Awal Oktober, musim pancaroba tiba. Sesekali hujan turun derasnya lain waktu matahari bersinar begitu teriknya, cuaca sedang tak menentu se...

Seperempat Abad: Sebuah Masa Transisi

Awal Oktober, musim pancaroba tiba. Sesekali hujan turun derasnya lain waktu matahari bersinar begitu teriknya, cuaca sedang tak menentu seperti hatiku yang juga dilanda keresahan.  Awal Oktober ini usiaku sudah cukup matang untuk tidak lagi dianggap remaja. Seperempat abad bisa dikatakan usia yang telah cukup dewasa, yah seperempat abad kawan  alias 25 tahun, atau 9125 hari, atau 219,000 jam, atau 13,140,000 menit, atau 788,400,000 detik.

Bagi sebagian orang usia seperempat abad adalah tonggak memulai hidup baru, menemukan pasangan membangun karir atau sekedar menata masa depan yang lebih mapan. Tapi lihatlah aku kawan, di usiaku yang seperempat abad ini, masih saja berkutat dengan buku-buku metodologi penelitian, bergulat dengan tugas akhir yang juga tak kunjung menunjukkan titik akhirnya. Hai kawan lihatlah aku, di usiaku yang seperempat abad ini masih duduk manis di puskot (perpustakaan kota) memandang iri remaja-remaja tanggung yang sedang memadu kasih.

Sabtu pagi ini, aku lagi-lagi datang ke puskot, mencoba berdamai dengan hatiku. Rasa-rasanya beberapa hari ini hatiku tak bisa lagi kukekang, tak lagi bisa dijinakkan, besitannya tak lagi muda di arahkan, bertindak menurut lakunya sendiri atau mungkin simpul hatinya sedikit  atau memang sengaja kulonggarkan. Ah entahlah.., semoga saja hanya rasa temporer, sindrom galau menjelang seperempat abad. kehhehehhe

Kawan  kali ini aku hanya ingin bercerita sedikit tentang diriku. Diriku yang akan segera berusia seperempat abad ini. Dengarlah kawan. “Aku tepatnya diriku adalah pemuda dengan perawakan tinggi- kurus. Wajah bisa dibilang nggak jelek-jelek amat, tapi juga bukan berarti aku ganteng loh. Hei jangan ketawa gitu kawan, bukannya tidak ada orang jelek manapun  di muka bumi ini  yang mau mengakui kejelekannya secara tulus dan juga nggak ada orang cakep manapun (selain yg hanya ngaku-ngaku) yang mau secara gamblang mengumumkan kecakepannya. Bener kan ? bukankah kita hanyalah kumpulan persepsi di luar diri, jadi gagah atau jeleknya kita hanya tergantung dari persepsi diluar diri, bukan kita yang berhak menentukan. hhehehehe

Di usiaku yang akan seperempat abad ini, apa yang telah dan akan aku capai ? pasti mau nggak mau pertanyaan itu akan terus mendedah hatiku dan hati-hati sebagian orang dengan kondisi yang serupa. Bukannya tidak mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepadaku, melainkan sedikit bertanya tentang cerminan realitas yang selama ini bergulat dengan kehidupanku. Tuhan memang memberiku banyak anugerah, banyak kemudahan, banyak kesempatan, banyak kebaikan. Keluarga yang bahagia, teman-teman yang baik, lingkungan yang positif, hidupku lurus-lurus aja, tidak merokok, tidak mabuk-mabukan apalagi main perempuan.. nggak banget kali yah. Maka nikmat-Nya yang mana yang patut didustakan. Tapi selalu saja ada besitan di hati.

Oh iya, 2 tahun terakhir ini aku tinggal di lingkungan yang religi. Hidup di antara kumpulan orang-orang baik, berusaha menjadi baik. Tapi tahukah kalian kawan, aku justru malah menjadi manusia-manusia munafik. Tertatih mengejar ritme suci itu, berprilaku bak malaikat tapi nyatanya aku hanya berkamuflase. Pernahkah kalian terjebak dalam lingkungan kebaikan. Nah aku salah satu contohnya.. Kini hidupku terkesan ambigu, berusaha menekan sedalam-dalamnya bayang-bayang hitam diriku memunculkan sosok bercahaya nan suci saja. Tapi kenyataannya aku tetaplah munafik. Hei kawan, betapa aku merindukan kejujuran diriku di masa lalu, meski kejujuranku itu sebuah kesalahan. Lihatlah kawan jadi orang baik bukan berarti hati telah menjadi baik.  Diantara semua limpahan kebaikan itu justru aku tumbuh penuh kemunafikan. Tapi itulah proses kawan, proses menjadi baik. Bukan berarti saya harus mengingkari kemunafikan itu, kemunafikan yang parah menurut saya ketika kita sejatinya adalah munafik tapi tidak mengakui kemunafikan kita. Saya percaya saya masih tetap munafik, tapi di satu sisi saya juga berharap dengan mengondisikan diriku dengan orang-orang baik seperti ini suatu saat nanti saya akan memenangkan pergulatan hati itu. Menendang jauh-jauh rasa munafik itu dan akhirnya jenjereng... berubahlah saya menjadi orang yang benar-benar baik.


Terakhir aku berharap setelah hari ini berlalu, di awal seperempat abad umurku, Tuhan  menganugerahkan kepada ku  hati yang tulus untuk mensyukuri semua kebaikan-kebaikan itu, kekuatan yang cukup untuk senantiasa memenangkan pergulatan hati itu. Dan yang paling penting Tuhan segera mempertemukan ku dengan sepotong hatiku yang hilang. amin  

0 komentar: