Bagaimana Rasanya hidup di atas perahu?
Dulu khayalan-khayalan seperti itu sering muncul di alam bawah sadarku. Hidup di atas perahu, jauh dari siapa-siapa jauh dari apa-apa. Hanya laut, air, angin dan bintang di malam hari. Betapa menyenangkannya.
Pagi ini saya menyaksikan kehidupan itu secara nyata, orang-orang berdatangan dari samudera nan luas, membawa hasil laut aneka macam. Muka-muka lelah tergambar jelas di garis wajah yang di dominasi pemuda-pemuda tanggung itu. Semalaman menerjang ombak dan angin laut yang kadang tak bersahabat. Kehidupan di laut tak semenyenangkan yang kubayangkan, fikirku.
Semalaman mempertaruhkan nyawa kami hanya mendapatkan segini. Begitu kata seorang abk yang usianya mungkin masih belasan. Sekotak kecil ikan aneka macam dia perlihatkan.
“Tak ada lagi yang lain ?” tanyaku memastikan. Dia hanya menggeleng menatap sayu.
“Malam ini purnama, ikan-ikan tak ada yang mendekat. Kami bisanya segini”. Saya mengangguk pelan.
Pelan-pelan kutinggalkan dermaga ini. hiruk pikuk penadah ikan memang tak seramai beberapa hari kemarin, hanya satu dua ibu-ibu tua yang tak lelah bergulat dengan kehidupan masih betah disana. Menanti sekantong dua kantong ikan jatah dari ABK yang ingin ditadah dan dijualnya kembali di pasar. Rutinitas seperti ini sudah berjalan lama sekali, sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu.
Awalnya saya bingung, bagaimana transaksi-transaksi bisu itu terjadi. Orang-orang melakukan transaksi tanpa banyak cakap. Hanya gelengan dan anggunkan uang dan kresek hitam berisi ikan bertukar tangan.
Ibu-ibu tua pengepul ikan mengumpulkan kresek demi kresek yang berhasil di tadahnya dari jatah-jatah ABK. Dikumpulkan kedalam termos berisi es batu lalu kemudian di angkut ke pasar, dijual lagi ke pembeli dalam jumlah yang telah dibagi kecil-kecil.
Orang-orang Mandar memang terkenal ulung mengarungi samudera. Nenek moyang mereka konon katanya berasal dari lautan. “Kami tak bisa lepas dari laut, Kami terbiasa hidup diatas potongan-potongan kayu itu. Berjalan diatas daratan berlama-lama seperti ini malah membuat kami mabok. begitu kata mualim kapal sambil tertawa lebar.
“Kenapa dulu tidak mencari pekerjaan yang lain aja, jualan atau jadi pegawai kantoran misalnya”, tanyaku iseng.
Bapak tua itu tertawa, menatapku dengan heran. Kami ini tak bisa hidup didaratan, orang tua kami dahulu dilahirkan di laut, dari sanalah kami berasal. Meski penghasilan menjadi nelayan tak pasti, meski kadang kami harus bertaruh nyawa namun kami justru akan mati jika dipisahkan dari akar kehidupan kami” begitu mualim itu menjawabnya.
Suku Mandar dan Laut memang mungkin dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kecintaan mereka terhadap samudera telah mengakar, salah satu contoh nyata dari kecintaan itu adalah “Sandeq” perahu layar bercadik yang sepenuhnya menggunakan tenaga angin ini telah lama digunakan melaut oleh nelayan Mandar. Perahu ini sudah tercipta sejak masa silam, dan telah banyak mengajarkan para pelaut Mandar untuk menjadi pelaut ulung
Dewasa ini meski Sandeq tak lagi digunakan untuk menangkap ikan perahu buatan tangan yang sangat diakui oleh dunia ini masih terus terjaga eksistensinya. Selain untuk transportasi antar pulau perahu-perahu sandeq ini lebih sering digunakan untk pestival lomba balap sandeq, dan anehnya hanya orang-orang mandar yang bisa dan mampu menunggangi kuda laut ini.
Festival Sandek sendiri hanya ada di Mandar, setiap tahun dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Republik Indonesia Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali Mandar mengadakan lomba balap sandeq yang diberi nama “Sandeq Race”. Konon pestifal ini tidak hanya melibatkan ketangkasan mengendarai perahu berlayar, kemampuan menaklukkan ombak, dan ketajaman membaca arah angin juga sangat dibutuhkan. Tak jarang perlombaan balap sandeq ini melibatkan perkara-perkara mistis, ilmu ghaib bahkan beberapa kali pula lomba balap perahu layar ini menelan korban jiwa. “kalah angin” begitu kata pemerhati budaya Mandar yang sempat kutemui beberapa waktu lalu.
Sandeq adalah Mandar, begitu kata orang-orang. Menurut sejarah Sandeq sendiri sebelumnya bernama Pakur, yakni jenis perahu bercadik yang masih kasar bentuknya dan lebih lebar. Pakur kemudian berevolusi, menjadi sandeq. Pertimbangannya untuk kecepatan. Itulah sebabnya, bentuk ideal Sandeq adalah seperti jantung pisang jika dilihat dari muka. Dan soal kecepatan, konon sandeq adalah perahu tercepat sedunia.
Polewali Mandar, 28 April 2018 |
0 komentar: