Bertualang lagi
pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjung
melihat sesuatu yang belum pernah ditemui
aku tak sabar bertualang lagi
bertualang lagi
seperti kaum hippie yang hidup dijalanan
bersama teman-teman terbaikmu
dunia selalu membuka jalannya untuk kami
aku tak sabar bertualang lagi
Dua Hari di Banyuwangi
16 September 2018. Dini hari pukul 00.30. Stasiun Surabaya Gubeng ke Karangasem Banyuwangi. Waktu tempuh diperkirakan 6 jam. Kereta ini akan tiba di satisun tujuan pada pukul 6.30 pagi. Satu-satunya yang menemaniku hanya novel setebal bantal. Yang jika bosan membolak baliknya memang kujadikan bantal penjanggal leher. Saya dalam perjalanan menuju Banyuwangi, sendirian.
Sorang kawan lama pernah bertanya, “Bagaimana rasanya bepergian sendiri”. Saya tersenyum, menjawabnya. Sejatinya kita tidak pernah benar-benar sendiri. Berkali-kali saya melalukakan solo backpacker berkali-kali pula saya dipungut oleh backpacker lain. Kita akhirnya tidak pernah benar-benar sendiri. Akhir tahun 2016 yang lalu saya solo backpacker ke Labuan bajo selama Sembilan hari lamanya. Diperjalanan saya justru dipungut oleh 3 orang backpacker dari Kalimantan dan membuat peralanan saya jauh lebih menyenangkan. Saya pernah dipungut oleh backpacker asal Gorontalo, pernah dipungut oleh backpaker asal Medan atau entah dipungut oleh orang yang entah dari mana datangnya. Mungkin didahi saya orang-orang melihat tulisan tolong selamatkan saya, tolong bantu saya, tolong saya tidak tahu jalan. Maka dari itu orang-orang berkenang menolong saya. Intinya perjalan sendiri tidak berarti kau harus melakukan segalanya sendirian. Perjalanan kali ini pun saya tidak benar-benar sendiri. Saya dipungut oleh backpacker dari Sumatera. Secara tak sengaja kami dipertemukan di Taman Nasional Balurang kami akhirnya bersepakat untuk bersama-sama menuju kawah ijen di malam harinya.
Kenapa harus bertualang sendiri ?. Bagiku dalam sebuah perjalanan dimana tak ada seorang pun yang mengenaliku secara personal, saya justru merasa lebih bebas. Bebas mengekspresikan diri, lebih leluasa menjadi diriku sendiri. saya pikir, perjalanan seperti itu memang sangat perlu dilakukan. bayangkan hampir setiap hari kita terbatasi oleh batas-batas portabel yang dibuat manusia. Batasan-batasan sosial yang memaksa kita untuk harus menghormatinya. tanpa protes. Perjalanan “sendiri” membuka semua selubung itu. Kita tak harus banyak bertoleransi dengan berbagai macam batasa-batasan yang dibuat orang lain atau lingkungan kita.
Saya sangat jarang bepergian dengan rombongan yang banyak, batas toleransi saya hanya empat orang. batas ideal hanya dua orang, dan sangat menyenangkan bila bisa bertualang sendiri. Bepergian rombongan terlalu menguras tenaga, kita akan merasa capek harus banyak bertoleransi, harus menyamakan persepsi dan itenary, harus memaklumi macam-macam hal yang bisa jadi justru merugikan saya sendiri. Kalau masalah teman, saya yakin kita bisa bertemu banyak manusia-manusia luar biasa di jalan. Merencanakan hal-hal bego bareng, memulai hubungan baru atau siapa tahu bagi yang jomblo kronis bisa ketemu jodoh di jalan :-). Perjalanan sendiri memang menyenangkan. Adrenalinku seperti terpacu lebih cepat. Hormon endorpin pemicu rasa bahagia seperti membuncah. Perasaan bebas sekaligus penasaran bercampur baur jadi satu. Aku menuju tempat yang asing.
Saya tiba di Banyuwangi lebih lambat satu jam dari waktu perkiraan tiba. Keluar dari stasiun karang asem saya kebingungan tak tahu harus kemana. Beruntung kemudahan akses internet sekarang sangat membantu pelancong dadakan minim persiapan seperti saya ini. Dari penelusuran singkat mbah google, saya akhirnya memutuskan untuk memilih basecamp di staisun karang asem ini. Mengingat posisi staisun yang sangat strategis untuk menjangkau semua dsetinasi wisata yang menarik di Banyuwangi ini. Saya memilih penginapan persis didepan pintu keluar stasiun karang asem “Rumah Singgah Banyuwangi”. Tariff permalam berkisar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah. Dengan tipe kamar dormitory dengan beberapa orang dalam satu kamarnya, atau privasi. Saya sendiri memilih kamar privasi dengan tariff 100 ribu permalamnya, kamar sendiri yang dilengkapi dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Dengan pertimbangan barang-barangku akan lebih aman jika kutinggal berpergian disbanding jika harus berbagi kamar dengan orang asin. Tidak banyak pengunjung yang menginap di penginapan ini, hanya dua orang yang berasal dari Belgia, transit untuk sementara waktu menunggu kereta menuju Bromo. Jauh-jauh mereka datang dari Belgia hanya untuk mengunjungi Bali dan Bromo katanya. Mereka sudah meghabiskan dua Bulan di Bali dan berencana masih akan tinggal di Indonesia untuk dua atau tiga bulan kedepan.
Saya sempat merasa berbangga dan sekaligus miris, mereka datang dari negeri yang jauh untuk menikmati negeri kita ini sementara orang-orang Indoneisa sendiri berlomba-lomba memposting foto jalan-jalannya ke luar negeri. Bukannya iri tapi saya merasa negara kita memiliki banyak hal yang lebih layak dan lebih cantik untuk dikunjungi, memiliki banyak tempat-tempat yang tak akan habis untuk di jelajahi. Itulah mengapa saya putuskan untuk menikmati Indonesiaku, memuaskan diri untuk berkeliling sebelum melirik-lirik negeri tetangga. Sayangnya beberapa objek wisata di Indonesia justru terlalu mahal untuk dijangkau dibanding ke luar negeri sendiri. Raja Ampat misalnya, sekali ke Raja Ampat bisa sebanding perjalanan dua kali bolak balik ke Malaysia atau Thailand.
*bersambung
0 komentar: