Pagi Berkabut di Langit Mamuju Sabtu sore, 24 Oktber 2015 di Mamuju.  Minggu ke empat aku berada di tempat baru ini. Hujan mulai tu...

Berdamai Dengan Ketidaknikmatan

Pagi Berkabut di Langit Mamuju

Sabtu sore, 24 Oktber 2015 di Mamuju.  Minggu ke empat aku berada di tempat baru ini. Hujan mulai turun, meski hanya tetesan-tetesan kecil. Rasa-rasanya sudah lama sekali kemarau panjang. Entah kenapa saya sangat menyenangi mendengar suara tetesan hujan itu. Suaranya seperti seseorang sedang memainkan musik, merdu sekali. Tetesnya menciptakan irama. tik..tik..tik...  Aku merindukan suara hujan ini, suaranya seakan menarik ku ke suatu tempat yang jauh. Hujan selalu mampu menghipnotis dan meresonasi ingatan masa laluku, membawaku ke tempat yang telah lama orang-orang lupakan.  Hujan membuat orang-orang menjadi lebih romantis.

Tadi pagi saya kembali memulai kebiasaan lamaku, berlari. Di tempatku yang dulu, hampir tiap hari saya melakukan aktivitas ini. Berlari.  Dari kosanku, saya akan berlari ke alun-alun selatan  Jogya. Saya akan melewati toko roti beraroma manis, di perempatan selanjutnya saya akan bertemu seorang kakek yang sedang mendorong istrinya di kursi roda, mereka terlihat begitu bahagia, romantis sekali. Saya tiba-tiba merindukan tempat itu. Saya berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tempat itu. Pasti akan sangat menyenangkan.

Di tempat yang baru ini rasa-rasanya begitu sepi, apalagi di pagi hari buta begini. Saya berlari melewati bukit-bukit gundul menuju jalan utama, tidak ada siapapun sepanjang jalan ini yang kujumpai, hanya beberapa ekor sapi yang menguasai jalan raya. Sungguh ada sekawanan sapi yang dengan asyiknya berbaring di tengah jalan raya itu.

Saya melewati jembatan dengan aliran air yang begitu jernih, sungai panjang ini berkelok  menuju muara, di kedua sisinya berdiri ratusan pohon kelapa menjulang ke langit. Juga sampan-sampan kecil milik nelayan tertambat tak beraturan di pinggir sungai.  Saya suka memandang aliran sungai itu, warnanya biru kehijau-hijauan terlihat begitu tenang. Kalian tahu, air sungai itu memiliki nilai filosofis yang tinggi, seperti ini kira-kira “meski pada akhirnya air dari sungai itu bermuara di laut yang sama tapi setiap mereka membawa kisahnya masing-masing. Seperti kita ini, meski pada akhirnya kita akan kembali ke tempat yang sama, setiap kita punya cerita kehidupan yang berbeda”. Barangkali seperti itu nilai filosifi dari aliran air sungai itu. Itu menurut kesotoyyanku. Hehhee.

Di perjalanan pulang saya melewati rute berbeda. Saya berjalan menyusuri pantai Manakara melewati jalan berdebu sepanjang garis pantainya. Jalanan ini sedang dalam tahap pembangunan, beberapa jembatan juga masih dalam konstruksi. Saya suka melewati pesisir ini. Angin laut berhembus perlahan menerbankan debu-debu ke sembarang arah. Angin laut terasa hangat dan menenangkan itulah mungkin banyak orang yang suka duduk berlama-lama memandang laut. Laut seperti merekam semua hal dalam kehidupan manusia, mengambil segala kepedihannya lalu menenggelamkannya ke dasar samudra. Entah kenapa laut selalu kuanalogikan sebagai lambang kebebasan sejati. Bersama lautan manusia bisa menjadi lebih bebas.

Saya rasa, meski tempat baru ini seperti ini saya akan berusaha menyukainya seperti saya menyukai Malang dan Jogja, dua tempat yang memberiku banyak kenangan manis. Tidak banyak yang istimewa dari tempat ini memang, tapi bagaimanapun juga saya berharap bisa bahagia di sini. Saya pikir di manapun kita nantinya kita tidak bisa benar-benar bahagia sebelum bisa menyesuaikan diri dengan diri kita sendiri. Mari berdamai dengan ketidaknikmatan.

Pesisir Pantai Mamuju
Sungai dengan aliran airnya  yang tenang




0 komentar:

Suatu pagi saya duduk di lobi kantorku. Saya sedang memikirkan tentang sesuatu yang berat, kehidupan dan kematian. Beberapa menit seb...

Kisah Seekor Kecoak.



Suatu pagi saya duduk di lobi kantorku. Saya sedang memikirkan tentang sesuatu yang berat, kehidupan dan kematian. Beberapa menit sebelumnya saya baru saja membaca berita di koran. tentang beberapa orang pendaki yang meninggal terbakar di Gunung Lawu. miris dan menyedihkan.

Pandanganku teralihkan oleh suatu gerakan di lantai,  sekitar setengah meter dari kakiku. Seekor kecoak. Hewan itu tergeletak dalam posisi terbalik, kaki-kaki kecilnya meronta-ronta sia-sia.  Saya memalingkan wajah, namun kedua mata saya kembali tertuju ke mahluk kecil  yang berada dalam keadaan menyedihkan itu.

Aslinya saya salah satu tipe manusia yang kurang bisa bersahabat dengan hewan bernama kecoak ini, beda dengan si Juki yang punya piaraan kecoak namanya coro, tau kan si Juki. Komik yang lumayan terkenal di webtoon itu. Meskipun demikian saya mempertimbangkan beberapa pilihan untuk mengambil tindakan atas nasib malang kecoak tersebut. Pertimbangan pertama menginjaknya dan melepaskannya dari penderitaan, yang kedua mengabaikannya dan pura-pura tidak melihatanya dan pertimbangan terakhir saya bisa menyelamatkan nyawanya, seekor serangga memang, tapi tetap merupakan nyawa.

Saya memutuskan untuk mengambil pilihan ketiga, saya melangkah ragu-ragu menuju ke kecoak malang tersebut. Menendangnya dengan lembut.  shuttt.... kecoak itu terlempar sekitar tiga meter dari kakiku, masih terjungkir balik. Kaki-kaki kecilnya masih meronta-ronta. ah gagal.. fikirku,. Sudahllah, saya kemudian mengabaikannya.  saya rasa tidak ada kaitannya antara kehidupan kecoak itu denganku. Saya berjalan meninggalkannya.

Beberapa menit kemudian diliputi rasa penasaran saya kembali ke tempat kecoak tersebut, dan sialnya saya masih menemukannya dalam kondisi seperti semula, semakin melemah. Kali ini kembali kutendang kecoak itu dengan lembut. Shut.. dan berhasil, tubuh kecoak itu terpental beberapa meter, terbalik dan segera berlari meninggalkanku. Dia menghilang dibalik lemari tanpa mengucapkan terimakasih kepadaku. Rasanya menyenangkan, saya menyelematkan satu nyawa, meski hanya seekor kecoak tapi itu tetap satu nyawa.

Keesok hari, saya kembali menemukan kecoak itu terjungkir balik di lobi kantorku dan saya sangat yakin kecoak yang terjungkir balik ini adalah kecoak yang sama yang kutemukan kemarin. Anehnya saya tidak lagi merasa harus menyelamatkannya. Saya menginjaknya. membebaskannya dari penderitaan, dan dia mati. Entah mengapa saya merasa lega, mungkin karena berpikir kecoak itu tidak lagi akan merasakan penderitaan yang sering dia rasakan selama ini, terjungkir balik.  Mungkin dia akan tenang di sana.

Kematian mungkin memang seperti itu, hanya seperti selaput tipis yang begitu gampang disebrangi. Seperti kecoak tadi, dia tidak pernah menyangka akan berakhir di kaki orang yang telah menyelamatkan hidupnya sebelumnya.

Bukan hanya kecoak, manusia pun seperti itu, pagi ini mungkin saja kita masih bisa menghirup udara bebas, tapi siapa yang menjamin beberapa jam kemudian kita masih berada dalam kondisi yang sama. Kita bisa tiba-tiba saja mati.

Kembali berbicara tentang kematian. Saya tidak pernah merasa takut mati di usiaku kini. Dulu saya selalu berfikir mungkin saya akan meninggal di usia mudaku. seperti Soe Hok Gie, salah satu tokoh pavoritku. Manusia pada umumnya ketika berfikir tentang kematian, mereka akan memikirkan banyak hal yang kemungkinan belum sempat mereka lakukaan. Ambis-ambisi besar mereka yang belum tercapai, anak-anak mereka yang belum bisa mandiri dan berbagai persoalan-persoalan lainnya, yang justru membuat mereka akan semakin gelisah dan takut akan kematian itu. Menurutku begitu kita mati, maka tugas dan kewajiban kita di bumi sudah berakhir, kita tidak lagi perlu memusingkan hal-hal seperti itu. Kita terbebas. Kita berpindah ke kehidupan yang lain, ke tempat dimana semua manusia akan kembali,  ke kehidupan yang lebih abadi. Kita mati.




0 komentar:

Mt. Papandayan 2.665 mdpl Saya duduk termenung di depan perapian, gugusan bintang terlihat begitu mempesona, ratusan ribu b...

Salam Perpisahan dari Papandayan




Mt. Papandayan 2.665 mdpl



Saya duduk termenung di depan perapian, gugusan bintang terlihat begitu mempesona, ratusan ribu berkelap kelip sangat cantik, tapi kalian tahu bintang tak pernah secantik tampaknya, tak pernah sedekat yang bisa kita bayangkan, mata kita selalu tertipu. September ini angin gunung  terasa begitu dingin, kayu terbakar habis begitu cepat. Jaket tebalku semakin kukencangkan. Jam 10. 30 pm, saya masih betah duduk di depan perapian ini. Sendiri. Teman-temanku sudah nyaman bergemul dibawa sleeping bagnya masing-masing. Menghalau dingin. Saya selalu menyukai momen-momen seperti ini, bisa berkontenplasi, bisa lebih dekat dengan alam,  hidup terasa begitu bebas.

Kami mendirikan tendah di area pekemahan Gunung Papandayan, Pondok Saladah. Kami sedang melakukan pendakian ceria di Gunung ini. Gunung yang memiliki ketinggian hanya 2.665 mdpl ini. Gunung ini berada di wilayah Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Area camping ground ini telihat sepi, tidak banyak pendaki yang melakukan pendakian  akhir pekan ini. Mungkin karena kebakaran dahsyat minggu lalu, ratusan hektar hutan hangus terbakar, juga berhektar-hektar bunga edelweis yang menjadi  daya tarik gunung ini hampir tak bersisa, semuanya terbakar hangus. Entah berapa banyak tanaman dan satwa endemik juga ikut terbakar.

Papandayan layaknya Prau di Wonosobo, cukup bersahabat untuk pendaki pemula. Tidak membutuhkan usaha yang begitu keras untuk menapak puncaknya. Banyak fasilitas di atas sana, tidak perlu bersusa payah membawa bekal yang memberatkan pendakian. Ada beberapa warung di sana. juga pasilitas toilet dan musollah sederhana. Pendaki sangat dimanjakan di pondok Salada. Pendakian di gunung ini hampir tidak pernah sepi. 

Di titik awal pendakian kita akan melewati kawah belerang yang berbau sangat menyengat, titik awal pendakian ini terbilang cukup menyiksa. Aroma beleran begitu menyengat ditambah hawa panas pegunungan menjadi tantangan awal para pendaki. Setelah titik ini kita akan melwati jalur treking berdebu dan area hutan  pohon cantigi dengan rantingnya yang menyebar ke mana-mana. Bagian ini adalah bagian yang sangat kusukai dari pendakian papandayan ini, hutan hoomgen ini tampak begitu berbeda dibawa sinar matahari. Kesan eksotis dan sedikit menyeramkan begitu terasa, apa lagi saat senjahari, saat matahari hampir tenggelam menyebabkan bayangan hutan lebih gelap.


Selain traking dan pemandangan selama jalur pendakian yang indah, Papandayan juga terkenal dengan hutan matinya. Hutan mati jaauh lebih eksotis, ratusan pohon-pohon cantigi  mati yang hangus terbakar begitu terlihat berbeda. Konon dulu katanya hutan mati ini lebih lebat lagi, lebih banyak pepohonan bekas terbakarnya, tapi seiring semakin banyaknya pengunjung yang datang area hutan mati ini pun semakin berkurang. Sejengkal demi sejengkal, sebatang demi sebatang. hampir punah. Begitulah alam, manusia datang tanpa sadar membawa perubahan. Manusia  menginginkan alam berubah sekehendak hatinya, bukan malah sebaliknya belajar banyak hal pada alam.

Di sisi lain hutan mati ini ada jurang yang mengaga dengan asap belerangnya yang cukup tebal, tanah kapur putih begitu kontraks dengan pepohonan yang hangus terbakar, bunga-bunga edelwais yang belum mekar sempurna juga tanaman perdu di sekeklilingnya.  Hembusan angin utara menerbangkan debu-debu pegunungan yang berwarna putih kelabu. Warna debu-debu bebatuan kapur.



Papandaya kurasa sebagai titik akhir pendakianku. Cukup sudah, saya tidak lagi ingin menambah daftar panjang manusia-manusia yang datang dan merubah alam. Cukup sudah keinginan-keinginan itu. Aku akan mulai mencintai alam dengan caraku, dengan tidak mengunjungi, membiarkan alam dengan kisahnya sendiri. Pendakian ini memberiku banyak pelajaran berahrga, bahwasanya tidak semua hal yang kita anggap baik ternyata memang baik. Nyatanya Papandayan habis terbakar oleh orang-orang yang mengaku mencintai alam. Ratusan hektar hilang hangus terbakar api. Hamparan edelweis yang indah itu hampir tak bersisah, juga pepohonan-pepohonan yang cantik itu. Apa lagi yang kita banggakan sebagai pecinta alam. Bagiku cukup sudah.






sudah kuucapkan selamat tinggal pada bebatuaan dan rerumputan
juga pada pepohonan yang bernyanyi riang diterpa angin
Sudah kuucapkan selamat tinggal pada ribuan bintang dilangit 
yang begitu indah menatapnya dari ketinggian
juga pada dinginnya malam dan pada tetesan embun dipagi hari.
selamat tinggal.. selamat tinggal
a_m





terimakasih untuk teman-teman dari @Postualang
untuk kebersamaannya yang singkat
Perjalanan mempertemukan persaudaraan
Papandayan September 2015

5 komentar:

“Hidup itu menyedihkan. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain di sini, saling menyapa dan berkelana b...

“CATATAN AKHIR DIKLAT”




“Hidup itu menyedihkan. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain di sini, saling menyapa dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu kita saling kehilangan dengan cara yang sama mendadaknya”
D_S

Barisan putih hitam terlihat rapi. Derap langkah kaki terdengar kompak. Kiri kanan, kiri kanan, kiri kanan. Jika kalian mengira kami peserta gerak jalan tujuh belasan atau  mahasiswa baru yang lagi dipelonco senior. Kalian keliru.  Kami adalah CPNS peserta diklat JFP dan ATY BPK RI tahun 2015. Rutinitas baris berbaris ini salah satu rutinitas pagi yang harus kami jalani. Setiap pagi. Berbulan-bulan.

Rasa-rasanya September datang begitu lama. Akhir bulan ini rangkaian diklat yang panjang ini akan segera berakhir. Setelahnya kami akan disebar ke seluruh penjuru negeri ini, dari Sabang hingga Papua sana. Mengabdi untuk negeri. Menjadi pemeriksa, auditor negara. Seperti mars BPK yang hampir tiap hari kami nyanyikan.
 
Menjadi seorang auditor bukan perkara mudah, bukan hanya seleksi masuknya yang sangat ketat, selain itu banyak rangkaian diklat yang harus kami lewati. Rangkaian Diklat yang sering kali terasa melelahkan dan menjenuhkan. Bayangkan saja, setiap hari kami harus duduk di kelas hampir 8 jam lamanya. Menyimak berbagai macam ilmu yang dijejalkan ke otak-otak kami. Tugas dari instruktur yang seakan tiada pernah ada habis-habisnya, evaluasi pekanan dan berbagai macam rutinitas yang menjadi kewajiban kami sebagai peserta diklat. Dan juga kami harus menjalani latihan disiplin dari pembina-pembina TNI, dari kami bangun hingga bangun lagi dengan berbagai aturan baris berbarisnya.  Melelahkan bukan.

Tapi, dibalik semua kelelahan itu ada banyak hal yang akan kita rindukan di tempat ini. Momen-momen persahabatan, momen-momen saat harus berebut kursi di kelas, atau saat menjahili teman angkatan yang tertidur di kelas atau saat-saat harus antri di ruang makan, atau ketika menghadapi kenyataan nilai hasil ujian keluar menyakitkan alias “HER”. Ujian SPKP yang gampang-gampang susah, nasi goreng Kang Amin, suara-suara aneh tengah malam di lantai 4, bahkan suara cempreng sempritan peluit pembina yang selalu membuat jantung berdetak sedikit lebih kencang tiap kali mendengarnya.  Semuanya akan jadi kenangan yang indah dan suatu hari nanti kita akan tersenyum mengingat masa-masa seperti ini.

23 September 2015, diklat yang panjang ini akhirnya berakhir. Setelah berbulan-bulan kita bersama, berbagi cerita, berbagai kejenuhan, berbagi ranjang, berbagi kamar mandi dan kini semuanya tiba-tiba harus berakhir. Betapa menyesakkannya. Kini aku harus mengucapkan selamat tinggal. Bagaimanapun juga waktu selalu berkosokbali. Kita tidak mungkin untuk berada di sini selamanya. Kita akhirnya harus menemukan petualangan-petualangan kehidupan kita yang lain, di tempat penempatan kita nanti.

Banyak cerita Di tempat diklat ini. Di sini kita telah di tempa, pondasi kita  dibentuk, akar kita diperkokoh, agar kelak bisa menjadi penopang yang cukup kuat menghadapi berbagai macam ujian di luar sana. Mungkin di sini kita ibarat pohon bambu cina. Kalian tahu bagaimana bambu cina itu bisa  tumbuh bermeter-meter menjulang tinggi ke langit. Bambu cina tumbuh dengan cara berbeda. Bambu cina melalui proses yang begitu lama, bukan sebulan dua bulan. Bertahun-tahun.  Sebelum bertumbuh, sang bambu cina mengokohkan akarnya selama rentang waktu tertentu memastikan kekokohan pondasi-pondasi yang akan menopang kekuatan batangnya kelak.

Mungkin kita ibarat pohon bambu cina tadi, kita harus memiliki akar yang kuat, agar kelak mampu menopang batang yang menjulang tinggi. Agar mampu bertahan melawan sekeras apapun angin berhembus. Kehidupan di luar sana tidak akan pernah mudah, banyak hal yang  jauh lebih berat yang akan kita hadapi nanti. Saya rasa rangkaian diklat ini adalah cara kita untuk membangun pondasi dan akar yang kuat tadi, yang  dengannya kita akan mampu melewati sekeras apapun ujian hidup auditor itu.

*terimakasih untuk semuanya.


0 komentar:

" Aleph adalah suatu titik di mana apapun berada pada ruangan waktu yang sama. Saat mengalami Aleph kita akan melihat banyak hal...

Aleph: Suatu Titik di Mana Apapun Berada Pada Ruangan Waktu yang Sama



"Aleph adalah suatu titik di mana apapun berada pada ruangan waktu yang sama. Saat mengalami Aleph kita akan melihat banyak hal dalam waktu yang bersama, Paulo menuliskan ia melihat gajah di Afrika, unta di gurun, orang-orang bercengkraman  di bar di Buenos Aires, anjing menyeberang jalan, kuas yang dipegang oleh wanita yang sedang menyelesaikan lukisan bunga mawar, salju meleleh di atas gunung di Swiss, Biarawan menyanyikan lagu pujian yang eksotik, peziarah tiba di katedral  di Santiago de Compostela, gembala dengan domba-dombanya, tentara yang baru terbangun dan bersiap untuk perang, ikan di samudera, kota dan hutan di dunia. Seolah-olah ada pintu-pintu yang terus membuka".

Di jagat perbukuan, siapa yang tidak mengenal Paulo Coelho, Penulis berkebangsaan Brazil yang telah menelurkan banyak karya fenomenal. Salah satu karya terbaiknya yang pernah saya baca adalah Sang Alkemis. Buku-bukunya telah terjual lebih dari 130 juta copy di berbagai negara dan konon katanya telah diterjemahkan ke dalam 72 bahasa.

Aleph karya teranyar si Paulo berusaha untuk kuselesaikan Minggu ini. Meskipun mengaku penggemar Paulo entah mengapa beberapa tulisannya tidak bisa kucerna dengan baik mungkin karena bukunya kadang terlalu persenol, terpengaruh cara pandangnya terhadap keyakinannya .  Jadinya saya yang tidak seiman dengannya kadang harus mengerutkan dahi untuk memahami buku-bukunya, termasuk buku Aleph ini.

Buku Aleph ini menceritakan kisah Paulo sebagai tokoh utama yang sedang labil. Ia terus mempertanyakan kepercayaannya dan sudah mencapai titik jenuh dalam hidupnya. Dia terjebak dalam rutinitas.  Kenyataannya pada titik tertentu kita pernah merasakan seperti yang Paulo rasakan. Kekeringan iman. Aktivitas ibadah yang selam ini kita lakukan kadang terasa hanya seperti rutinitas semu. kering tanpa makna. Paulo melakukan perjalanan panjang ke Rusia (Trans Siberia) untuk kembali menemukan cahaya iman itu, menyirami hati yang mulai tandus.

titik air hujan di jendela
Picture by me
Aku suka bagian itu. saat Paulo memutuskan untuk spontanitas keluar dari zona nyamannya. Seperti prinsip hidupku, bepergian sejatinya hanyalah jalan untuk menemukan jalan pulang. Juga, saya suka saat Paulo mengibaratkan kehidupan seperti kereta. Menurutnya “Kehidupan adalah kereta api, bukan stasiun”. Sejatinya kita berada dalam kereta yang sama yang membedakan hanyalah pada titik mana kita akan berhenti, di stasiun mana cerita kita akan berakhir.

Meskipun demikian ada beberapa hal yang tidak terlalu kusukai di buku ini. Awalnya saya pikir buku ini seperti buku-buku travel wraiter lainnya. Seperti triologi buku Agustinus Wibowo atau penulis  buku-buku travel lainnya. Saya memahami buku ini sebagai non-fiksi, seperti sebuah  catatan pengalaman namun kenyataannya banyak konsep-konsep yang tidak masuk akal yang di jejalkan  Paulo. Harusnya saya menganggap ini sebagai buku fiksi yang tidak terlalu serius menanggapinya jadinya saya tidak sekecewa ini.

Selain itu  banyaknya penokohan karakter pendukung yang tidak terlalu kuat, Paulo seakan-akan hanya ingin memonopoli setiap bagian dari adegan dari buku ini.  Banyak detail-detail yang seharusnya akan bisa lebih menarik jika sekiranya Paulo berkenang sedikit memberikan porsi lebih untuk hal-hal itu dilewatkan begitu saja.


Tidak cukup banyak potongan cerita yang mampu  membuatku bertahan lama-lama membacanya, rasanya datar,tidak seperti membaca karya-karya Paulo lainnya. Meskipun demikian Paulo tetaplah Paulo,  selalu mampu menyisipkan kutipan-kutipan yang kadang membuat kita meleleh dalam setiap potongan kisah di novel-novelnya. berikut beberapa potongan kutipan yang menurutku sangat inspiratif.

  • Kau harus pergi agar bisa kembali ke masa sekarang.
  • Kau mulai sadar bahwa jauh di bawah alam bawah sadarmu ada seseoraag yang jauh lebih menarik, penuh petualangan dan lebih terbuka pada dunia serta pengalaman-pengalaman baru.
  • Segala sesuatu yang pernah dan akan kau alami berada pada saat ini.
  • Pahamilah apa yang terjadi dalam dirimu dan kau akan memahami apa yang terjadi dalam diri semua orang lain.
  • Aku tidak ingin pergi karena aku tidak tahu ke mana aku harus pergi.
  • Saat perasaan tidak puas itu menetap, itu berarti perasaan itu ditempatkan oleh Tuhan karena satu alasan saja: kau perlu mengubah segalanya dan maju.
  • Setiap kali aku menolak mengikuti takdirku, hal yang luar biasa sulit untuk dihadapi akan terjadi dalam hidupku.
  • Saat menghadapi kehilangan dalam bentuk apa pun, tidak ada gunanya berusaha memperbaiki apa yang sudah terjadi; lebih baik memanfaatkan celah besar yang terbuka di depan kita dan mengisinya dengan hal yang baru.
  • Kita selalu mengartikan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan dan bukan sebagaimana mereka sesungguhnya.
  • Semua orang menyumbangkan satu kata, satu kalimat, satu gambar, namun pada akhirnya semuanya masuk akal: kebahagiaan satu orang menjadi sukacita untuk semua.
  • Orang bilang, sesaat sebelum maut menjemput, masing-masing dari kita memahami alasan keberadaan kita yang sebenarnya, dan dari momen itu, surga atau neraka lahir.
  • Neraka adalah saat kita menoleh ke belakang dalam waktu dan menyadari bahwa kita telah membuang kesempatan untuk menghargai mukjizat kehidupan. Surga adalah ketika kita mampu berkata: Aku membuat banyak kesalahan, tapi aku bukan pengecut. Aku menjalani hidupku dan melakukan apa yang perlu kulakukan.
  • Itukah yang kucari? Kehidupan tanpa tantangan?
  • Tidak ada kehidupan yang lengkap tanpa sentuhan kegilaan.
  • Kejahatan apa pun bukan sepenuhnya tanggung jawab si pelaku, melainkan tanggung jawab semua orang yang menciptakan kondisi-kondisi sehingga tindak kejahatan itu dapat terjadi.
  • Tak seorang pun menjadi nabi di daerahnya sendiri.
  • Dalam hutan berisi seratus ribu pohon, tidak ada dua daun yang sama.
  • Tindakan-tindakan kecil sehari-hari inilah yang membawa kita semakin dekat pada Tuhan, sepanjang aku bisa menghargai setiap tindakan tersebut dengan sebaik-baiknya.
  • Tinggalkanlah kehidupanmu yang nyaman dan pergilah mencari kerajaanmu.
  • Hidup berarti mengalami berbagai hal, bukan hanya duduk-duduk dan memikirkan makna hidup.
  • Waktu bukanlah pita kaset yang bisa digulung atau diputar kebelakangg.
  • Jangan pikirkan apa yang akan kauceritakan pada orang-orang nanti. Waktunya kini dan sekarang. Manfaatkan sebaik-baiknya.
  • Satu-satunya hal yang bisa kita capai dengan membalas dendam adalah membuat diri kita sama dengan musuh-musuh kita, sementara dengan memaafkan menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasan.
  • Kalau kau menghabiskan terlalu banyak waktu berusaha mencari tahu kebaikan atau keburukan orang lain, kau akan melupakan jiwamu sendiri dan akhirnya kelelahan serta dikalahkan oleh energi yang kauhabiskan untuk menghakimi orang lain.
  • Kalau ingin melihat pelangi, kau harus belajar menyukai hujan.
  • Apa kau percaya pada dunia spiritual, semesta paralel, dimana waktu dan tempat abadi dan selalu berada pada momen kini.
  • Apa yang kau butuhkan untuk bisa menulis? Mencintai. Seperti kau mencintai istrimu.
  • Para pemimpi tidak pernah bisa dijinakkan.


0 komentar:

Orang-Orang Baduy Dalam Aku hampir-hampir saja melupakan kesenangan corat-coret di walk blogku ini. Diklat berbulan-bulan ini sunggu...

Baduy Dalam: Perjalanan Kembali ke Alam

Orang-Orang Baduy Dalam
Aku hampir-hampir saja melupakan kesenangan corat-coret di walk blogku ini. Diklat berbulan-bulan ini sungguh membuatku jenuh, rutinitas yang dulu sangat kutakutkan akhirnya harus kujalani, kutelan bulat-bulat. Aku akhirnya terjebak dalam rutinitas dunia kerja yang monoton itu. Sesuatu yang dulu sangat kuhindari. Pilihanku untuk terus menerus menjadi manusia bebas akhirnya terbentur dengan banyak realitas yang menyakitkan.  Hidup kenyataannya bukan untuk diri kita sendiri. ada banyak hak-hak orang lain yang ikut ambil bagian dan harus ditunaikan, yang patut kusadari sekarang adalah semoga di jalan ini orang tuaku ridho padaku dan akhirnya juga membuat Tuhanku ridho padaku.

**********

Rasanya sudah lama sekali saya tidak melakukan perjalanan-perjalanan panjang yang menyenangkan. Terakhir kemarin perjalanan yang menyenangkan beberapa bulan yang lalu ke Dieng Palteu, Negeri pada dewa. tempat yang sangat indah.  Hari ini aku akhirnya kembali menemukan  kebebasanku. terkungkung ditempat diklat berbulan-bulan membuatku seperti menjadi sampah tak berguna. 

Sabtu pagi di satisun tanah abang, saya berdiri cemas menunggu teman trip yang juga belum terlihat batang hidungnya. Dari 10 orang yang berjanji akan mengikuti trip ini, baru 4 orang yang terlihat batang hidungnya. Pada detik-detik terakhir sebelum kereta berangkat barulah kami semua akhirnya berkumpul, kebiasaan ngaret orang Indonesia. Hehhehe.

5 menit lagi kereta yang akan mengantarkan kami ke stasiun Rangkas Bitung akan berangkat, kami baru saja memasuki gerbong 6. Ada Kang Deden dan Teh Sapta yang akan menjadi tur leader kami. Ada Mbak laila, Nur, Bang Sugeng, Mbak Rini dan beberapa nama lain yang tidak semuanya sempat kuingat. Perjalanan menuju Baduy dalam bermula dari stasiun Rangkas Bitung. Dari sini kita akan menuju desa Baduy luar. Kira-kira 1,5 jam perjalanan dengan transfortasi umum. Dari desa Baduy Luar ini kita memulai perjalanan menuju Baduy dalam. mendaki gunung melewat lembah, sungai mengalir indah ke samudra (hey ninja hatori). ehhehehheheh

Kami melewati beberapa aliran sungai-sungai kecil berair jernih, juga ladang-ladang penduduk yang baru saja di bersihkan, bekas sisa lahan terbakar masih begitu jelas, asap tipis masih terlihat di mana-mana. Juga sebuah danau yang tenang dikelilingi pohon nipa. Kami juga melewati beberapa perkampungan penduduk Baduy luar. anak-anak kecil malu-malu mengintip dari balik pintu beberapa terlihat berlari-lari kecil bermain di halaman rumah yang tak begitu luas. Tempat ini begitu tenang, begitu damai.  Pohon-pohon tua menjulang tinggi, dahannya menggantung rapuh. Udara pegunungan yang bersih.

Kami berjalan hampir 4 jam lamanya,  awalnya kupikir perjalanan menembus Baduy dalam ini hanya seperti perjalanan menemukan Sempu Segaraanakan di tengah pula di sendang biru Malang itu. ternyata aku keliru, perjalanan menemukan desa Baduy dalam ini sama saja seperti perjalanan menuju puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl beberapa kali kami harus melewati tanjakan yang tidak bisa dibilang mudah. melelahkan.

Kami akirnya menginjakkan kaki di desa Baduy dalem tepatnya di desa Cibeo, salah satu
perkampung baduy dalam.  Demograpi desanya hampir mirip dengan desa-desa Baduy luar sebelumnya. Rumah-rumah dengan ukuran yang hampir sama,  berjejer rapi. rumah pu'un (sebutan untuk kepala suku) telihat lebih mencolok dipojokan sendiri. Penduduk desa menyambut kami begitu ramah. tersenyum sopan. kami menginap di rumah salah satu penduduk desa yang juga sebagai guide kami dari desa Baduy luar tadi. Aku suka tempat ini, rumah-rumah tua, perkampungan tua dikelilingi hutan-hutan yang tak kalah tuanya, dengan pohon-pohonnya yang menjulang tinggi yang sama tuanya, hutan tua lusuh ini tampak begitu berbeda di bawah sinar matahari senja.

Suku Baduy telah mendiami tempat ini dari beberapa dekade yang lalu denganberbagai macam riwayat dan kisahnya. Saya tidak tahu, apakah aku harus menyarankan kalian harus berkunjung ke sini atau tidak. Bagiku tempat ini begitu berbeda  mengamati desa ini seperti mengamati paradoks sosoial yang begitu nyata. Entahlah, sesuatu berkecamuk di dadaku, antara miris, senang, syukur dan bahagia semuanya bercampur. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai suku Baduy, seperti halnya tidak banyak gambar yang bisa diabadikan di tempat ini.  Sudah cukup banyak literatur mengenai Suku Baduy ini. Saya hanya akan melihat dampak lain ketika suku ini akhirnya terkontaminasi. apa yang akan terjadi dengan suku ini. Aku takut, akhirnya tradisi yang mereka pertahankan selama ini perlahan-lahan akan luntur, bukankah kita meninggalkan modernitas untuk kembali ke alam.

Aku takut suatu hari nanti, karena mereka terlalu sering bersinggungan dengan moderintas akhirnya mereka terkontaminasi seperit Baduy luar, dan pada akhirnya akan seperti kami.  Saya takut tradisi yang telah terjaga beratus-ratus tahan lamanya ini akhirnya akan punah, dengan semakin banyaknya pengunjung, apakah mereka mampu bertahan, apakah mereka masih bisa untuk terus menerus berada di ruang isolasi itu.  Masih bisa terus menerus bertahan untuk tidak mengenakan alas kaki dan transportasi. Masih bisa bertahan untuk tidak tertarik menggunakan pakaian selain hitam putih yang selama ini mereka kenakan. Saya rasa 30-50 tahun ke depan tradisi suku ini perlahan-lahan akan punah.  Di satu sisi mungkin baik bagi mereka, tapi di sisi lain kita akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga itu. ironi.

Aku selalu menyukai perjalanan-perjalanan seperti ini, perjalanan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi, melihat berbagai hal yang belum kuketahui. Aku berharap perjalanan-perjalanan seperti ini akan membimbingku untuk menemukan kebijaksanaan hidup, kedamaian pikiran, serta kesadaran akan realitas yang kasatmata maupun yang tidak yang selama ini selalu kucari.


8-9 Agustus 2015
bersama teman-teman dari Postualang

Kampung Baduy Luar


Kampung Baduy Luar


Wefie dengan orang baduy Dalam



0 komentar:

Aku rindu, tapi pada siapa ? ada masanya hati menjadi kosong, merapuh. tiba-tiba saja petal-petal kenangan masa lalu berlari-l...

Aku Rindu


Aku rindu, tapi pada siapa ?
ada masanya hati menjadi kosong, merapuh.
tiba-tiba saja petal-petal kenangan masa lalu berlari-lari di depan mata
seseorang yang pernah hadir sekelabat, malam ini  datang menyapa
dia bertanya "hei apa kabarmu"
aku tertunduk sepi "aku masih saja di sini" jawabku.
belum bisa melabuhkan hatiku di dermaga-dermaga baru
nyatanya ada banyak hal yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu



Jakarta, 00.00, 1 agustus 2015.
by A_m

0 komentar:

Klenteng Sam Po Kong kita selalu menjalani dua cerita kehidupan. kehidupan yang kita jalani dan kehidupan kita yang diceritakan orang...

Semarang Riwayatmoe Doeloe (Bag: 2)


Klenteng Sam Po Kong

kita selalu menjalani dua cerita kehidupan. kehidupan yang kita jalani dan kehidupan kita yang diceritakan orang lain  


9 Juli 2015, Hari ke 22 di bulan Ramdhan, Minggu ke sekian di tempat Diklat ini, "Pulang" satu-satunya hal yang bisa kupikirkan sekarang ini. tak lagi ada yang bisa kupikirkan selain kata pulang itu. Tidak nilai praktikum auditingku yang terancam her atau rapelan gajiku yang hingga kini tak juga kunjung menghiasi rekeningku.  Kenapa harus pulang ? karena saya tahu, di sana di rumahku, seseorang yang selalu kupanggil ibu juga sedang merindukanku.

Diklat yang melelahkan, berbulan-bulan ini membuatku lalai mengunjungi blog kesayanganku ini, ada berbagai hal yang terlewatkan yang tidak sempat kutuliskan di sini. Kita sungguh akan melalui banyak hal dalam kehidupan kita. berbagai hal yang bahkan mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran kita. oh iya, kalian tahu, Jakarta adalah salah satu tempat yang tidak pernah kutulis dalam jadwal tempat-tempat yang harus dan akan kukunjungi, tapi takdir selalu menulis kisahnya sendiri dan kita dipermainkannya. Saya kini harus berusaha menerima Jakarta, seperti aku menerima Makasar, Malang dan Jogjakarta. Semoga kita bisa berdamai

Oh iya, ini lanjutan catatan perjalananku ke Semarang yang baru sempat kulanjutkan.

*********************************************************************************

Semarang memang bukan kota wisata layaknya Jogja, tapi bukan berarti tidak ada hal-hal menarik yang bisa anda temui disana. Ada banyak tempat yang cukup menarik untuk anda kunjungi di Semarang ini, termasuk diantaranya Lawan Sewu, Klenteng, Masjid Agung dan Kota Lama.

Hari pertama di semarang saya hanya sempat mengunjungi Lawan Sewu dan Klenteng Sam Po Kong. Tentang Lawang sewu sudah kutuliskan pada tulisanku sebelumnya kan. Dari lawang Sewu saya menuju ke Klenteng dengan taksi tarif 15.000. Tidak banyak hal yang istimewa di Kelenteng ini, sebagaimana umumnya Klenteng selalu penuh dengan ornamen-ormnamen yang berwarna cerah. Klenteng ini berwaran merah cerah dengan banyak patung-patung naga yang menghiasi tempat ini. Juga sebuah patung berdiri dengan gagahnya, patung laksamana Chen Ho yang terkenal itu. kalian tahu siapa laksamana Ceng Ho itu kan ? tidak perlu kuulas di sini. Menjelang malam, saya memutuskan untuk pulang ke penginapan, beristirahat sejenak, mandi dan sholat.  

Malamnya saya menyusuri kota lama semarang, dari penginapanku hanya dibutuhkan kira-kira 15 menit jalan kaki untuk sampai ke tempat ini. Kota lama semarang merupakan kawasan yang cukup luas dengan berbagai keunikan-keunikannya. saya mengelilingi kota lama yang eksotis unu menumpang pesva modifikasi dengan penumpang duduk disampingnya. biar terkesan semakin jadul.

 Ada beberapa stand-stand penjual berbagai macam barang antik. berjejer rapi dengan tenda-tenda yang  terang temarang. berbagai macam hal di jual disana, koin-koin kuno, majalah-majalah dan buku-buku lama, mainan-mainan yang sempat tren di era 80 dan 90an. mengunjungi tempat ini seperti membawaku ke masa-masa kecilku.

Puas berkeliling saya menikmati hidangan
malam di Restocafe, letaknya dibelakang pameran barang-barang antik di samping gereja tua. suasananya kafe ini terbilang romantis, lilin-lilin di dalam gelas bening dengan airnnya yang berwarna biru mengeluarka aroma wijen yang hangat menenangkan. ornamen-ornamen yang terlihat begitu tua, musik klasik, kursi dan meja yang tak kalah tuanya, beberapa pajangan senjata yang hampir kalah dimakan usia. Sebuah rangka mobil berwarna coklat kusam berkarat dengan kaca jendalanya yang entah kemana dipajang rapuh dipojokan. Tembok-tembok dengan catnya yang terkelupas, memperlihatkan batu bata berwarna merah redup tua termakan usia. Lampu-lampu gantung tua dengan cahayanya yang redup berpendar. Helem-helem bekas penjajah Belanda berjejer rapi di sebelah kanan meja saya, lonceng-lonceng kecil berjejeran di sebelahnya ada foto Presiden Soekarno berdiri gagah dengan peci hitamnya juga foto seorang pesinden tersohor di negeri ini di masa mudanya di sampul sebuah majalah tua. Tempat ini istimewa, sayang saya tidak sempat mengabadikannya. hapeku lowbet. jam 9 malam, aku memutuskan pulang ke penginapanku

Di pagi hari, aku kembali menusuri setapak-demi setapak kota lama ini seperti berjalan ke dimensi yang berbeda. Bangunan-bangunan tak terawat  tua termakan usia. Bangunan-bangunan dulu yang begitu megah, dengan gaya khas kolonial Belanda. Bangunan itu kini ditinggalkan, merapuh menua termakan usia. pada abad 19-20 yang lalu tempat ini  menjadi pusat perdagangan  yang cukup tersohor dan berperang penting bagi perekonomian Belanda. Kawasan Kota Lama Semarang ini merupakan saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad lamanya, Di tempat ini ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan rapuh  dan mempunyai sejarah Kolonialisme di Semarang. Secara umum karakter bangunan di wilayah ini mengikuti bangunan-bangunan di benua Eropa  sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail bangunan yang khas dan ornamen-ornamen yang identik dengan gaya Eropa. Seperti ukuran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang unik, sampai adanya ruang bawah tanah. Selain itu dibangun pula benteng sebagai pusat militer.  Benteng ini berbentuk segi lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini hanya memiliki satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas.  Masing-masing menara diberinama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten*


Salah satu bangunan yang cukup menarik di kota lama ini adalah gereja Bleduk Gereja Blenduk yang merupakan bangunan tertua di kawasan itu dibangun pada tahun 1753 di zaman pendeta Johanennes Wihelmus Swemmelaar. Gereja dengan kubahnya yang unik ini konon pernah limbung. Pondasi bangunannya di bagian timur sempat ambles beberapa sentimeter sehingga dikhawatirkan akan menganggu konstruksi seluruh bangunan. Untung kemudian hal itu bisa diatasi dengan melakukan perbaikan, sehingga kekhawatiran kerusakan lebih parah bisa dihindarkan. Menurutku tempat ini tak kalah menariknya dibanding dengan Borobudur atau Prambanan, sayang tempat ini kurang dimaksimalkan oleh pemerintah, Tempat ini terlihat kumuh  berantakan tidak terawat, tempat ini sudah sangat memperihatinkan tinggal menunggu waktu dan tempat eksotis yang sarat dengan nilai-nilai sejrah ini akan segera hilang. seperti sejarah itu sendiri, terlupakan hilang termakan waktu.

Pasar Johat Semarang, setelah kebakaran
Puas mengelilingi kota lama, saya melangkahkan kakiku kembali ke penginapan. Hampir 4 jam lamanya saya berkeliling di kota lama ini seorang diri mengabadikan beberapa momen dengan kamera hapeku yang apa adanya ini. saya berjalan memutar, melewati reruntuhan pasar Johar yang baru terbakar pekan lalu saya menatap sayu di bangunan bekas pasar ini. hangus, dan berantakan. sisa-sisa kebakaran masih begitu jelas, bau gosong masih tercium menyengat. Tempat yang dulunya begitu ramai kini tiba-tiba melesu, hampir binasa. Kios-kios yang gosong, sisa-sisa barang jualan berhamburan kemana-mana, pemulung-pemulung tua mengais-ngais reseki di antara tumpukan arang-arang itu.  tapi bagaimanapun juga kehidupan akan tetap berlanjut denyut kehidupan perlahan bergejolak. satu dua pedagang kembali membuka lapaknya, di antara bekas-bekas reruntuhan pasar itu. kebakaran pasar ini akan segera terlupakan. juga modus dibalik kebakaran itu. akan menguap.

Aku melangkahkan kakiku dengan malas, begitu banyak hal tiba-tiba menyeruak di benakku tanpa bisa kucegah, entah dosa apa yang diperbuat penduduk negeri ini, diberikan musibah yang tidak henti-hentinya, diberikan pemimpin yang tidak benar-benar bisa mengurus dan memimpin rakyatnya
Menjelang senja aku kembali ke Jogja, setelah sebelumnya mampir di salah satu masjid yang terbilang mega di Jawa Tengah yakni Masjid Agung Jawa Tengah. Saya sangat menyarankan jika anda berkunjung ke Semarang untuk mampir sejenak di masjid ini.

Masjid Agung Jawa Tengah dengan Travelmateku si Vedhot




*Jangan lupa mampir di IGku @asdar_munandar


0 komentar:

Sore ini, saya duduk di sebuah bangku tua di alun-alun kota Semarang. Ya Semarang, hari ini saya di Semarang, setelah menempuh 4 ja...

Semarang Riwayatmu Doloe




Sore ini, saya duduk di sebuah bangku tua di alun-alun kota Semarang. Ya Semarang, hari ini saya di Semarang, setelah menempuh 4 jam perjalanan dari Jogja, saya akhirnya bisa sampai di tempat ini, seorang diri. Seperti biasa saya selalu menikmat perjalananku sendiri.  Saya memutuskan bersitirahat sejenak di alun-alun ini, menanti senja yang sebentar lagi akan berlalu. duduk berdiam diri. menyendiri di antara keramaian  seperti membuat viral portabel di sekelilingku  tak ada seorang pun yang mengenaliku, saya bisa leluasa mengamati dan menyaksikan banyak hal. Saya selalu menyukai kondisi seperti ini, seperti  kembali menemukan diriku yang dulu. Seseorang yang begitu menyukai ketenangan.

Di depanku seorang anak kecil tertawa girang, bermain balon air. ratusan balon-balon air berwarna pelangi terbang terbawa angin, dia berteriak-teriak kegirangan, begitu puas, berlari ke sana kemari mengejar buih-buih sabun itu. Ayahnya dengan semangat  berusaha menghasilkan lebih banyak buih.. lagi dan lagi. Tiba-tiba aku begitu merindukan masa kecilku. Masa kecil yang tulus. Masa kecil rasanya berlalu begitu cepatnya, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, wusss.... . dan tiba-tiba saja kita tumbuh dewasa, berubah menjadi orang lain. Menjadi berbeda,  dan kita tidak lagi mengenali diri kita itu. Tapi aku percaya suatu hari nanti kita akan bisa kembali mengenali diri kita lagi, meskipun  mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama.

Bertahun-tahun ini saya berusaha kembali menemukan diriku, berusaha kembali menemukan jalan ke Hatiku. Setelah apa yang terjadi pada hidupku selama ini. Setelah kekacauan-kekacauan itu. setelah rasa sakit dan rasa putus asa itu. Aku sungguh merindukan untuk kembali menemukan diriku. Itulah mungkin hingga kini saya masih sangat menyukai berjalan-jalan sendiri, mengunjungi banyak tempat, melihat berbagai macam hal. karena aku percaya, perjalanan akan menuntun kita untuk kembali pulang, kembali ke kodrat kira sebagai seorang manusia.


Semarang memang bukan kota wisata layaknya Jogja, tapi bukan berarti tidak ada hal-hal menarik yang bisa kita temui di sana. ada banyak tempat yang cukup menarik untuk di kunjungi di Semarang ini, termasuk di antaranya Lawan Sewu, Klenteng Sam Poo Kong, Masjid Agung dan Kota Lama.


Jam 11 siang yang terik, travel yang membawaku dari Jogja menuju kota ini menurunkan di depan pintu masuk lawan Sewu, tempat pertama yang kutuju, salah satu ikon kota Semarang. Ranselku dan segala pernak perniknya masih menggandol di pundakku, waktu yang singkat membuatku harus menggunakannya semaksimal mungkin. Lawang Sewu atau juga dikenal dengan pintu seribu tadinya adalah kantor dari Nederlands-Indische Sporweg Maatschappij atau NIS, dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Artinya bangunan ini telah berdiri di sini hampir setengah abad sebelum Indonesia merdeka.  108 tahun bukan waktu yang singkat untuk menyaksikan banyak hal.  Bangunan ini telah menyimpan begitu banyak ceritanya termasuk berbagai cerita mistisnya.

Konon katanya dahulu kala pernah terjadi   pemerkosaan tentara Jepang terhadap sekitar 20 noni Belanda. Kabarnya semua noni ini terdiri dari 10 noni perawan dan 10 sudah nikah. Setelah puas menyalurkan hasratnya, para tentara Jepang memenggal kepala 20 noni tersebut. Dari situ  kisah mistis sering munculnya noni di sekitar Lawang Sewu berawal. Dan hingga kini hantu noni-noni cantik yang berlumuran darah masih sering menampakkan diri di bangunan ini. Ihhhh tidak serem


Bersambung

0 komentar:

Moralitas Pengemis Berbicara tentang moralitas. Mungkin moralitas saya telah tereduksi sedemikian rupa. Hati saya tidak lagi berg...

Moralitas Pengemis

Moralitas Pengemis



Berbicara tentang moralitas. Mungkin moralitas saya telah tereduksi sedemikian rupa. Hati saya tidak lagi bergeming melihat pengemis dan derivatifnya di pinggir jalan. Ibu-ibu dengan anak-anak balitanya atau perempuan tua di depan pintu-pintu mini market. Amplop-amplop permohonan bantuan biaya sekolah dan biaya hidup yang dibagikan kepada pengunjung ATM. Entahlah rasa percaya saya sama mereka telah terkikis habis. Saya menyebut mereka orang-orang yang mempermainkan rasa.

Bayangkan hanya dengan tampan melas, baju compang-camping, muka sedikit kusut mereka mempermainkan hati kita. Kita kemudian tersentuh, bergetar hatinya, menyodorkan lembar ribuan. Mereka tersenyum, mengucapkan terima kasih dan sedikit doa. Hahaa.. cerita lama kawan. Saya mengenali ibu-ibu dengan seorang anak gadisnya di depan kampus saya yang juga berprofesi seperti itu. Bayangkan hampir tiga tahun saya lalu lalang di kampus dan saya selalu melihat mereka di lampu merah yang sama, dengan keadaan dan kondisi yang sama, dengan selogan yang sama “Mohon Bantuan Biaya Sekolah”. Mereka bukan pengemis kawan, mereka penipu berkedok pengemis.

Ironi memang, kadang saya berpikir berapa rupiah duit yang mereka bisa kumpulkan tiap harinya. Sedikit ? anda salah, mereka bisa hidup makmur dengan profesinya itu.  Mereka kaya tanpa perlu bersusah payah. Kehidupan memang menampilkan berbagai macam lakon. Mengajarkan berbagai macam modus. Menuntut manusia untuk terus menerus kreatif dan inovatif termasuk dalam hal profesi ngemis-mengemis. Hei, kawan bahkan saya sering menemukan pengemis-pengemis dengan modus beraneka rupa.

Saya pernah didatangi seseorang yang mengaku satu daerah dengan saya. Mengalami nasib tragis, kabur dari tempat penampungan TKI, tak punya uang, tak punya kerabat dan terakhir minta ongkos pulang. Kenapa saya meyakini ini penipuan, ternyata di hari yang sama dia datang juga ke tempat teman saya dengan modus dan cara yang sama dan besok-besoknya saya sharing ke yang lain ternyata banyak yang juga mengalami penipu dengan modus seperti ini. Mengaku satu daerah asal, kehilangan dompet lah, nyasar lah, apa lah. Inti-intinya mereka-mereka ini sedang menipu rasa kasihan kita.


Dewasa ini kita sungguh dituntut untuk skeptis, tidak mudah percaya dan tidak mudah iba. 

0 komentar:

Puncak Sikunir Kadang memang kita butuh sendiri seperti hari ini, saya berada di bilik sebuah warnet aku suka dunia sempit ini ...

Golden Sunrise dan Kisah Pilu Dieng

Puncak Sikunir


Kadang memang kita butuh sendiri
seperti hari ini, saya berada di bilik sebuah warnet
aku suka dunia sempit ini
seperti melepaskanku dari sesutau
aku merasa aman, hanya aku dan diriku.
tidak melakukan apa-apa.
menikmati segelas kopi hitam Toraja yang beraroma pahit dan sedikit pekat

******


Kalian penah ke Dataran Tinggi Dieng ? Kalian tahu tempat itu ? Konon katanya golden sunrise terindah di Indonesia bisa dinikmati di tempat ini. negeri pada Dewa. Golden sunrise bisa di nikmati di ketinggian Gng. Prau 2 565 mdpl, atau kalau tidak ingin repot cukup ke puncak sekunir dengan ketingginya yang hanya 2.263 mdpl. Untuk menikmati golden sunrise di puncak sikunir anda harus berangkat dini hari. Dari penginapan kami berkendara ke arah desa tertinggi di pulau Jawa "sembungan". Desa ini berada di ketinggian kurang lebih 2.000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu yang cukup dingin, sekitar 10 -18 derajat celcius  dan panorama yang luar biasa indahnya.

selain Tibet di Himalaya yang eksotis itu, (baca bukunya Agustinus Wibowo: Titik Nol, Selimut Debu, Garis Batas. Recomendet banget deh) Desa Sembungan ini adalah dataran tiggi  berpenghuni ke dua di dunia. Oh iya, di desa ini juga da sebuah telaga indah namanya telaga cebong, biasanya wisatawan lokal maupun mancanegara memilih mendirikan tenda di seputaran telaga ini. Telaga ini cukup cantik, dengan airnya yang kehjau-hijauan, meski tidak secantik telaga warna. Dari titik ini pulalah pendakian ke puncak sikunir bermula tidak butuh lama untuk sampai puncak sikunir, hanya kuran lebih 30 menit. hari itu kebetulan pengunjung lagi ramai-ramainya, kami berdesak-desakan mencari spot terbaik untuk menikmati golden Sunrise itu.

Golden Sunrise
Awalnya saya sedikit kecewa, matahari tampaknya terlambat bersinar. Saya takut setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Jogja, saya tidak menemukannya tapi beberapa menit kemudian akhirnya matahari malu-malu menampakkan sinarnya. perlahan-lahan tapi pasti. cahaya kemerahan berpendar, merah, jingga, orange dan kadang berwarna emas kekuning-kuningan. Dadaku tiba-tiba terasa hangat, begitu menenangkan. aku menemukannya, sesuatu yang membuat aku selalu merindukan berdiri di titik-titik tertinggi negeri ini.

Kemarin saya juga menantinya di ketinggian prau 2.565 mdpl. setelah berjalan kaki
mengejar sunrise
 berjam-jam dari Dieng Plateau. Indah memang, susatu yang membuat saya selalu ingin dan ingin lagi, berdiri di ketinggian gunung-gunung itu. Menyaksikan matahari terbit dari balik awan. Mungkin ini disebut mountsick. sejenis penyakit yang menjangkiti orang-orang yang pernah merasakan summing atack di pucak gunung. Gejalanya hampir serupa penyakit homesick.

Dari puncak sikunir ini kita juga bisa memandang tujuh puncak gunung. Yakni Sindoro, Merapi, Merbabu, Lawu, Telomoyo, Ungaran, dan Prau di kawasan Dieng. Dari puncak Sikunir ketika pandangan mengarah ke barat terlihat Telaga Cebong yang bersebelahan dengan perkampungan Sembungan. Di sekitar Bukit Sikunir selain Telaga Cebong juga ada empat telaga lain, yakni Asat atau Wurung, Gunung Kendil, dan dua Telaga Pakuwujo.

Dibalik semua tempat indah itu, ternyata ada sebuah kisah tragis yang kalian harus tahu. Sebuah kisah yang telah diceritakan turun temurun oleh penduduk negeri ini. sebuah tragedi. Sebuah bencana. Kata orang "alam selalu punya cara utuk membalas kelakuan manusia" dan hal itu pernah terjadi di negeri indah ini.

Tahun 1979 sebuah tragedi memilukan terjadi. Gas beracun dari Kawah Sinila merenggut ratusan korban  Tragedi Sinila adalah peristiwa mencekam yang terjadi pada malam hari menjelang subuh tepatnya pada tanggal 20 Februari 1979. Tragedi ini disebabkan karena sebuah fenomena alam, yaitu letusan salah satu kawah di dataran tinggi Dieng, yaitu kawah Sinila. 149 orang tewas dalam peristiwa ini. Kawah Sinila terletak di antara Desa Batur, Desa Sumberejo, dan Desa Pekasiran, Kecamatan Batur. Pada malam mengerikan tersebut, Kawah Sinila meletus dan mengeluarkan banyak gas karbondioksida dari dalam kawah tersebut ke udara. Banyaknya gas beracun yang keluar dari dalam kawah, menyebabkan udara di sekitar pemukiman penduduk ikut tercemar. Orang dewasa, orang tua, dan anak-anak ditemukan tewas bergelimpangan di jalan-jalan di sekitar pemukiman penduduk. Bahkan, tidak hanya manusia, sejumlah hewan ternak pun ikut menjadi korban dalam tragedi mengerikan ini. Kawah Sinila meletus setelah sebelumnya terjadi gempa bumi di sekitar kawasan Dieng. Pemerintah Indonesia menyatakan Tragedi Kawah Sinila Dieng sebagai bencana nasional. (*)

Gas beracun merupakan ancaman utama di kompleks gunung api Dieng yang padat penduduk dan ramai dikunjungi wisatawan. Gas beracun ini kerap menguar dari 11 kawah yang bertebaran di kaldera Dieng. Misalnya, tahun 2011, Kawah Timbang yang sebelumnya dianggap tidak aktif tiba-tiba melepaskan gas beracun dan memaksa warga di sekitarnya mengungsi.

Kejadian serupa pernah terjadi di danau kawah gunung api di Danau Nyos dan Monoun, keduanya di Kamerun. Danau Monoun melepaskan gas karbon dioksida tahun 1984 dan merenggut 37 jiwa. Sedangkan, Danau Nyos melepaskan 1,24 juta ton karbon dioksida hanya dalam beberapa jam tahun 1986. Gas itu menewaskan 1.700 orang.

Sunrise yang dirindukan
Lebih jauh ke belakang, tahun 1955. Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara "buum", seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang.   Menurut cerita dan mitos dari penduduk di sekitar desa tersebut bahwa anugerah yang di berikan terhadap masyarakat di desa itu telah di salah gunakan untuk kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama. Sebagai bentuk hukuman Tuhan.  Alam dibuatnya murka, puncak dari Gunung Pengamun-amun di sebelah barat dari desa itu terlempar serta menimbun pemukiman penduduk setempat. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Kisah ini mirip dengan kisah kaum nabi Luth yang tenggelam dalam ke maksiatan. Tuhan mengadzab kaum itu dengan menimpakan gunung kepada penduduknya.

Selalu ada ibrah yang bisa diambil dibalik sebuah peristiwa.  Peringatan atas peristiwa bencana alam tanah longsor itu sekarang di bangun sebuah Monumen peringatan di atas desa tersebut yang di kenal sebagai Monumen Legetang Dieng. Di tugu tersebut tertulis:

"TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955"

Kisah ini sudah lama, tetapi mungkin banyak dari pengunjung Dieng atau bahkan warga Dieng sendiri yang belum mengetahuinya. Semoga kisah-kisah pilu seperti itu tidak lagi terjadi di negeri yang indah itu. Hendaklah kita bisa mengambil banyak pelajaran dari situ, hendaklah kita untuk selalu berusaha menjaga alam kita yang indah ini dan yang lebih penting kejadian-kejadian seperti itu seharusnya menjadi pelajaran buat manusia agar senantiasa berusaha untuk lebih mencintai alamnya dan Pencipta Alam itu sendiri.

Puncak Prau 2.565 mdpl


















* Semua Fakta-fakta tentang Dieng di tulisan ini disadur dari berbagai sumber
* Silahkan baca Postingan saya tentang Gunung Prau dan Bagaimana ke Dieng di postingan saya sebelumnya.
* Semua foto-foto di atas merupakan koleksi pribadi saya. Harap tidak mengambil tanpa izin terlebih dahulu.

0 komentar: