Triwulan kedua tahun ini sudah berlalu. Saya bahkan sama sekali belum menyusun resolusi tahun 2019 ku. Belakangan beberapa tahun terakh...

RESOLUSI



Triwulan kedua tahun ini sudah berlalu. Saya bahkan sama sekali belum menyusun resolusi tahun 2019 ku. Belakangan beberapa tahun terakhir hampir 75% resolusi yang kususun gagal. Rontok terbentur realita yang menyakitkan. Resolusi tahunan  ini tadinya agenda rutin yang memang selalu kususun di awal tahun,  ada banyak harapan yang tertulis dalam catatan-catatan itu. Ada banyak janji masa depan yang kususun dengan baik disana. Tapi kalian tahu, cerita kehidupan tidak semenyenangkan drama-drama murahan ditivi yang sering kita tonton.

Tahun ini tak banyak yang ingin kugapai, aku hanya ingin menjadi ikhlas menjalani semua ini. Menjadi lebih bersabar atas apa yang takdir telah gariskan. Bukannya ke sabaran itu hanya sebentar, hanya sampai kita meninggal. Dan jika sekiranya besok adalah saatnya, artinya kita hanya bersabar sampai besok. Tidak terlalu lama bukan.

Untuk perjalananku, tahun ini aku memang berencana ingin kembali ke jalan. menemukan diriku di masa lalu. Mungkin sebuah perjalanan terakhir, the last solo backpacker. Saya ingin menyusuri jejak panjang perjalanan lintas Sumatera. Saya ingin mengunjungi Medan, Padang, Bukit Tinggi, Danau Toba, Aceh hingga Sabang. Titik terjauh Indonesia bagian barat. Terdengar sedikit mengerikan bukan, tapi bagiku perjalanan perjalan seperti ini ibarat perjalanan spiritual yang bisa mengantarkanmu bertemu Tuhan.

Orang-orang sering menemukan Tuhan di jalan, bukan di tempat ibadah. begitu seorang sufi pernah mengajariku. Kau mungkin kesulitan menemukan Tuhan ditempat ibadah, kebanyakan manusia disana berdiri menyembah Tuhan dengan angkuh tapi di jalan kau bisa tiba-tiba menemukan Tuhanmu.

“kau pernah bepergian dengan pesawat” ? tanyanya padaku

“aku mengangguk”

Saat pesawat turbelensi akut, tiba-tiba orang-orang dengan seketika menemuka Tuhan bukan.!
Aku kembali mengangguk.

Aku tiba-tiba teringat penerbanganku suatu hari dulu, di sore yang hujan. Turbelensi akut 11 menit pertama penerbangan kami membuatku begitu gugup. Saya merasa Tuhan begitu dekat saat itu.

Apakah seperti itu rasanya ?

Saya kembali membuka resoluis-resolusi tahun-tahun kemarin yang belum sempat ku gapai. Sebuah catatan berhurup kafital membuatku begitu tertarik. Aku tersenyum membaca catatan itu. rasa-rasanya waktu sudah berlalu begitu lama. Aku semakin tua.

Aku pernah menulis mimpi seperti itu. Tidak ada salahnya bermimpi, bukan ? saya terus menerus tersenyum membaca tulisan-tulisan usang itu. dulu saat umurku belum lagi seperempat abad, saya merasa begitu ambisisu, ingin ini ingin itu. mau ke sini mau kesana.  

Mimpi manusia bisa berubah ternyata. Nyatanya semakin bertambah umur kita, mimpi kita akhirnya semakin mengkerucut. Semakin sederhana. Dahulu aku pernah menulis bisa berkeliling dunia, aku menulis deretan nama-nama tempat indah yang wajib kukunjungi sebelum meninggal. kini bahkan meninggalkan kampung halaman pun aku segan. Kenyataannya saat kita semakin dewasa, mimpi menjadi tidak terlalu pentig. Realitas mengubah banyak persepsi kita tentang hidup dan kehidupan.  

Saya tetiba teringat suatu hari di pedalaman Topoyo, kabupaten terbaru di Sulawesi Barat. Hari itu saya mengikuti Kelas Inspirasi, saya ditugaskan untuk membawakan tema tentang mimpi didepan bocah-bocah sd yang masih polos. Satu persatu mereka mengutarakan mimipinya. Seorang anak membuatku tertarik. Diantara riuh-riuh teman kelasnya yang ingin menjadi polisi, pilot atau guru dia justru ingin menjadi nelayan. Kenapa tanyaku kepadanya. Aku tersenyum mendengar jawaban polosnya. Katanya biar bisa seperti bapaknya, bisa melaut bareng bapak.  Aku tersenyum memeluknya. Tak ada satu manusia dimuka bumi ini pun yang boleh meremehkan mimpimu nak.

0 komentar: