Awal Oktober, musim pancaroba tiba. Sesekali hujan turun derasnya lain waktu matahari bersinar begitu teriknya, cuaca sedang tak menentu se...

Seperempat Abad: Sebuah Masa Transisi

Awal Oktober, musim pancaroba tiba. Sesekali hujan turun derasnya lain waktu matahari bersinar begitu teriknya, cuaca sedang tak menentu seperti hatiku yang juga dilanda keresahan.  Awal Oktober ini usiaku sudah cukup matang untuk tidak lagi dianggap remaja. Seperempat abad bisa dikatakan usia yang telah cukup dewasa, yah seperempat abad kawan  alias 25 tahun, atau 9125 hari, atau 219,000 jam, atau 13,140,000 menit, atau 788,400,000 detik.

Bagi sebagian orang usia seperempat abad adalah tonggak memulai hidup baru, menemukan pasangan membangun karir atau sekedar menata masa depan yang lebih mapan. Tapi lihatlah aku kawan, di usiaku yang seperempat abad ini, masih saja berkutat dengan buku-buku metodologi penelitian, bergulat dengan tugas akhir yang juga tak kunjung menunjukkan titik akhirnya. Hai kawan lihatlah aku, di usiaku yang seperempat abad ini masih duduk manis di puskot (perpustakaan kota) memandang iri remaja-remaja tanggung yang sedang memadu kasih.

Sabtu pagi ini, aku lagi-lagi datang ke puskot, mencoba berdamai dengan hatiku. Rasa-rasanya beberapa hari ini hatiku tak bisa lagi kukekang, tak lagi bisa dijinakkan, besitannya tak lagi muda di arahkan, bertindak menurut lakunya sendiri atau mungkin simpul hatinya sedikit  atau memang sengaja kulonggarkan. Ah entahlah.., semoga saja hanya rasa temporer, sindrom galau menjelang seperempat abad. kehhehehhe

Kawan  kali ini aku hanya ingin bercerita sedikit tentang diriku. Diriku yang akan segera berusia seperempat abad ini. Dengarlah kawan. “Aku tepatnya diriku adalah pemuda dengan perawakan tinggi- kurus. Wajah bisa dibilang nggak jelek-jelek amat, tapi juga bukan berarti aku ganteng loh. Hei jangan ketawa gitu kawan, bukannya tidak ada orang jelek manapun  di muka bumi ini  yang mau mengakui kejelekannya secara tulus dan juga nggak ada orang cakep manapun (selain yg hanya ngaku-ngaku) yang mau secara gamblang mengumumkan kecakepannya. Bener kan ? bukankah kita hanyalah kumpulan persepsi di luar diri, jadi gagah atau jeleknya kita hanya tergantung dari persepsi diluar diri, bukan kita yang berhak menentukan. hhehehehe

Di usiaku yang akan seperempat abad ini, apa yang telah dan akan aku capai ? pasti mau nggak mau pertanyaan itu akan terus mendedah hatiku dan hati-hati sebagian orang dengan kondisi yang serupa. Bukannya tidak mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepadaku, melainkan sedikit bertanya tentang cerminan realitas yang selama ini bergulat dengan kehidupanku. Tuhan memang memberiku banyak anugerah, banyak kemudahan, banyak kesempatan, banyak kebaikan. Keluarga yang bahagia, teman-teman yang baik, lingkungan yang positif, hidupku lurus-lurus aja, tidak merokok, tidak mabuk-mabukan apalagi main perempuan.. nggak banget kali yah. Maka nikmat-Nya yang mana yang patut didustakan. Tapi selalu saja ada besitan di hati.

Oh iya, 2 tahun terakhir ini aku tinggal di lingkungan yang religi. Hidup di antara kumpulan orang-orang baik, berusaha menjadi baik. Tapi tahukah kalian kawan, aku justru malah menjadi manusia-manusia munafik. Tertatih mengejar ritme suci itu, berprilaku bak malaikat tapi nyatanya aku hanya berkamuflase. Pernahkah kalian terjebak dalam lingkungan kebaikan. Nah aku salah satu contohnya.. Kini hidupku terkesan ambigu, berusaha menekan sedalam-dalamnya bayang-bayang hitam diriku memunculkan sosok bercahaya nan suci saja. Tapi kenyataannya aku tetaplah munafik. Hei kawan, betapa aku merindukan kejujuran diriku di masa lalu, meski kejujuranku itu sebuah kesalahan. Lihatlah kawan jadi orang baik bukan berarti hati telah menjadi baik.  Diantara semua limpahan kebaikan itu justru aku tumbuh penuh kemunafikan. Tapi itulah proses kawan, proses menjadi baik. Bukan berarti saya harus mengingkari kemunafikan itu, kemunafikan yang parah menurut saya ketika kita sejatinya adalah munafik tapi tidak mengakui kemunafikan kita. Saya percaya saya masih tetap munafik, tapi di satu sisi saya juga berharap dengan mengondisikan diriku dengan orang-orang baik seperti ini suatu saat nanti saya akan memenangkan pergulatan hati itu. Menendang jauh-jauh rasa munafik itu dan akhirnya jenjereng... berubahlah saya menjadi orang yang benar-benar baik.


Terakhir aku berharap setelah hari ini berlalu, di awal seperempat abad umurku, Tuhan  menganugerahkan kepada ku  hati yang tulus untuk mensyukuri semua kebaikan-kebaikan itu, kekuatan yang cukup untuk senantiasa memenangkan pergulatan hati itu. Dan yang paling penting Tuhan segera mempertemukan ku dengan sepotong hatiku yang hilang. amin  

0 komentar:

Tak seperti biasanya, Sabtu ini aku datang terlambat. Tempat paling favorit  di sudut pojok puskot berganti penghuni, aku yang biasanya d...

Puskot, Hujan dan Gagasan Diri Cooley

Tak seperti biasanya, Sabtu ini aku datang terlambat. Tempat paling favorit  di sudut pojok puskot berganti penghuni, aku yang biasanya duduk di sana seharian kini digantikan sepasang sejoli duduk cemberut saling bertolak.  Kisah cinta berubah pahit, tak ada lagi cubitan-cubitan manja atau lirikan-lirikan malu-malu tersipu.  Peran dingin sedang berlangsung.

Akhir November, musim hujan tiba. Selalu saja menyenangkan memandangi jutaan kubik air tumpah ruah membasahi berjengkal-jengkal tanah di belahan bumi ini. Hujan selalu mengingatkan cerita-cerita masa lalu, dulu sekali ketika jiwa-jiwa ini masih seringan kapas. kaki-kaki kecil kami berlari mengejar hujan, tertawa riang, polos dan jujur.  Ya Tuhan., aku tiba-tiba begitu merindukan masa kecilku, teman-teman kecilku, desaku, kampung halamanku, rumahku, dan kejujuran hatiku.  Aku merasa begitu kehilangan mereka sekarang.

Hujan membawa berjuta kebaikan, kehidupan-kehidupan baru bermunculan dari retakan-retakan tanah sisa kemarau panjang. Aroma tanah basah yang menyegarkan, dedaunan lebat menghijau, dan yang paling menyenangkan hujan selalu memberi kesempatan kepada kita untuk berhenti sejenak, mengenang masa lalu, melihat kembali siapa dan apa kita di masa itu dan kemudian membandingkannya siapa dan apa kita sekarang. Hujan selalu membuatku merindukan diri-diri di masa lalu itu. Diri yang bebas, diri yang jujur, diri yang apa adanya,  diri yang tidak terbelenggu berbagai macam perspektif dan ideologi.

Berbicara tentang diri, aku sedikit terusik dengan gagasan diri yang dikembangkan oleh Cooley, dimana  diri direpresentasikan sebagai pribadi-pribadi yang penuh tipu daya dan penuh kepura-puraan. Gagasan diri Cooley terdiri dari tiga komponen utama.Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi kita kemudian mempersepsi prilaku, tujuan, perbuatan, karakter, kawan-kawan kita, dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita pun terpengaruh oleh persepsi-persepsi tersebut.  Gampangnya anda pernah memiliki baju yang anda sangat senangi, karena saking senangnya anda berkali-kali menggunakannya. Nah perhatikan alasan kenapa anda menyenangi baju tersebut. Bisa jadi awalnya anda tidak nyaman atau anda kurang cocok ukuran atau warnanya, tapi begitu anda mengenangkannya ternyata orang-orang di sekeliling anda memujinya, apa yang terjadi kemudian, jadilah baju tersebut urutan teratas dalam pajangan lemari anda. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi anda menyukai barang tertentu dan begitu nyaman menggunakannya, tapi ternyata pandangan negatif datang dari orang-orang di sekitar kita jadilah kita membohongi hati nurani. Lebih jauh Cooley dalam teorinya the looking-glass self, menegaskan bahwa konsep-diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya, jadi diri lebih menekankan pentingnya respons orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Aku sebagai diri hampir menerima seratus persen gagasan ini dan juga hampir menolak seratus persen.

Hujan masih terus mengguyur kota kami, kabut tipis dari balik jendela kaca menghalangi pandangan keluar. Sendu langit kota sesendu hatiku, dalam keheningan puskot  mengalir lembut lantunan lagu Ahmad Albar “Panggung Sandiwara”.
Sabtu 26 Okt, 2013




Ilustrasi gambar diambil dari artikel berjudul "Kala Hujan Menyapa Bumi"


0 komentar:

Sabtu 19 Oktober 2013 Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan b...

Kelana Kurban: Dari Lereng Gunung Kawi Ke Pesisir Pantai Kondang Merak



Sabtu 19 Oktober 2013

Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan baru bermula, burung kutilang asyik bernyanyi di pohon mangga halaman depan menggoda kutilang betina yang bertengger sombong di dahan paling atas. Sabtu pagi ini seperti sabtu pagi sebelumnya, juga sabtu sebelum-sebelumnya, dan entah sampai ke beberapa sabtu lagi. Lagi-lagi saya duduk di sudut terpojok di puskot ini. Bagian terfavorit.  Sudut di mana kalian bisa mengamati berbagai kesibukan Poskut dengan leluasa.  Mengamati dua sejoli yang bersmesraan, takut-takut, malu-malu.  wajahnya bersemu merah, tangannya saling menggenggam di balik meja, sesekali saling melirik, tersipu. Ahh begitiluah cinta, sejak jaman bahula kisahnya selalu saja seperti itu.

Sepagi ini Puskot sudah segini ramainya, mungkin efek liburan lebaran Kurban kemarin. Setelah puas mengisi perut dengan beraneka makanan olahan daging, sekarang manusia-manusia ini lagi pada sibuk menutrisi otaknya. Berbicara tentang kurban, banyak hal menarik yang akan saya tuliskan. Dua tahun ini saya jadi panitia Kurban di Lembaga tempat saya berasosiasi. Dan menariknya, dua tahun ini pula saya selalu dapat tugas mengantar paket daging ke daerah terpencil di tempat saya ini. Daerah pedalaman,  bisa dikatakan masih terputus dari dunia luar, terisolasi dari peradaban. Bukan mendramatisir tapi justru kenyataannya jauh lebih parah di banding dengan apa yang kalian bisa bayangkan. 

Tahun lalu misalnya, saya dan beberapa teman saya ditugaskan mengantar paket daging ke titik terdalam di kawasan lereng Gunung Semeru, nama desanya aku lupa persisnya. Setau saya desa itu masih terletak di kecamatan Senduro. Didiami oleh masyoritas suku tengger yang kebanyakan dari mereka masih menganut kepercayaan animisme. Suatu fakta menarik ditorehkan para aktivis dakwah yang ditugaskan memperkenalkan Islam di sana. Sejak  beberapa tahun silam pertumbuhan Islam  kian subur dan bahkan kini hampir sebagian dari penduduk telah beralih meninggalkan agama nenek moyang mereka

Akses masuk desa terisolasi, tanpa penerangan dan benar-benar terputus dari dunia luar, dan lucunya kalian tau aku iseng nanya ke salah satu dari penduduk desa perihal negeri kita, dengan polosnya dia menggelengkan kepala, sambil tersenyum menjawab “tidak tahu”. Astaga gumamku. Jangankan perkembangan dunia luar, melihat cahaya lampu di malam hari saja mungkin mereka belum pernah. Ahh... Hidup memang kadang sangat paradoksal, di dunia bagian lain negeri ini para pemimpin negeri kita entah meributkan perkara apa, mereka yang katanya wakil-wakil kita, mereka yang katanya akan memperjuangkan nasib-nasib kita, mereka yang katanya akan ini, akan itu., bla..bla..bla... ah, bosen. Dan sialnya, justru merekalah yang menikmati segala kemewahan hidup, bergelimang dengan fasilitas serba modern dan mungkin tak pernah berpikir ada setitik kehidupan di pelosok negeri ini.

Selasa 15 Oktober 2013
 
     Matahari beranjak matang, angin timur bertiup kencang membawa aroma hujan dari kejauhan sana. Oktober ini Kemarau akan segera berakhir. Suara takbir masih terdengar mendayu-dayu dari balik celah-celah bukit. Baru saja tadi pagi umat Islam merayakan lebaran Iduel Adha atau lebih sering disebut Iduel Kurban, kesibukan yang sama terlihat hampir diseluruh masjid-masjid besar di kota Malang, menyembelih dan menguliti sapi-sapi dan kambing, kemudian di bungkus kecil-kecil untuk dibagikan ke masyarakat banyak. Euforia lebaran tadi pagi masih kental terasa. Aroma daging segar memenuhi udara. Orang-orang tapak lalu-lalang membawa berkantong-kantong daging, kesibukan di sana-sini. Beberapa orang masih tampak bersitegang dengan tengkulak kambing, saling ngotot menentukan harga yang pas. Seperti tahun kemarin, tim ekspedisi kurban kami telah bersiap berangkat menuju lokasi masing-masing. Kali ini tim kami tidak lagi ke lereng Gunung Semeru, melainkan di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kawi. Kalian pasti familiar dengan nama gunung yang satu ini. Konon katanya di gunung ini sering ditempati pesugihan para pencari kekayaan instan.
  Kami mengantar lebih dari 100 kantong daging sapi dan tiga ekor kambing utuh yang telah dikuliti ke sana. Perjalanan sedikit mencekam, dibutuhkan setidaknya tiga atau empat jam perjalanan untuk sampai pada tempat tujuan. Jalanan berliku, tebing-tebing curam, tanjakan dan hutan-hutan pinus menemani perjalanan kami. Perjalanan semakin melambat, beratnya daging yang harus di bonceng ditambah kabut pekat menyelimuti lereng gunung menghambat kecepatan sepeda kami, jarak pandang sangat terbatas. Aroma daging terbakar dari tetesan darah yang kebetulan mengenai knalpot menambah kemistisan perjalanan ini. Berkendara di antara kabut di tengah hutan pinus membuat perjalanan terasa menyusuri dimensi lain belahan bumi ini. Ngeri dan mendebarkan. Lepas Isya kami sampai tujuan, menyerahkan paket kurban ke masyarakat yang sedari tadi menanti kami di sana. Kami disambut hangat oleh warga sekitar. Kepenatan terbayar sudah. Melihat senyum senang penduduk desa, membayangkan nikmatnya gulai kambing yang mungkin hanya bisa dirasakan sesekali ini. Wajah-wajah lugu dan polos anak-anak kecil berlarian di sekitar kami, tertawa riang dan sesekali melirik malu-malu.  Prosesi serah terima daging di laksanakan, sejam kemudian Setelah berbicara satu dua kalimat, kami pamit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, di samping karena tumpukan daging-daging yang tadi sudah berpindah tangan juga ada perasaan bahagia membuncah di dadah menjadikan kendaraan terasa begitu ringan. Ah, betapa sederhananya kebahagiaan itu.
Esoknya kami melanjutkan ekspedisi daging kurban. mengantar beberapa ekor kambing ke daerah Malang selatan, tepatnya di desa nelayan di pesisir pantai Kondang Merak. Desa yang di huni tidak lebih dari 35 kepala keluarga.  Rute ke sana lumayan sulit, beruntung kali ini kita tidak lagi menggunakan sepeda motor sambil membonceng daging-daging di belakang kami. Kami menumpang mobil yang disediakan  yayasan. Dari Malang setidaknya dibutuhkan 2 sampai 3 jam perjalanan. Untuk sampai tujuan kita melewati kebun-kebun tebu penduduk dan terakhir sebelum memasuki pesisir pantai kita melewati jalanan berbatu di tengah hutan-hutan  belantara, kira-kira 10 km jauhnya. Gelap. Sesekali satwa-satwa liar penghuni hutan tersorot lampu mobil, menyeberang jalan.
Azan isya berkomandan persis ketika kami memarkir mobil di halaman tetua kampung. Kami pun memutuskan menunaikan kewajiban kami dulu, menghamba kepada zat Yang telah menganugerahkan kemudahan-kemudahan hidup kepada kami, termasuk kemudahan perjalanan kali ini. Sholat isya berlangsung khidmat. Angin sepoi-sepoi bertiup menerobos dinding bambu  langgar yang terlihat bolong sana sini. Hampir semua rumah di kampung nelayan ini masih belum permanen. Berdinding bambu, beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah.
Setelah sholat prosesi serah terima pun dilaksanakan. Prosesi sederhana, diserahkan secara simbolis yang diwakili tetua setempat. Setelahnya kami disuguhi aneka panganan laut, dari cumi-cumi sampai ikan bakar lezat yang menggiurkan. Tak tahan rasanya tidak segera menghabiskan makanan yang tersaji. Bener saja tak butuh waktu lama makanan yang ikan-ikan tersedia tandas sudah, menyisakan piring-piring belepotan dan tulang-tulang ikan berserakan. 
Malam baru beranjak, kami memutuskan menikmati indahnya malam di pantai sejenak. Setelah kemarin menikmati sejuknya lereng gunung, kini aku duduk termenung di atas hamparan pasir putih di pantai Kondang Merak. Memperhatikan dari kejauhan bulir-bulir ombak yang tiada hentinya bergemuruh, berkejar-kejaran tanpa lelah. Angin pantai berhembus pelan, terasa hangat, sehangat penghuni pesisir pantai ini. Awan pekat menutupi cahaya rembulan yang seharusnya bersinar lembut, suara bergemuruh bersahut-sahutan. Teman-temanku entah ke mana, berlari menelusuri pantai menikmati pijatan lembut pasir-pasir pantai. Aku duduk sendiri. Termenung. Mencoba berkontemplasi, merenungkan berbagai hal yang selama hidupku ini belum bisa kupecahkan, merenungkan kembali perjalanan-perjalanan saya selama ini. Berusaha kembali meraba definisi kebahagian hidup. Dan terakhir aku lagi-lagi harus banyak belajar, belajar tentang banyak hal, terutama pancaran cahaya kebijaksanaan alam yang selama ini terlalu luput kita perhatikan. 


“semoga saja tahun depan masih diberi kesempatan belajar banyak dari perjalanan hidup”


0 komentar:

Sabtu ini seperti sabtu pagi sebelumnya dan juga sabtu pagi sebelum-sebelumnya. Saya selalu menyisihkan waktu khusus ini di Puskot, du...

Ranu Kumbolo: Perjalanan Menaklukkan Hati



Sabtu ini seperti sabtu pagi sebelumnya dan juga sabtu pagi sebelum-sebelumnya. Saya selalu menyisihkan waktu khusus ini di Puskot, duduk manis di bagian pojok belakang. Menghabiskan waktu menjelajahi imajinasi para penulis-penulis buku. Menikmati waktu libur, menikmati duniaku, menikmati kesendirianku dan mengamati fenomena unik para pengunjung Puskot. Selalu saja ada cerita yang berbeda tiap pekannya. Dua sejoli yang memadu kasih diam-diam, takut-takut, malu-malu. Bapak-bapak usia paru baya yang beromatisan ria (hehehhe.. asumsi saya mungkin itu istri muda atau istri barunya). Penjaga perpustakaan yang lalu lalang menata buku, sekali-kali tersenyum sopan kepada para pengunjung. Suara lembut lembaran-lembaran kertas yang dibolak-balik. Celoteh-celoteh tertahan bocah-bocah cilik yang kebetulan diajak orang tuanya berkunjung ke puskot. Semuanya membuat saya kangen, menjadikan tak sabaran menanti sabtu datang lagi, saking kangennya sampai-sampai saya tidak sadar hari ini datang kepagian heehehehe . Pagi ini saya kembali duduk di bagian terbaik di Puskot, duduk di sisi pojok belakang bagian paling aku senangi.
Minggu lalu di puskot ada workshopnya Bang Anwar Fuadi pengarang bukunya negeri lima menara itu (udah aku ceritain kan pada episode sebelumnya). Tapi kali ini bukan tentang Bang Fuadi itu lagi khehe.., kali ini hanya ingin menceritakan tentang perjalanan saya beberapa Minggu yang lalu ke Semeru, pasti pada tau kan Gunung Semeru (itu yang di filmnya 5 Cm, yakin kalian pasti udah pada nonton). Biar lebih jelas, sedikit akan aku ulas tentang Semeru.
Nah.. Semeru adalah gunung tertinggi dan salah satu gunung merapi yang masih aktif di pulau jawa, dengan ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl),. Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang, dengan posisi geografis antara 8°06' LS dan 120°55' BT. Puncak Semeru dikenal dengan nama Mahameru dan kawah di puncaknya di beri nama Jonggring Saloko, menurut legenda Gunung Semeru dipercaya sebagai Bapak Gunung Agung yang berada di Bali. Gunung Semeru juga dipercaya merupakan tempat tinggal atau puncak abadi para Dewa. Mayoritas penduduk di sini masih menganut paham kejawen dan beberapa beragama Hindu dan islam. Maka tak heran ketika kalian berkunjung ke sana, ritual-ritual bernilai budaya dan tradisi-tradisi masa lalu masih kental terasa. Dan itu memberikan eksoktika tersendiri.
Orang pertama yang mendaki gunung ini adalah Clignet (1838) seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda. Hingga kini tak terhitung banyaknya pendaki-pendaki yang telah menaklukkan gunung Semeru ini. Pemandangan dan petualangan yang menakjubkan menyebabkan jalur pendakian ini selalu ramai. Oh iya di sini juga tercatat kisah momentual, Soe Hok Gie, salah seorang tokoh aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, meninggal di Gunung Semeru pada tahun 1969 akibat menghirup asap beracun di Gunung Semeru. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Meskipun demikian denyut di Semeru seperti tak pernah berhenti, tiap saat selalu saja ada yang terpanggil, datang dan datang lagi. Seperti pada hari ini, sabtu 25 september 2013, saya dan segerombolan kawan-kawan saya, turut menorehkan kisah kami disini. Di Gunung Semeru. Kisah tentang perjalanan anak-anak manusia untuk lebih mengenal alam-Nya.
Perjalanan ke Semeru setidaknya membutuhkan waktu 3 sampai 4 hari pulang pergi. Dengan titik tolak awal keberangkatan di Ranu Pani, desa terakhir di kaki Semeru. Kalian bisa ke Ranu Pani dengan menumpang truk sayur atau jip. Dari Malang, mungkin dibutuhkan kurang lebih 3 sampai 4 jam untuk tiba di Ranu Pani. Kami tiba di kaki Gunung Semeru saat matahari malu-malu menampakkan sinarnya dari balik bukit. Pagi, awal yang indah memulai perjalanan. Untuk sampai puncak setidaknya kita akan melewati beberapa titik pemberhentian: Ranu Pani à watu Rejeng à Ranu Kumbolo à Oro-oro Ombo à Kali Mati dan terakhir sebelum sampai puncak Mahamaru, pendaki akan menginap di Arcopodo dan meneruskan perjalanannya menjelang subuh. Menikmati matahari terbit di puncak Mahameru, dataran tertinggi di tanah Jawa.
Dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo perjalanan kami tempuh kurang lebih 4 jam dengan jarak perjalanan +/- 14 km. Dibanding perjalanan saya sebelumnya ke Panderman, menurutku track ke Ranu Kumbolo lebih enak dan lebih landai, menyusuri lereng bukit dan mengikuti track pendakian lumayan mudah. Di sepanjang perjalan kalian akan menikmati indahnya goresan Tuhan, seluet puncak mahameru dari kejahuan, hutan pinus dan cemara, lereng-lereng bukit ditumbuhi edelweis, dan beruntung kami sempat melihat kepulan asap dari puncak Mahameru. Beberapa kali kami break istirahat, setidaknya ada 4 sampai 5 pos peristirahatat yang tersedia. Sepanjang perjalanan, kami sesekali berpapasan dengan pendaki-pendaki yang turun gunung, saling sapa dan saling memberi semangat. Entahlah ada ikatan batin tersendiri yang menyatukan hati-hati para pendaki, membuat suasana terasa lebih akrab.
Matahari beranjak matang, menjelang Dzuhur akhirnya sampailah kami di Ranu Kumbolo. Perjalanan yang melelahkan terbayar sudah. Di depan kami terhampar danau indah dengan air biru kehijau-hijauan. Berada di tengah-tengah bukit, di kelilingi pohon pinus dan cemara, padang sabana terhampar luas. MasyaAllah, Sepotong surga di Indonesia, keindahan semacam apa ini. Kami terdiam, beberapa teman perjalananku terlihat menyeka ujung matanya. Terharu.
Selalu ada rasa bangga, selalu ada rasa haru, ketika kita berhasil berada pada titik tertentu dalam kehidupan kita. Seperti halnya pada hari ini, setelah menempuh perjalanan berjam-jam kini kami di sini. Berdiri bersama rumput, pinus dan kabut. Mengalahkan batas-batas ego, mengalahkan batas-batas rasio. Karenanya sejatinya pendakian bukanlah perjalanan menaklukkan gunung tapi lebih dalam, perjalanan ini adalah perjalanan menaklukkan hati dan aku menamainya perjalanan ini adalah perjalanan cinta.
Dua jam, yah kami di sana memang hanya dua jam, tidak lebih. Dan bagiku itu sudah sangat cukup. Mungkin jika terlalu lama di sana maka keindahannya semakin terasa hambar, hilang rasa spesialnya. Bagiku jauh lebih menyenangkan mengenang sepotong kejadian yang hanya selintas terjadinya. Memberikan cela untuk membayangkan lagi kenangan itu, dan itu akan membuat semakin penasaran saat mengenangnya. Kami memutuskan pulang. Ranu Kumbolo sudah cukup bagi kami. Sedari awal kami memang tidak merencanakan sampai ke puncak Mahameru. Mungkin lain waktu, jika Tuhan memberi banyak kesempatan lagi.
Matahari menua, sayup-sayup suara adzan magrib terdengar dari balik pepohonan. Sepasang kunang-kunang terbang melintas di antara cela-cela ilalang. Bunyi hewan-hewan malam bersahut-sahutan, aroma rumput basah dan sesekali hembusan dingin angin gunung bertiup membawa kabut. Kami akhirnya tiba di desa persis ketika matahari beralih menyinari bagian lain bumi ini. Hari ini cukup sudah. Langkah kaki semakin kaku mungkin pelumas di engselnya habis setelah seharian bekerja terlalu keras menempuh perjalan kurang lebih 8 jam pulang pergi. Astaga.. kalian pernah lihat mumi yang malang di filemnya paraNorman, persis seperti itu. Engsel lutut tak bisa ditekuk, langka tertatih sambil ngangkang, muka super cemong, rambut awut-awutan, aroma menyengat bau kelek., ckckkckc...
Seakan tak cukup terminologi kata untuk menceritakan perjalanan kami ke sana, tak cukup simbol untuk menggambarkan rasa yang mendedah di hati. Biarlah kalian sendiri nanti yang akan menggambarkan rasanya dengan hati. Saat di mana kalian juga menorehkan kisah kalian di sana, meninggalkan sepenggal hati kalian di lereng Gunung Semeru.
1381719197167037381
Saya Axxxr Mxxxxxxr bangga pernah di sini, bersama mereka orang-orang yang berhati baik, orang-orang yang persahabatannya sangat aku hargai, orang-orang yang aku cintai karena Allah. 



NB: Akhir tahun ini merencanakan lagi perjalanan muncak ke Mahameru, menyambut matahari pertama 2014 di sana. InsyaAllah. Bagi yang berminat bareng, silahkan hubungi saya



0 komentar:

Sabtu pagi di puskot.                  Kegiatan rutin yang selama hampir dua tahun terakhir kujalani. Datang lebih awal, menempati su...

Sabtu Pagi di Puskot



Sabtu pagi di puskot.
                Kegiatan rutin yang selama hampir dua tahun terakhir kujalani. Datang lebih awal, menempati sudut paling menyenangkan di perpustakaan ini. Tak disangkah, hari ini ternyata ada workshop penulis muda, pemateri utamanya kereeennn Bang Fuadi,  kalian pasti kenal., ituloh penulis novel terkenal negeri 5 menara -----------> Baaaaaang ane salah satu penggemar novel-novelmu. Tapi maaf bang, mesikupn ane penggemar novel2mu, entah kenapa ane kurang berminat ikut workshop pagi tadi. Mungkin karena masih sebel dengan suatu kejadian., dan itu sangat ada kaitannya dengan novel Bang Fuadi. 2 tahun yang lalu, ketika pertama kali membaca novel bang fuadi "negeri 5 menara", saya langsung terhipnotis. Karena saking terpengaruhnya, saya bahkan rela-relain melakukan survei kebeberapa tempat yang Bang Fuadi sebutkan dalam novel tersbut. Termasuk ke Pondok Madani, Darusalam, Gontor. Sempat beberapa malam menginap di sana, dan merasakan suasana santri yang digambarkan bang Fuadi dalam novelnya. Klimaksanya, saya sungguh terpesona. Menyesal, kenapa dulu tidak pernah terbayang untuk mondok. Mengingat usia saya tidak muda lagi, dan tidak mungkin dimudakan lagi maka saya melakukan "eksperimen human" dan korbannya adalah adik kandung saya sendiri, hehehhe....
Dengan segala cara saya berusaha memaksakan apa yang tidak sempat saya lakukan kepadanya, mendoktrinnya sedemikian rupa, mengiming-imingi keindahan dunia pesantren dan semua yang membuatnya tertarik hehehhe.  Jadilah tamat SD kemarin dia mendaftar di pondok tersebut. Dan kenyatanya sungguh tragis , eksperimenku gagal. Seminggu lalu dia kabur, tak cukup kuat untuk bertahan di dunia yang namanya pesanter. nyesekkk

Kembali kepuskot,
selalu saja menyenangkan, duduk di bagian terpojok perpustakaan ini.
diantara hiruk pikuk pengunjung perpus., gelagat aneh sejoli yang memadu kasih diantara tumpukan buku, suara lembaran-lembaran buku yang dibolak-balik. Memberiku ruang tersendiri untuk menyepi. menyepi bukan berarti kita dalam kondisi sendiri loh....! melainkan merasa sepi dan merasai sepi diantara  keramaian. Kesepian dan kesendirian  memang dua kata yang penggunaannya hampir sama. Sepi merujuk pada hati dan kondisi jiwa, sedangkan sendiri merujuk pada kondisi fisik.
menghabiskan sabtu pagiku disini selalu memberiku ruang untuk membersamai hati, memperlambat laju kehidupan, dan yang paling penting di sini saya merasa sangat hidup.
ah.. andai saja' tiap hari adalah sabtu pagi..


0 komentar:

Mencari keyakinan dalam hati, menunggu dalam diam. Dingin, tegang, entahlah rasanya seperti mules. Pernahkah anda menunggu sesuatu yan...

Interviewku Gagal


Mencari keyakinan dalam hati, menunggu dalam diam. Dingin, tegang, entahlah rasanya seperti mules. Pernahkah anda menunggu sesuatu yang sekiranya akan merubah duniamu ?.  Rasanya.., tegangnya.., Sebalnya.., nervousnya, ketidak sabarannya dan juga harapnya. Inilah saya duduk di kursi deret yang sering berderit gelisah, critt..critt..critt sedikit-dikit mengeluarkan suara mencicit persis gerakan-gerakan resah para penanti-penanti nasib di sini.  Berbagai macam cara kami lakukan untuk meminimalisir nervous. Mencuil-cuil kuku, ngutak-ngatik hp yang sedari tadi sempurna sekali terdiam seakan ikut menertawakan kami. Adapulah yang ber oww-oww ria nggak jelas dengan teman sebelah  yang merasa senasib. Tampak jelas sorot mata kami menyiratkan sesuatu yang sama. Cemas.
“Bagas....!”. Aku tersentak, bapak-bapak botak tiba-tiba saja menjulurkan kepalanya berseru dari balik pintu. Persis seperti kura-kura yang sedang menjulurkan kepalanya keluar dari cangkang sambil melet-melet menjilat sesuatu. Bagas, pemuda di samping saya  yang sedari tadi memainkan tangannya berdiri, bergegas, merapikan bajunya. Pias. Terlihat jelas rona pias di wajahnya, berjalan gontai menuju ruangan sumber suara tadi dan sesekali membenarkan letak dasinya yang entah sudah berkali-kali dibenarkan.  
Ruang tunggu ber-Ac itu terasa semakin pengap. setelah pemuda tadi pastilah giliran nama saya yang dipanggil. Hati saya kecut, keringat dingin membasahi jidatku dan lagi-lagi ingin ketoilet. Beberapa menit berlalu, pemuda yang bernama Bagas tadi keluar, menyapa kami sambil tersenyum merona. Beban beratnya seakan-akan sirna begitu saja, hufss terbawa hembusan angin.
Sempurna sudah, setelah menanti hampir 3 jam menunggu dan akhirnya aku keluar dari ruang interview hanya dalam tempo 5 menit, yah ! hanya 5 menit dan selesai.  Berbalik dan lansung pulang. Kecewa, hampir semua pertanyaan tidak bisa kujawab dengan baik. Entah rasanya seperti apa tidak lagi kupikirkan, bergegas pulang dan tidur sepanjang hari berharap bisa segera menormalkan kembali suhu tubuh saya.
            Malam semakin matang, ketika tiba-tiba sms itu datang. “Pelamar YTH, terima kasih atas atensi anda pada PT XXXX. Dari hasil interview yang anda lakukan, anda dinyatakan gagal. Semoga sukses dilain kesempatan. HRD XXXX. Itulah endingnya setelah sempat berbunga-bunga berhasil menyisihkan puluhan pelamar lainnya pada sesi psikotes kemarin akhirnya aku nyunsep pada tes kedua ini. Menarik napas perlahan. Ah.. belum jodoh, mengurut dada dan berusaha membesarkan hati. Mari coba lagi di lain kesempatan (hehehehhe sambil nyengir baca novel).

0 komentar: