Saya menyukai membaca buku ditengah malam buta saat orang-orang terlelap dalam mimpinya saat yang ada hanya suara-suara ketenangan malam tak ada apa-apa, hanya kita, suara lembaran buku terbolak balik dan segelas kopi susu mungkin. saya menghabiskan berlembar-lembar halaman novel tebal yang masih baru saja kubeli tadi pagi. saya duduk di kursi dekat jendela hotel. Menyaksikan kota ini dari ketinggian. Kerlap kerlip lampu kota mengingatkanku pada suatu hari di puncak gunung Tongkor kina. Terakhir kali aku melihat bintang sedekat dan sebanyak itu satu tahun lalu di bulan Desember, menjelang pergantian tahun, di sebuah desa adat di puncak gunung di pedalaman Flores, Nusa Tengara Timur “Wae Rebo”. Jauh dari keramaian, jauh dari peradaban, jauh dari apapun. Terisolasi gunung-gunung menjulang tinggi. Sebuah tempat yang hanya ada satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia.
Saya menghela nafas panjang, saya pernah disitu. Sebuah perjalanan yang mungkin tidak lagi akan pernah terulang selamanya. Saya tersenyum penuh ironi. Perjalanan berhari-hari itu berarti selamanya, perjalanan itu mungkin hanya sekali itu saja. Tak lagi ada yang kedua, ketiga, atau keempat
Meski demikian saya kembali bisa bernostalgia dengan kenangan masa lalu itu. Seseorang kawan seperjalanan selama di Flores berkunjung ke Makasar. Kami dipertemukan secara tak sengaja, saat terjebak di pelabuhan Sape di Bima, sama-sama ketinggalan kapal penyeberangan ke Labuanbajo. Kesamaan kondisi itu memberikan rasa kedekatan secara emosional. Pertemuan-pertemuan konyol seperti itu justru membawa kesan tersendiri, menjadikan pertemanan mungkin bisa lebih awet.
Dia mengunjungi Makasar untuk trip panjangnya berkeliling sulawesi. Saya iri, andai punya cukup waktu saya pasti tidak akan melewatkan trip lintas Sulawesi itu. Hmmm,,, saya kembali mengela nafas panjang. Saya tiba-tiba merindukan perjalanan-perjalananku. Merindukan suatu rasa yang membuncah ketika berada diantara tempat-tempat asing, orang-orang asing, saya tiba-tiba begitu merindukan kebebasan itu.
Sudahlah, Mungkin memang sudah saatnya saya harus berpamitan dan menggantung ransel. Mungkin memang inilah saatnya. Kita harus berdamai dengan keadaan. Mengalah pada takdir, dari pada terus menerus harus menggerutuinya. Mungkin memang kini saya harus berganti peran. Memainkan lakon yang berbeda. Cerita kehidupan yang lain. Entahlah
0 komentar: