China town: Tersesat Meski tidak setertib di Singapura, kereta bawa tanah di Malaysia juga mengagumkan. MRT ini menghubungkan banyak ti...

Melintas Batas Part VI: Epilog


China town: Tersesat
Meski tidak setertib di Singapura, kereta bawa tanah di Malaysia juga mengagumkan. MRT ini menghubungkan banyak titik-titik sentral di Malaysia. Berbeda dengan negeri tetangganya Singapura yang cenderung lebih simpel dengan menggunakan warna-warna untuk membedakan jalur MRTnya, di Malaysia lebih cenderung menggunakan nama-nama daerah tujuannya, seperti halnya  di Jakarta.

Untuk masalah penginapan, di Malaysia seperti  di Indonesia, bertebaran tempat-tempat penginapan yang ramah di kantong, mulai dari hostel, guest house atau hotel kelas melati.  China Town atau Bukit Bintang adalah tempat-tempat yang  sering jadi tempat menginap para pelancong. Selain karena lokasinya berada di pusat kota, akses yang terbilang mudah, penginapan di sini juga terbilang murah meriah.  

Kami sendiri memutuskan menginap di kawasan China Town, dari KLCC Tower Kami turun di stasiun pasar seni. Persis di samping stasiun MRT terdapat halte bus. Pertimbangan kemudahan akses itu lah kenapa saya akhirnya memilih kawasan ini untuk menginap. Kami menginap di hotel China Town Inn.. Kamarnya lumayan bersih, dengan ranjang tingkat dan bagian bawahnya cukup luas untuk ditempati dua orang, tarif semalam kurang lebih 300 ribu. Terdapat fasilitas kamar mandi dalam yang lumayan bersih, Handuk, sabun mandi, AC  namun sayangnya kita tidak diberi sarapan gratis. 

Tak jauh dari tempat kami menginap juga terdapat pusat perbelanjaan murah yang lumayan terkenal di Malaysia Pasar Petalin, selain itu di malam hari di sepanjang jalan di Petalin ini akan berjejeran street food yang sangat menggoda. Sayangnya saya tidak berani mencicipi aneka penganan itu. Saya hanya menikmati sepiring roti canai ditambah kari ayam dengan segelas teh tariknya,


Bukit Jalil: Nasionalisme yang Tergadai 
Seumur hidupku yang sudah menjalan ilebih dari seperempat abad kehidupan yang menyenangkan ini (hahahhahah)  saya tidak pernah sekalipun tertarik untuk mengikuti acara apapun di ruang terbuka yang penuh sesak dengan manusia.  Seperti menonton pertandingan bola misalnya. Saya sedikit paranoid dengan suara-suara bising dan gemuruh-gemuruh manusia dikeramaian. Sekali dulu pas waktu  SMP, saya  pernah menghadiri perlombaan agustusan di lapangan kecamatan kampungku yang di padati manusia. Sialnya saya harus berakhir di puskesmas, kepala saya tiba-tiba berputar-putar, keringat dingin membasahi punggung saya. Saya pingsan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku saya pingsan. Setelah itu saya tidak lagi-lagi berminat menghadiri perkumpulan-perkumpulan manusia seperti itu. Apapun bentuknya.

Pantangan itu entah kenapa terpatahkan di bukit jalil. Jutaan manusia yang berseliweran ini tidak membuatku panik sedikit pun. Tidak ada kecemasan, tidak ada keringat dingin, atau mata berkunang-kunang. Saya lega saja berjalan-jalan mengelilingi stadion bukit jalil. Saya mengunjungi beberapa stan yang menjual oleh-oleh khas sea game juga beberapa stan jajanan yang tidak pernah saya temukan di Indonesia. Orang-orang berteriak teriak memasarkan jualannya,. Bahasanya terdengar lucu dan cepat. Bahasa Melayu moderen.  

Bukit jalil terlihat megah, di sampingnya Axiata arena tak kalah mempesonanya. Lampu-lampu berwarna warni terpasang dimana-mana. Stadion ini berkapasitas sekian ribu orang. Polisi-polisi Malaysia bertampan Melayu  berseliweran membagi-bagikan bendera Malaysia. Saya menggenggam dua bendera berukuran kecil di tanganku. Kukibar-kibarkan dengan lucu. Sambil tersenyum-senyum.  Bisa-bisa saya dicap tidak nasionalis ini, tidak pancasilais. Istiliah-istilah yang lagi tren di nusantara sekarang ini.

Urusan nasionalisme ini terkadang lucu dan rumit, bagaimana kita bisa mengukur Nasionalisme seseorang ?. bagaimana mengukur kecintaan seseorang terhadap negerinya ?. tidak ada takaran pasti yang bisa digunakan untuk mengukur ini.  Apakah TKI di Malaysia atau di berbagai belahan dunia itu tidak Nasionalis. Apakah orang-orang yang berpindah kewarganegaraan itu tidak nasionalis. Tidak mencintai Indonesia, tidak lagi memiliki kebanggaan berbangsa dan berkewarganegaraan Indonesia ? Apakah pejabat negara yang koruptor itu Nasionalis atau tidak ?
 
"Apa gunanya Nasionalisme jika kita harus mati kelaparan. Mulut butuh disumpal makanan, asap dapur harus mengepul. Anak-anak harus bersekolah dan semua itu butuh duit. Nasionalisme tidak pernah bisa diukur dengan IC atau KTP"  begitu kata paman saya yang pernah tinggal lama di Malaysia berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan anak-anaknya lahir dan secara resmi tercatat sebagai warga negara Malaysia. Dua diantaranya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Indonesia, tanah leluhurnya ini. Apakah mereka tidak nasionalis ?

Saya bertemu seorang kawan baru. Meski dia berkewarganegaraan Malaysia tetapi kecintaannya ke Indonesia juga tak bisa di ragukan. Dia lahir dari rahim seorang Ibu berkewarganeragaan Indonesia. Ayahnya sendiri penduduk asli kuala lumpur. Ketika kutanya kemarin pertandingan sepakbola antara indonesia dan malaysia dukung siapa, dia hanya tersenyum. 

Kecintaan kepada negeri tidak bisa diukur hanya dari kartu identitas kita. Apalagi hanya klaim-klaim “kami Indonesia, Kami Pancasila” Orang luar yang tidak terlahir di Indonesia bisa lebih Indonesia di bandingkan kita sendiri. Seperti teman baruku itu, dia mencintai Indonesia sama seperti dia mencitai negerinya Malaysia dan menurutku tidak ada yang salah dengan itu. Kita tidak bisa memaksa hati untuk lebih condong kepada siapa dan kepada apa. Hati punya kehendaknya sendiri. 

Epilog: Garis Batas
Negara-negara bertikai demi garis batas. Rakyatnya di medsos lebih parah lagi saling berdebat demi hal yang jauh tidak lebih penting, adu argumen hingga berbusa-busa, saling klaim, saling menjatuhkan demi kebanggaan yang mereka imani. Menyusuri pertikaian seperti ini seperti menguraikan benang kusut, yang akhirnya tak akan terurai.

Tapal batas yang kita banggakan itu sejatinya hanyalah warisan penjajahan. Tanah-tanah diirs-iris, dibagi-bagi demi kepentingan kolonialisasi. Garis batas yang dibuat oleh orang asing yang mengkotak-kotakkan kita hingga seperti ini. Indonesia dan Malaysia, Korea Utara dan Korea Selatan Pakistan dan India, Israel dan Palestine dan banyak lagi negara-negara di belahan dunia ini yang terkotak-kotakkan demi kepentingan orang asing itu. Bahkan lucunya Indonesia dan Malaysia yang masih serumpun itu bukan hanya berkonfrontasi soal perbatasan, tetapi juga sejarah, adat, lagu daerah, dan “hak paten” budaya. Bagaimana mungkin kita bisa saling mengklaim siapa yang paling berhak atas makanan“tempe” atau “nasi goreng”. Kadang kita lupa Malaysia adalah Nusantara di masa lalu. Dulu dia adalah “Kita” 

Saya bayangkan, suatu hari nanti manusia tak lagi dibatasi oleh batas-batas teritorial negara yang artifisal itu. Kita tak lagi harus di kotak-kotakkan, tidak dibatasi dengan seabrek peraturan-peraturan menyusahkan yang kita buat sendiri. Tidak lagi ada Indonesia, Malaysia, Singapura, China, Jepang, Amerika, Palestine, Arab Saudi atau negara-negara manapun.  Negara-negara itu melebur menjadi satu. menjadi “warga dunia”.

0 komentar: