Ada banyak cara menuju Johor dari Singapura. Salah satunya dengan rute yang saya tempuh ini. Kami menggunakan MRT dari Harbourfront ke Wo...

Melintas Batas Part IV: Singapura-Johor



Ada banyak cara menuju Johor dari Singapura. Salah satunya dengan rute yang saya tempuh ini. Kami menggunakan MRT dari Harbourfront ke Woodlands lalu dilanjutkan dengan bus ke Wodlands Chekpoint dan terakhir ke Johor Baru. Meski tak bisa berbahasa Inggris dengan baik, saya tidak menemukan banyak kendala terkait jalur-jalur transport di Singapura. Segala sesuatu di Singapura sudah di setting demikian jelasnya, sehingga potensi untuk tersasar sangat kecil kemungkinannya bahkan untuk saya yang tidak mampu berbahasa Inggris ini, petunjuk-petunjuk yang ada di sini sangat memudahkan. Bilapun jika terdesak kebingungan dan membutuhkan pertolongan saya sarankan carilah ibu-ibu bertampang melayu yang berjilbab. Melayu Singapura paling tidak masih menyisakan sedikit kepedulian terhadap orang lain, apatisme akut yang menjangkiti sebagian besar warga Singapura masih belum sepenuhnya menjangkiti orang-orang Melayu. Lagi pula meski kita tidak bersaudara dalam identitas kebangsaan paling tidak kita bersaudara dalam hal keimanan.




Saya kebingungan di Woodlads station, saya harus menemukan Wodlands checkpoint gerbang perbatasan antara Singapura dan Malaysia, berdasarkan petunjuk yang saya peroleh di Woodlands inilah pintu keluar Singapura menuju Malaysia. Saya berputar-putar mengelilingi stasiun ini namun tidak berhasil menemukan dimana tempat menyeramkan itu (read: imigrasi). Orang-orang masih tampak terburu-buru. Berseliweran kemana kemari. Pertama kalinya saya melihat pengamen di Singapura di stasiun ini. Seorang bapak tua bermain alat musik chaines. Menggeseknya dengan penuh penghayatan. Gesekan dawainya mengeluarkan suara menyayat hati. Meski demikian saya perhatikan tak ada seseorang yang tampak tertarik menikmati iramanya. Polisi wanita bertampang India berdiri dengan serius didepannya. Berkacak pinggang seakan menampakkan arogansinya. Saya takut-takut menghampirinya. Tatapan seriusnya menyiutkan nyali saya. Saya masih belum pulih dari trauma imigrasi.

Seorang ibu-ibu berjilbab hitam berparas melayu segera kuhampiri. Dengan malu-malu saya menanyakan arah Woodlands chekpiont. Hal pertama yang diucapkan kepadaku adalah “bisa cakap Melayu? “ sambil tersenyum lega saya mengangguk.




Dari Woodlads MRT kita harus menuju ke Woodlands Checkpoint by bus. Jangan lupa siapkan duit recehan kalo enggak salah saya harus bayar hanya beberapa sen untuk kesana. Woodlands Checkpoint adalah titik imigrasi keluar masuk Singapura via 1st link (jalur 1) yang berbatasan langsung dengan Johor Baru. Disini kita diminta untuk turun dan melaporkan keberangkatan ke Johor, sama seperti imigrasi biasa. Jangan lupa persiapkan paspor anda dan kartu identitas anda.

Malam itu tampak antrean pelintas batas mengular, terutama di pelayanan paspor Malaysia. Di sini ada beberapa loket paspor. Beberapa di khususkan untuk warga negera Singapura, bebera loket di khususkan untuk warga negara Malaysia dan sisanya untuk seluruh Pasport dari berbagai negara. Saya menghabiskan waktu kurang lebih sejam untuk antri di sini. Saya sungguh kelelahan dan lapar. Kepalaku berkunang-kunang, antrean di depanku tampak tak ada habisnya. Di sini kita dilarang mengambil gambar, jadi saya tidak bisa mengabadikan momen ini.

Setelah proses imigrasi selesai, kita harus berjalan ke bawah tempat antrian menanti bus. Dari imigrasi ini kita akan menuju ke Johor Baru Chekpoint (JBC) pintu imigrasi Malaysia. Berhubung karena proses imigrasi yang lumayan lama maka di sini aturan busnya akan sedikit berbeda. Bus yang menuju Johor bila sudah di Woodlands Checkpoint boleh dinaiki oleh semua penumpang, jadi jangan takut ketinggalan bus yang digunakan sebelumnya. Pastikan saja tiket bus kalian tidak sampai hilang. Ingat tiket bus itu hanya berupa selembaran kecil sebesar stik es krim. Berjalanlah menuju tempat antrean keberangkatan bus. Ikuti saja orang-orang yang keluar dari imigrasi. Selama menjalani proses imigrasi ini beruntung saya sempat berkenalan dengan seorang pemuda berparas melayu berkewarganegaraan Singapura yang kebetulan juga akan menyeberang ke Johor. Saya banyak mendapat bantuan dari dia, bahkan dia rela menunggu saya menjalani proses imigrasi yang lumayan lama. Terimakasih untukmu kisanak.

*bersambung

0 komentar:

Merlion Park. Terlepas dari imigrasi Singapura rasanya seperti baru saja menyelesaikan PR matematika yang rumit, plooong. saya dan kawan...

Melintas Batas Part III: One Day Trip in Temasek (Singapura)


Merlion Park.
Terlepas dari imigrasi Singapura rasanya seperti baru saja menyelesaikan PR matematika yang rumit, plooong. saya dan kawan saya bisa bernafas lega. Tempat pertama yang akan kami tuju adalah Merlion Park. Kata orang-orang, kamu belum dikatakan mengunjungi Singapura jika belum berfoto dengan latar patung kepala Singa yang mulutnya mengeluarkan air ini. Merlion Park terletak di kawasan Raffles. Dari Harbourtfront atau dari bandara Changi kita bisa ke sini dengan MRT. Disini apapun bisa di jangkau dengan MRT sih

Berikut rute untuk menuju tempat ini dari Harbourfront.
*dari stasuin MRT harbourfront (basement mall vivo city), naik MRT purple line jurusan punggol dan turun di outram park station.
*naik MRT green line jurusan Pasir Ris dan turun di raffles place stasiun.
*keluar stasiun melalui exit B dan jalan menuju singapore river. kemudian belok kanan dan jalan hingga menemui cavanagh bridge dan hotel fullerton. setelah itu menyeberang ke merlion park.

Kami menyusuri jalan-jalan di kawasan Rafles ini, melihat keramaian dan apatisme orang-orang kosmopolitan. Gedung-gedung menjulang tinggi, masyarakat berbagai bangsa berlalu lalang dengan sibuk. Satu dua bahkan tampa rasa canggung memadu kasih dengan intim di pinggir Singapura river yang tertata cantik. Hal-hal yang selama ini hanya kulihat di tivi-tivi kini secara nyata tergambar didepanku. Saya jijik.




Patung Merlion sendiri dibangun pada tahun 1964. Patung ini berbentuk kepala singa dengan badan ikan di atas puncak ombak. Patung ini hingga kini menjadi ikon Singapura bagi dunia. Patung ini dirancang oleh Mr. Fraser Brunner, anggota panitia suvenir dan kurator di Van Kleef Aquarium, kepala singanya melambangkan singa yang terlihat oleh Pangeran Sang Nila Utama saat ia menemukan kembali Singapura di tahun 11 M, seperti yang tercantum dalam “Sejarah Melayu”. Ekor ikan sang Merlion melambangkan kota kuno Temasek (berarti “laut” dalam bahasa Jawa), nama Singapura sebelum sang Pangeran menamakannya “Singapura” (berarti “Kota Singa” dalam bahasa Sansekerta) dan juga melambangkan awal Singapura yang sederhana, yaitu sebagai perkampungan nelayan.

Bugis Street


Bugis Street terletak di antara Rocchor, Victoria, dan Queen Street. Bugis Street terkenal sebagai salah satu pusat perbelanjaan murah di Singapura, orang-orang datang ke sini untuk berburu oleh-oleh dan barang-barang murah namun bagiku satu-satunya yang membuatku tertarik mengunjungi tempat ini adalah namanya “Bugis Street”. Nama jalan yang diambil dari nama suku saya, suku “Bugis”. Salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan. Suku yang terkenal keuletannya menjelajahi samudera. Suku pelaut, Suku perantau. Suku Pedagang Begitu kata orang-orang.

Dahulu konon katanya Bugis dan Singapura pernah memiliki hubungan yang erat. dahulu pelat-pelaut Bugis banyak yang bermigrasi ke Singapura. Akar rumpun budaya Melayu Singapura banyak diwarnai suku Bugis, Karena penghormatan itu maka hingga kini di singapura kita masih bisa menemukan sisa-sisa peninggalan masa lalu itu. Di beberapa tempat di Singapura seperti di Distrik ini masih dinamai dengan nama bugis seperti Bugis street ini. Selain itu salah satu distrik di sini juga di beri nama Sengkang yang juga merupakan nama salah satu ibu kota kabupaten di sulawesi selatan. Saya bayangkan di masa lalu di jalan ini kita akan menemukan banyak orang bercakap-cakap menggunakan bahasa bugis. Bahasa sukuku.

Masjid Sultan


Masjid sultan terseok-seok membentengi umat Islam dari dominasi agama lain di negeri yang multirasial ini. Populasi umat Islam di Singapura makin menyusut. Dari segi bangunan Masjid Sultan tidak terlalu istimewa menurutku jika dibandingkan dengan masjid-masjid di Indonesia, namun masjid itu sangat patut di apreasiasi. Mengingat perannya yang begitu krusial bagi umat Islam yang minoritas di sini. Masjid ini dibangun pada tahun 1824 untuk Sultan Hussein Shah, sultan pertama di Singapura dan telah mengalami beberapa kali pemugaran.

Masjid ini menjadi salah satu bangunan bersejarah di Singpaura dan telah ditetapkan oleh pemerintah Singapura pada tanggal 14 maret 1975. Jadi selain tempat ibadah Masjid ini juga terbuka bagi seluruh turis yang ingin masuk melihat suasana didalam masjid. Masjid ini terdiri dari dua bangunan besar yang diperkirakan bisa menampung sekitar 5000 jamaah. Saya menyukai beberapa ornamen masjid ini juga warna kubah emasnya yang dominan. juga bagian bawah kubahnya yang didekorasi dengan ujung botol kaca. Konon katanya botol-botol kaca itu merupakan sumbangan kaum dhuafah selama masa pembangunan masjid ini.

Persis di depan masjid ini tepatnya di arab street terdapat berbagai macam kedai makanan yang menjual cenderamata dan makanan halal. Saya menikmati makan siang di salah satu kedai milik muslim india tak jauh dari gerbang utama masjid ini. Saya memesan ayam goreng sambal hijau lengkap dengan segelas mokachino dinginnya. Saya harus mengeluarkan hampir 10$ Singapura untuk makanan ala kadarnya ini, yang jika dirupiahkan kurang lebih Rp100.000,00. Bagi backpacker kere seperti saya, uang sebesar itu sangat sayang dikeluarkan hanya untuk sepiring makanan yang bisa saya dapatkan dengan harga Rp15.000,00 saja di Indonesia.

Universal Studio


Universal Studio berada di Sentosa Island. Pulau kecil di ujung Singapura yang sampai hari ini masih terus di reklamasi. Pulau ini awalnya hanyalah pulau mati tak berpenghuni namun seiring perkembangan Singapura yang semakin pesat pulau sentosa akhirnya bertransformasi menjadi kawasan wisata yang mengundang setidaknya sekin juta pengunjung tiap tahunnya. Universal Studio menjadi daya tarik utama tempat ini. Universal Studio Singapore merupakan Universal Studio keempat di dunia dan pertama di ASEAN. Wahana-wahana wisata di sini bertemakan film-film produksi Universal Studio. Selintas, kawasan wisata ini mengingatkan kita pada Ancol Taman Impian di Jakarta.

Tak banyak yang bisa kuceritakan di sini. Saya tidak pernah tertarik mengunjungi wisata-wisata dengan macam-macam wahananya seperti ini, satu-satunya yang membuatku harus ke sini karena ingin berfoto di depan Bola dunia yang bertuliskan Universal Studio itu. Hahahahhaha
Bayangkan saja, untuk menikmati berbagai macam wahana di dalam universal studio ini kita harus mengeluarkan duit sebesar 50$ Singapura atau setara dengan Rp500 ribu rupiah. Sementara duit di dompet saya hanya sebanyak $70 $ Singapura. Jadi lupakan wahana-wahana itu.

0 komentar:

Singapura seperti bagian lain dari Malaysia yang kebetulan terbelah. Malaysia dan Singapura di pisahkan oleh Selat Johor. Membentang panj...

Melintas Batas part II: Singapore, Negeri yang Kehilangan Identitas

Singapura seperti bagian lain dari Malaysia yang kebetulan terbelah. Malaysia dan Singapura di pisahkan oleh Selat Johor. Membentang panjang dari Jurong ke Changi. Bahkan dulu Singapura pernah secara resmi berada dibawa persekutuan kerajaan-kerajaan Malaya. Sayangnya penyatuan dua negeri itu tidak berjalan lancar. Selang setahun setelahnya Singapura memisahkan diri, kembali mendirikan negerinya sendiri. Hingga kini konflik perbatasan Singapura-Malaysia serta sentimen kebangsaan kedua negara ini masih sering terjadi.
Singapura tadinya merupakan negeri Melayu namun perlahan-lahan masyarakat pribumi itu tergerus, hingga kini Populasi Melayu di Singapura sampai sekarang hanya tersisa kurang lebih 13% dari total penduduk Singapura. Penduduk pribumi itu tersisih di negerinya sendiri, kehilangan identitas, kebanggaan, budaya dan akar rumpun mereka. Masa depan Melayu sedang dipertaruhkan di negeri ini.
Di negara-negara multirasial, perbedaan etnis sering kali menjadi problem. Berbagai macam problematika etnis ini kadang terlihat sangat sulit di urai benang merahnya. Ada arogansi identitas, ada iri hati, ada perasaan saling curiga dan tidak percaya. Namun bagi saya akar dari semua ini hanyalah ketidak adilan. 
Saya teringat tulisan Agustinus Wibowo dalam salah satu bukunya “Negara-negara yang terlalu menonjolkan kebangsaannya cenderung menekan minoritas. Apa yang terjadi untuk bangsa-bangsa  yang bukan “pemilik” negara itu? Diintegrasi ? dilebur ? atau dibantai ?” .
Hipotesa itu terjawab di Singapura. Negara-negara yang tidak menonjolkan kebangsaannya akan kehilangan harga dirinya. Orang-orang Melayu Singapura telah kehilangan kebangsaannya. Di Singapura saya sangat jarang mendengar orang-orang berbahasa melayu, sebagian besar berbahasa Mandarin dan sebagian lagi berbahasa Inggris Singapura dengan aksen Singapura yang kental, Bahasa Singlis (Singapura Inggris) yang menurutku agak susah dipaham oleh pendatang. Bahkan orang-orang yang masih sangat berwajah melayu cenderung lebih nyaman menggunakan bahasa inggris dibanding bahasa melayu itu sendiri.  Satu-satunya yang tersisa dari Melayu di Singapura  mungkin hanyalah Lagu Nasionalnya “Majulah Singpapura” yang hingga sekarang liriknya masih tetap menggunakan bahasa melayu.
Marilah kita Rakyat Singapura
Sama-sama menuju bahagia
Cita-cita kita yang mulia
Berjaya Singapura

Marilah kita bersatu
Dengan semangat yang baru
Semua kita berseru
Majulah Singapura
Majulah Singapura 2X
(lagu Kebangsaan Singapura)

Di Indonesia sendiri pergesekan “mayoritas” dan “minoritas” sedang hangat-hangatnya, Di Indonesia permasalahan etnis ini sangat sensitif. Begitu kau menyinggung etnis tertentu serta merta kau akan dicap “Rasis” ,anti Pancasilais, kebanyakan makan micin, IQ jongkok, bumi datar atau sindiran macam-macam itu lah dan bla..bla.. bla… Sedang di Singapura sendiri kesan pertama saya menjadi Melayu berarti menjadi warga kelas dua. Melayu tidak memiliki ruang gerak yang cukup di sini. Terpinggirkan.  Semoga saja hipotesa saya salah.

Namun demikian, kita orang luar datang hanya sekali atau dua kali tidak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi di sana, kita hanya datang melihat-lihat sekilas, mengumpulkan hipotesa, menarik kesimpulan sepihak lalu pergi dan mungkin tidak lagi berniat untuk kembali, tapi bagi mereka warga negara Singapura kenyataan itu segamblang hitam dan putih.

0 komentar: