yang aneh. Penyakit yang di sebut Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Sebuah penyakit yang akan mempengaruhi saraf seseorang yang dapat memburuk seiring waktu, hingga menyebabkan kelumpuhan. Prof Morrie, di vonsi menderita penyakit ALS yang membuatnya harus kehilangan kemampuan motoriknya perlahan-lahan. Penyakit yang pada akhirnya membuatnya kehilangan seluruh kemampuan tubuhnya. Dia akan segera meninggal dalam bebera waktu yang tak begitu lama lagi.


Perkenalan pertamaku dengan Mitch ALbom  sekitar delapan atau sembilan tahun silam dan karya pertamanya yang kubaca adalah buku ini “Thuesday with Morrie”. Saya begitu jatuh cinta pada buku ini, bukan hanya itu saya jatuh cinta pada hampir semua karyanya Mitch Albom. Mitch ALbom selalu mampu menulis suatu kisah yang begitu hangat, membuat kita jatuh cinta pada setiap narasi yang dikisahkannya. Bahkan saya mengoleksi hampir semua karya-karyanya.


Beberapa hari yang lalu entah kenapa saya tiba-tiba kembali tertaik membaca ulang kisah Tusday with Morrie. Buku yang tidak gampang dilupakan, buku yang mampu membuatmu mengingat banyak detail ceritanya bahkan setelah sekian lama kau terakhir membacanya. Buku ini termasuk dari salah satu jenis buku itu.


Buku ini pada dasarnya berisi tentang jawaban dari pertanyaan Prof Morrie kepada Mahasiswa kesanyangannya. Mitch Albom, penulis buku ini.


"Bagaimana rasanya mau mati ?"


Morrie kembali mengajari Mitch dan jutaan orang yang terinspirasi oleh kisahnya “tentang hidup”. Katanya “Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita sedang belajar tentang bagaimana kita harus hidup"


Mitch Albom, setelah enam belas tahun sejak pertemuan terakhirnya dengan Prof kesanyangannya akhirnya pada suatu hari  kembali mengikuti kelas terakhir dari Prof Morrie, kelas yang diadakan di rumahnya, dekat jendela ruang kerjanya, tempat Prof Morrie menikmata tanaman kembang sepatu dan bunga-bunganya yang merah Kelas yang dilaksanakan di hari selasa dan mahasiswanya hanya dirinya seorang. Tidak ada buku yang harus dibaca. Karena kelas ini hanya berisi tentang makna hidup yang diajarkan melalui pengalaman


saya suka pertanyaan  yang diajukan Prof Morrie pada Mitch di selasa pertama mereka


"apakah kau sudah menemukan orang tempat kau berbagai perasaan ?"

"apakah kau menyisihkan penghasilanmu untuk amal ?"

"apakah kau menerima dirimu apa adanya ?"

"apakah kau mencoba bersikap manusiawi sebisa-bisamu?"


Pertanyaan sederhana itu sepetinya tidak saja diajukan untuk Mitch. pertanyaan itu seakan-akan juga ditujukan untukku dan untuk semua pembaca buku ini. Saya bahkan terjeda beberapa saat, untuk memikirkan dalam-dalam pertayaan ini "sudahkah saya ?"


apa yang terjadi padaku ?


Tahun 90an telah berlalu, dan tahun 20an sebentar lagi berlalu. kematian, penyakit, kegemukan dan kebotakan semua terjadi begitu saja. aku hanyut dalam perahian begitu banyak mimpi, begitu banyak harapan, begitu banyak usaha untuk mendapatkan lebih banyak uang dan uang. Aku bahkan tak pernah sadar bahwa aku menjalani kehidupan semenyedihkan itu kehidupan yang dahulu selalu kuhindari, kehidupan monoton. kehidupan yang terjebak dalam pola yang sama


"lahir-sekolah-kuliah-cariduit-sampai mati'


"menanti datangnya ajal, hanya salah satu diantara yang patut kita sedihkan, tapi hidup tampa kebahagiaan jauh lebih menyedihkan" begitu Prof Morrie, membuka kuliah perdananya.


Sejak pertemuan itu, setiap selasa Mitch akhirnya memutuskan untuk terbang menemui Coachnya, begitu dia menyebut Prof Morrie. Mereka membicarakan satu tema yang menarik seperti misalnya: Selasa pertama, mereka berbincang tentang dunia. Selasa kedua mereka berbincang tentang mengasihi diri sendiri. Selasa ketiga mereka berbincang tentang penyesalan dan terakhir selasa keempatbelas mereka berbincang tentang perpisahan. Bagiku bagian terbaik dari buku ini adalah di Selasa keempat, saat mereka berbicara tentang kematian dan selasa kelima saat mereka berbicata tentang keluarga. Bagi Prof Morrie, kematian hanya sebuah peristiwa alamiah yang harus dialami semua manusia. Tidak ada sesuatu yang terlalu istimewa disitu.  


Apakah kalian pernah memiliki seseorang seperti Prof Morrie ? seorang yang nyaman untuk ditemani berbagi berbagai macam cerita. Seseorang yang membuatmu bisa menjadi dirimu sendiri saat berada disisinya.  Kalo belum saya berharap dimasa depan kita dipertemukan dengan orang seperti itu.


5 bintang untuk buku ini

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

  Kalian pikir karena apa manusia mati ? saat jantungnya tertembus peluru. ? bukan . S aat mereka terserang penyakit mematikan ? bukan , ...

Bagaimana Kesepian Membunuhmu !

 

Kalian pikir karena apa manusia mati ? saat jantungnya tertembus peluru. ? bukan. Saat mereka terserang penyakit mematikan ? bukan, atau saat mereka minum racun ? bukan. manusia mati saat dilupakan. 

(dr. Hiluluk-One Piece)


Kesepian membunuhmu perlahan-lahan.

Saya pernah membaca kalimat itu entah dimana. Mungkin disebuah buku yang tengah kubaca, atau dalam percakapan anime yang sering kutonton. Saya tidak ingat pasti dimana tepatnya. Entah kenapa kalimat itu begitu berksesan buat saya “apa mungkin rasa kesepian bisa membunuh seseorang ?” fikirku dalam hati.


Beberapa hari yang lalu saya akhirnya bisa menemukan jawabannya. Kesepian senyatanya memang bisa membunuh seseorang. Rupanya Kesepian ternyata lebih berbahaya dari penyakit ganas manapun. Kenapa ? jawabannya sederhana, begitu kau merasa dilupakan, begitu kau merasa tidak memiliki sesiapa, disitulah akhirnya tubuhmu dengan sendirinya mulai menyerah. Tubuhmu dengan sendirinya akan berhenti berjuang untuk terus menerus bertahan. Tubuhmu memilih mati, Kau sekarat secara perlahan-lahan tampa kau sadari.


Beberapa waktu yang lalu, saya divonis positif covid. Saya akhirnya diisolasi secara mandiri di tempat tinggal saya. Benar-benar sendiri. Diruangan kamar yang berukuran tak lebih dari 4*4. Awalnya saya merasa tidak ada perbedaan yang berarti antara sebelum di vonis covid dan setelahnya karena statusnya memang hanya OTG. Pada dasarnya saya memang cenderung merasa nyaman menyendiri, tidak terlalu suka berinteraksi dengan manusia, cenderung solitude jadi saya fikir ini tidak akan menjad masalah yang berarti. Tapi kalian tahu setelah berjalan dua  atau tuga minggu, rasa sepi itu akhirnya berwujud sesuatu. Sesuatu yang benar-benar mengerikan. Perasaan tersisih, perasaan dilupakan, perasaan tidak memiliki sesiapa perlahan-lahan datang merayap kedalam hati. Menyesap, menyebabkan goresan luka menganga.


Kesepian punya efek yang luar biasa terhadap hati. Hati menjadi lebih sensitif. Lebih gampang terpiling kenangan masa lalu dan saya benci perasaan ini. Entah kenapa banyak hal yang disesali di masa lalu. Orang-orang yang datang dan pergi. Orang-orang yang datang meski sekelebat. Kejadian-kejadian yang terlewatkan, tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Pragmen kehidupan di masa lalu itu muncul satu persatu. Bersama semua rasa yang mengikutinya. Ternyata hal yang paling buruk dari merasa sepi adalah mengingat kenangan-kenangan itu. Saya mungkin bisa bertahan tampa harus berinteraksi dengan sesiapa, tapi saya tidak bisa bertahan dengan cerita dari masa lalu yang datang berkunjung. Terlalu menyedihkan.


Saya akhirnya memahami, mengapa rasa sepi itu bisa membunuh manusia.


November 2020

dalam masa isolasi mandiri

Semoga pandemi ini segera berakhir

 


0 komentar: