April Minggu ke 3
Bagaimana seandainya
waktu tidak pernah ditemukan ?
Bagaimana seandainya
alat pengukur waktu tidak pernah diciptakan ?
Masikah ada kata
terlambat ?
Masikah ada manusia
yang terburu-buru ?
Masikah ada manusia
yang menunggu ?
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam
matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini dibuat oleh
seorang ahli Astronomi muslim bernama Ibnu al-Shatir sekitar 3.500 tahun
sebelum Masehi. Jam ini menunjukan waktu berdasarkan letak matahari, dengan
cara memanfaatkan bayangan yang menimpa permukaan datar. Ibnu al-Shatir membagi
waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan
pada musim panas waktu lebih panjang. Dari situlah mungkin cikal bakal
perkembangan jam hingga saat ini, sampai kita sekarang mengenal macam-macam jam.
Namun dibalik rentetan panjang sejarah jam itu
atau dibalik perkembangan jam yang sudah sedemikian modern ini, esensi dari jam
itu sejatinya hanyalah alat penanda waktu. Alat ukur yang menentukan kau datang
tepat waktu atau tidak, atau alat ukur yang bisa menggambarkan seberapa lama
kau akan menunggu seseorang misalnya.
Saya sudah terlalu lama menunggumu, seseorang
yang entah siapa, seseorang yang bahkan wujudnya sudah tidak lagi bisa kuingat
dengan baik. Rasa-rasanya sudah berabad-abad lamanya. Kata orang-orang waktu-waktu
berlalu begitu cepat, namun bagi seseorang yang menunggu waktu justru berjalan
merangkak. Kau bisa merasakan pergeseran detik demi detiknya begitu perlahan,
menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari. Semua seperti dibuat slow motion. Berjalan
perlahan tertatih-tatih meninggalkan jejak luka yang menjadi-jadi.
Sampai
sekarang saya masih terus menunggu “seseorang” itu. Dia yang namanya bahkan
sudah tidak pernah lagi disebut oleh sesiapa, sudah dilupakan orang-orang
bertahun-tahun lamanya. Saya berjalan menyusuri garis pantai, meninggalkan
jejak-jejak kaki di pasir basah. Angin laut bertiup hangat menenangkan. Konon katanya,
dahulu orang-orang bisa berkirim kabar dengan perantara angin laut. Angin laut
mengabarkan banyak hal, menceritakan kisah-kisah dari negeri-negeri yang jauh,
dari orang-orang yang telah lama pergi, begitu Nenekku dulu pernah bercerita.
Namun
perlahan-lahan orang-orang melupakan kebijaksanaan alam itu. Beralih ke
tekhnologi super canggih yang bisa mempertemukan dua orang yang terpisah jarak
beribu-ribu mill hanya dengan sekali pencetan. Pada akhirnya angin laut
terlupakan, manusia kehilangan kepekaan, konektivitas kita dengan alam memudar,
manusia tak lagi bisa memahami bahasa alam, bahasa angin.
Namun
meski demikian, pada dasarnya kemampuan manusia untuk terhubung dengan alam
tidak serta merta hilang. Beberapa orang mungkin masih diberi sedikit kepekaan
meski tidak sekuat orang-orang di jaman dahulu. Atau beberapa orang masih
diberi kemampuan itu, meski sudah samar-samar.
Pernahkah
kalian berjalan-jalan ke pantai, dan tiba-tiba seperti mendengar bisikan
samar-samar entah dari siapa, mungkin
itu pesan yang dibawa oleh angin laut. pesan yang dikirm dari seseorang dari negeri yang jauh, dari seseorang yang telah lama pergi. dari seseorang yang mungkin begitu kau rindukan. seseorang yang membuatmu rela menunggu begitu lama.
Suatu waktu saya berjalan di pantai
seperti sekarang ini, tetiba saya mendengar suara angin berbisik, menyampaikan pesan
entah dari siapa meski hanya samar-samar. Sejak hari itu saya sering
menghabiskan waktuku duduk berlama-lama di sini. Di pinggir pantai ini,
menunggu kabar yang dibawa angin. Saya berharap suatu hari bisa memahami bahasa
itu dengan baik. Saya berharap pesan yang dibawa angin itu adalah pesanmu.
Bersambung
0 komentar: