Cries in the Drizzle by Yu Hua     Paperback, 312 pages Published November 18th 2020 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1993) Orig...

Resensi Novel Cries in the Drizzle by Yu Hua

 

Cries in the Drizzle by Yu Hua

 

 

Paperback, 312 pages

Published November 18th 2020 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1993)

Original Title: 细雨中呼

ISBN13: 9786020648262

Edition Language: Indonesian

Setting China

 

 

 Kemiskinan yang Turun Temurun


 Yu Hua selalu mampu menggambarkan ironi dengan baik. Spesialisasinya mungkin memang seperti itu.  Pada novel-novel sebelumnya juga seperti itu, To live atau Chronicle of a Blood Merchant misalnya. Sungguh menarik bagaimana dia menceritakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan, kemalangan, kesialan, kematian bahkan kenangan dengan bahasa yang begitu sederhana namun sangat menyakitkan.


Perhatikan bagaimana dia menggambarkan tentang kenangan dalam bukunya kali ini:

“Gambaran Kabur muncul di hadapanku, dan aku seakan bisa melihat gerakan waktu. Dalam bayanganku waktu menyerupai desiran kelabu transfaran, dan segala kejadian mendapatkan tempat di dalam bentangan gelapnya. Kehidupan kita, bagaimanapun lebih mengakar ke waktu daripada tempat, Ladang, jalan sungai, rumah-semua teman kita, yang memiliki tempatnya masing-masing di ranah waktu. Waktu mendorong kita maju atau mundur, dan mengubah semua aspek kita’’


Saya benar-benar menyukai bagaimana Yu hua menyuguhkan konsep dan gagasan tentang kenangan begitu sederhana namun berkesan. Kenangan seperti memiliki dimensi sendiri dan beberapa potongan kehidupan kita tertinggal disana. Manusia tidak pernah bisa lari dari masa lalunya seberapa kuat pun mereka mencoba. Kenangan ibarat sebuah dunia multiverse dimana kehidupan kita yang lain hidup disana. Begitu kira-kira Yu Hua menggambarkan.


Gambarannya tentang kematian tak kalah menyedihkannya. Yu Hua menuliskan bagaimana Su Gualing memaknai kematian adiknya dengan bahasa sederhana namun menyakitkan’


“ketika aku menelusuri jalan panjang kenangan dan melihat Sun Guangming sekali lagi, yang ditinggalkan ketika itu bukan rumah: dia dengan semberono pergi meninggalkan waktu. Begitu dia kehilangan keterikatan dengan waktu, dia menjadi tetap, abadi, sementara kami terus terbawa maju oleh momentumnya. Yang dilihat Sung Guangming adalah waktu yang merenggut orang-orang dan pemandangan disekelilingnya, dan yang kulihat adalah kebenaran yang lain: setelah dikuburkan, jasad akan terbaring diam selamanya, sementara para penguburnya akan melanjutkan kesibukan mereka. Dalam kesunyian maut, kita yang masih berkeliaran bisa melihat pesan yang dikirimkan oleh waktu”


Saya membaca kalimat ini dengan perasaan hampa. Mungkin seperti Sun Gualing saat berjalan kembali ke gerbang selatan menelusuri jejak-jejak masa lalunya yang menyakitkan. Meski novel ini tidak seperti dua novel Yu Hua lainnya yang begitu booming, namun menurutku Novel ini tidak menghilangkan citra Yu Hua sang peramu ironi dan penderitaan. Novel-novelnya memang terkenal seperti itu. penuh duka lara dan nestapa. Bahkan di Criez in The Drizzle penderitaan digambarkan turun temurun dari generasi kakek buyutnya sampai pada si penutur dalam novel ini - Sun Gualing.


Satu-satunya yang tak kusukai dari novel ini adalah plotnya yang loncat ke mana-mana. Tidak ada urutan yang jelas antar setiap peristiwanya. Tiba-tiba kita di masa Sun Gualing dewasa dan lembar berikutnya kita bisa terlempar jauh kebelakang. Mungkin karena novel ini memang di gambarkan dari sudut pandang Sung Gualing dalam melihat dinamika sosial di masyarakat di masa itu. Dia kemudian menceritakan bagaimana kejadian-kejadian  yang bersinggungan dengan dirinya dan orang-orang disekitarnya. Tidak runut tapi benang merah peristiwa demi peristiwa tetap terhubung.


Selain itu saya kehilangan taste Agustinus Wibowo dalam novel ini, dua novelnya yang lain memang diterjemahkan dengan sangat baik oleh AW namun di novel ini penerjemahnya berbeda. Saya benar-benar kehilangan cara bertutur AW dalam menerjemahkan karya-karya Yu Hua. Mungkin karena AW memiliki kesamaan etnis dengan Yu Hua yang membuatnya begitu nyaman membahasakannya kembali dalam kata demi kata dalam bahasa Indonesia.


 Middle child syndrom; Ironi Tentang Anak Tengah


Hal menarik lain dari buku ini adalah karakter tokoh utamanya “Sun Gualing” sang anak tengah yang tak dianggap. Mitos yang berkembang di masyarakat sejauh ini mungkin memang seperti itu. Anak tengah selalu dianggap tak pernah ada. Diabaikan, tidak mendapatkan cukup porsi perhatian dan prioritas dalam keluarga.


Dalam kaca mata pribadi saya yang terlahir sebagai anak sulung, Sung Gualing ini hanya menderita middle child syndrome. Middle child syndrom atau sindrom anak tengah adalah keyakinan bahwa anak tengah dikucilkan atau bahkan diabaikan karena urutan kelahirannya. Menurut banyak orang, beberapa anak mungkin memiliki kepribadian dan karakteristik hubungan tertentu sebagai akibat menjadi anak tengah.


Middle Child Syndrome biasanya muncul karena anak tengah kerap kali tidak diprioritaskan seperti kakaknya atau dimanja seperti adiknya. Alhasil ini yang membuat mereka merasa dikucilkan atau diabaikan. Anak tengah mungkin merasa bahwa tidak ada yang mengerti atau mendengarkan apa yang mereka katakan. Ia juga kerap iri karena kakaknya bisa melakukan hal menyenangkan lebih dulu, sementara semua perhatian di rumah terfokus pada adiknya yang merupakan anak bungsu.


Middle child syndrom inilah yang kemudian membentuk karakter utama Sun Gualing. Pada dasarnya saya sendiri tidak melihat dari sudut mana Sung Gualing ini begitu merasa di abaikan oleh keluarganya. Satu-satunya alasan kuat yang menjadi awal semua pengabaian itu karena Sun Gualing sendiri pada umur enam tahun dia dititipkan kepada keluarga lain yang lebih mapan, dan baru pulang ke rumah orangtuanya enam tahun kemudian karena orang tua angkatnya meninggal. Saya rasa Sun Kuwangtsai ayah dari tokoh utama kita ini bukan tidak menyayangi putra keduanya, melainkan karena kondisi sosialnya saat itu yang dibekap kemiskinan dengan tiga putra yang lahir dengan jarak waktu yang tidak terlalu berjahuaan. Pilihan terbaik yang memang harus di ambil ayahnya adalah menyerahkan putranya ke keluarga yang dianggap bisa memberi masa depan yang lebih baik.


 Nah, kenapa harus anak kedua ?,secara logika tidak ada orang tua yang ingin dipisahkan dengan anak-anaknya, namun dalam kondisi tertentu beberapa pilihan berat memang harus diambil demi kebaikan bersama. Pilihan untuk menyerahkan putera keduanya mungkin dilatari karena anak pertamanya saat itu sudah sedikit lebih dewasa dan lebih bisa membantu permasalahan ekonomi keluarga sementara anak bungsunya masih menyusu jadi pilihan terbaik memang adalah putera keduanya Sung Gualing.


 Penggambaran karakter tokoh utama dalam novel ini sungguh menarik. Didekap derita kurangnya kasih sayangnya dari keluarga, Sun Guanling kemudian mencari perasaan diterima itu di luar sana.  Jalinan rumit persahabatannya dengan beberapa tokoh yang dibangun dalam karakter ini bukannya berakhir bahagia malah berujung nestapa tiada akhir. Benar-benar sungguh novel yang penuh dengan balutan derita.  


 

Tentang Penulis: Yu Hua


Yu Hua (Cina sederhana: 余华 ; Cina tradisional: 余華 ; pinyin: Yú Huá ) adalah seorang penulis Cina yang lahir 3 April 1960 di Hangzhou, provinsi Zhejian. Dia lulus SMA pada masa revolusi kebudayaan dan kemudian bekerja sebagai dokter gigi. Yu Hua telah menerbitkan empat novel, enam kumpulan cerita, dan tiga kumpulan esai. Meski buku pertamanya sempat dilarang terbit di Tiongkok karena terkesan begitu kritis dan satir pada pemerintahan komunis namun tak menyurutkannya untuk menelurkan karya sastra yangluar biasa lainnya. Karyanya telah diterjemahkan lebih 20 bahasa sepererti Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Jepang, Korea dan tentunya Indonesia. Pada tahun 2002 Yu Hua menjadi penulis Tiongkok pertama yang memenangkan Penghargaan Yayasan James Joyce yang bergengsi. Novelnya To Live dianugerahi oleh Premio Grinzane Cavour Italia pada tahun 1998. Selain itu To Live dan Chronicle of a Blood Merchant dinobatkan sebagai dua dari sepuluh buku paling berpengaruh dalam dekade terakhir di Tiongkok pada 1990-an oleh Wenhui Bao, surat kabar terbesar di Shanghai. Saat ini Yu Hua tinggal di Beijing. 


0 komentar:

  Judul: The Song of Achilles Penulis: Madeline Miller Penerbit: Ecco Tahun cetakan: 2012 Jenis: ebook ISBN: 9780062060631  Hector membunuh ...

Review Buku: The Song of Achilles

 


Judul: The Song of Achilles

Penulis: Madeline Miller

Penerbit: Ecco

Tahun cetakan: 2012

Jenis: ebook

ISBN: 9780062060631


 Hector membunuh Patroclus, sahabat Achilles. Orang yang paling dia sayangi. Sahabat terbaiknya. Ramalan itu akhirnya akan mewujud, bahwa Hector akan mati ditangan Achilles. Begitu pun Achiles, manusia setengah dewa itu juga akan berakhir di medan peran Troy, menjadi sebuah legenda yang dikenang manusia beratus-ratus tahun kemudian, Achilles sosok pahlawan besar Yunani, sang penakluk Troy.


Novel ini sangat menarik namun tragis. Endingnya sudah bisa ditebak di separuh halaman awal dari buku ini, meski demikian fragmen-fragmen yang begitu mengejutkan pun masih bisa kita jumpai di setiap lembarnya. Novel ini benar-benar mengingatkanku pada buku bergendre sama namun versi lokal “Raden Mandasia si Pencuri daging sapi” bedanya Sungu lembu pemeran kedua yang menarasikan novel tersebut, sahabat dekat Raden Mandasia tidak meninggal dengan tragis seperti Patroclus. Novel ini pun di narasikan oleh pemeran kedua Petroclus, bukan dari sudut padang Achilles sang legenda dan tokoh utama buku ini.


Ketertarikanku pada buku ini karena mengambil latar belakang kisah perang Troya yang begitu melegenda. Kisah perang Troya ini pernah di filmkan pada tahun 2004 silam  yang dipernakan oleh Brad Pitt dan menjadi salah satu film terlaris di masanya. Film ini pun menjadi salah satu nominasi untuk mendapatkan penghargaan piala Oscar. Bedanya pada film tersebut mengambil sudut pandang para kesatria Troy namun dalam novel ini justru sebaliknya, sudut pandang prajurit Yunani penyerang Troy yang akhirnya memenangkan perang besar tersebut yang diberi porsi lebih dalam.


Buku ini menurutku sangat bagus untuk kelas pengembangan novel klasik. Madeline Miller  novelis wanita asal Boston berhasil melihat cela lain yang unik yang kemudian dia kembangkan menjadi sebuah kisah yang begitu epic. Madeline Miller diketahui menghabiskan sepuluh tahun lamanya untuk menulis The Song of Achilles. Novel The Song of Achilles merupakan karya pertama, yang resmi dirilis pada 2012. Tidak heran jika dalam novel ini konon  bukan hanya membingkai cerita yang menakjubkan, tetapi juga menyelipkan potongan sejarah yang akurat.


“What is admired in one generation is abhorred in another. We cannot say who will survive the holocaust of memory… We are men only, a brief flare of the torch.”

“I could recognize him by touch alone, by smell; I would know him blind, by the way his breaths came and his feet struck the earth. I would know him in death, at the end of the world.” 

“And perhaps it is the greater grief, after all, to be left on earth when another is gone.”

– Madeline Miller, “The Song of Achilles”

0 komentar: