Tengkorak Manusia Asli di Pekuburan Batu Tana Toraja Picture by @asdar_munandar |
Suatu malam yang panjang, saya mengalami mimpi yang aneh. seperti sadar dan tidak sadar, seperti nyata dan tidak nyata. saya tidak tahu kenapa saya bisa bermimpi seaneh ini. Saya seperti berada di sebuah lorong gelap dan panjang. Di sisinya ada patung-patung kesatria berpedang panjang. Lorong itu hanya disinari cahaya temaram dari sinar rembulan yang menembus ke sela-sela jendela kaca. Lorong itu begitu sepi, ketika kita melangkah suara langkah kaki menggema ke seluruh ruangan. Terpantul hingga ke sudut-sudut ruangan yang jauh. Hampir-hampir saya merasa mampu mendengar helaan nafas dan degup jantungku. Saya terus melangkah, melewati patung-patung besar itu, menyusuri lorong menuju ke suatu titik cahaya di kejauhan.
Saya merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasi ku di balik kegelapan itu. Lorong ini seperti tak berujung. Cahaya kecil itu semakin terasa jauh. Dari kejauhan suara serigala terdengar sedih. Lolongan nya seperti memanggil seseorang yang telah lama pergi atau kadang terdengar seperti suara-suara kematian. Mengerikan dan menyayat hati.
Saya keluar melalui pintu kecil di ujung lorong itu. Bulan menggantung sempurna dilangit kelabu pudar. Padang pasir maha luas sejauh mata memandang semuanya tampak berbeda di kegelapan malam. Bintang-bintang berwarna terang berkelap kelip terlihat begitu jauh. Angin malam bertiup lembut. dinginnya menusuk tulang.
Saya seperti terjebak di dimensi yang lain. Padang pasir maha luas, langit kelabu sendu dan suara-suara aneh hewan malam yang entah apa. Tiba-tiba dari cela-cela pasir keluar gumpalan-gumpalan lumpur hitam menyembur dengan derasnya. Banyak dan semakin banyak. hanya dalam hitungan menit, lautan pasir berubah menjadi lautan lumpur.
Saya panik, tidak bisa menggerakan kakiku. Bangunan tempatku keluar tadi tiba-tiba lenyap begitu saja. saya sendiri di tengah padang pasir yang tiba-tiba berubah menjadi lautan lumpur ini. Perlahan-lahan saya semakin tenggelam. Lumpur-lumpur hitam itu mulai menenggelamkanku. Saya berusaha mengerakkan diri sebisaku. Sesekali kepalaku tertelan gelombang lumpur itu. Hampir-hampir saja saya putus asa. Saya merasa kematian akan segera menjemput ku. Saya mulai memasrahkan diriku tenggelam di dalam genangan lumpur hitam yang etah dari mana datangnya ini. Pada titik keputusasaanku samar-samar kudengar suara seseorang dari kejauhan memanggil namaku. Saya mencari sumber suara itu. Tak jauh dari tempatku, diatas bukit kulihat siluet seseorang yang berdiri dibawah temarang bulan, lelaki tua berjubah panjang memegangi tongkatnya, dia memanggilku.
"kemarilah nak, lewat jalan ini. kemarilah"
kukerahan sisa-sisa tenaga terakhirku menuju ke sumber suara itu. Menyibak lumpur-lumpur hitam. Saya akhirnya bisa menggapai bukit itu. Anehnya saya tidak menemukan siapapun disana. Tidak ada sesiapa bahkan jejak manusia pun tidak kutemukan di sini.
Angin tiba-tiba bertiup kencang dan tiba-tiba saja langit malam berganti siang. Kudapati diriku berdiri di padang rumput nan luas. Langit begitu biru. bersih tanpa awan. Sejauh mata memandang hanya hijau dan hijau, domba-domba putih berbulu tebal berlari ke sana kemari. Lucu dan menggemaskan.
Seekor Elang yang kesepian terbang sendiri membumbung tinggi ke langit, berusaha melawan angin.
Hewan pengerat kecil yang sedang sial tercengkram lemah di cakarnya. Seruling gembala terdengar syahdu, seorang anak menyanyikan lagu yang aneh, sebuah lagu yang seperti tak pernah dinyanyikan seorang pun dibelahan bumi manapun sebelumnya. Entah kenapa lagunya terdengar begitu menyedihkan.
Saya menyusuri jalan setapak menuju arah suara itu. Rumput-rumput melambai-lambai tertiup angin. Jalan setapak itu menuju ke hutan tua nan lebat. Saya terus menyusuri jalan setapak itu. Hutan tua yang eksotis, pohon-pohon besar yang mungkin tak kalah tuanya berdiri menjulang ke langit. Saya terus berjalan entah berapa lama. Berjalan dan terus berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan.
Di ujung jalan saya melihat sebuah gerbang Istana yang begitu besar. Bangunan itu serperti kastil-kastil abad pertengahan, batu-batu granit besar-besar tersusun kokoh, berlumut dan tampak begitu tua. Menara-menara menjulang tinggi. Istana itu bertingkat-tingkat mengerucut sampai ke tingkatan paling atas. Saya menyeberangi jembatan menuju pintu gerbang utama. Suara nyanyian itu semakin terasa dekat. Lagu yang aneh.
(bersambung mimpi yang aneh Bag II)
0 komentar: