Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu
mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan baru bermula, burung kutilang
asyik bernyanyi di pohon mangga halaman depan menggoda kutilang betina yang
bertengger sombong di dahan paling atas. Sabtu pagi ini seperti sabtu pagi
sebelumnya, juga sabtu sebelum-sebelumnya, dan entah sampai ke beberapa sabtu
lagi. Lagi-lagi saya duduk di sudut terpojok di puskot ini. Bagian
terfavorit. Sudut di mana kalian bisa
mengamati berbagai kesibukan Poskut dengan leluasa. Mengamati dua sejoli yang bersmesraan,
takut-takut, malu-malu. wajahnya bersemu
merah, tangannya saling menggenggam di balik meja, sesekali saling melirik,
tersipu. Ahh begitiluah cinta, sejak jaman bahula kisahnya selalu saja
seperti itu.
Sepagi ini Puskot sudah segini ramainya, mungkin efek liburan
lebaran Kurban kemarin. Setelah puas mengisi perut dengan beraneka makanan
olahan daging, sekarang manusia-manusia ini lagi pada sibuk menutrisi otaknya. Berbicara
tentang kurban, banyak hal menarik yang akan saya tuliskan. Dua tahun ini saya
jadi panitia Kurban di Lembaga tempat saya berasosiasi. Dan menariknya, dua tahun
ini pula saya selalu dapat tugas mengantar paket daging ke daerah terpencil di
tempat saya ini. Daerah pedalaman, bisa dikatakan
masih terputus dari dunia luar, terisolasi dari peradaban. Bukan mendramatisir
tapi justru kenyataannya jauh lebih parah di banding dengan apa yang kalian
bisa bayangkan.
Tahun lalu misalnya, saya dan beberapa teman saya ditugaskan
mengantar paket daging ke titik terdalam di kawasan lereng Gunung Semeru, nama
desanya aku lupa persisnya. Setau saya desa itu masih terletak di kecamatan
Senduro. Didiami oleh masyoritas suku tengger yang kebanyakan dari mereka masih
menganut kepercayaan animisme. Suatu fakta menarik ditorehkan para aktivis
dakwah yang ditugaskan memperkenalkan Islam di sana. Sejak beberapa tahun silam pertumbuhan Islam kian subur dan bahkan kini hampir sebagian
dari penduduk telah beralih meninggalkan agama nenek moyang mereka
Akses masuk desa terisolasi, tanpa penerangan dan benar-benar
terputus dari dunia luar, dan lucunya kalian tau aku iseng nanya ke salah satu
dari penduduk desa perihal negeri kita, dengan polosnya dia menggelengkan
kepala, sambil tersenyum menjawab “tidak tahu”. Astaga gumamku. Jangankan
perkembangan dunia luar, melihat cahaya lampu di malam hari saja mungkin mereka
belum pernah. Ahh... Hidup memang kadang sangat paradoksal, di dunia bagian
lain negeri ini para pemimpin negeri kita entah meributkan perkara apa, mereka
yang katanya wakil-wakil kita, mereka yang katanya akan memperjuangkan
nasib-nasib kita, mereka yang katanya akan ini, akan itu., bla..bla..bla... ah,
bosen. Dan sialnya, justru merekalah yang menikmati segala kemewahan hidup,
bergelimang dengan fasilitas serba modern dan mungkin tak pernah berpikir ada
setitik kehidupan di pelosok negeri ini.
Matahari beranjak matang, angin timur bertiup kencang membawa
aroma hujan dari kejauhan sana. Oktober ini Kemarau akan segera berakhir. Suara
takbir masih terdengar mendayu-dayu dari balik celah-celah bukit. Baru saja
tadi pagi umat Islam merayakan lebaran Iduel Adha atau lebih sering disebut
Iduel Kurban, kesibukan yang sama terlihat hampir diseluruh masjid-masjid besar
di kota Malang, menyembelih dan menguliti sapi-sapi dan kambing, kemudian di
bungkus kecil-kecil untuk dibagikan ke masyarakat banyak. Euforia lebaran tadi
pagi masih kental terasa. Aroma daging segar memenuhi udara. Orang-orang tapak
lalu-lalang membawa berkantong-kantong daging, kesibukan di sana-sini. Beberapa
orang masih tampak bersitegang dengan tengkulak kambing, saling ngotot
menentukan harga yang pas. Seperti tahun kemarin, tim ekspedisi kurban kami
telah bersiap berangkat menuju lokasi masing-masing. Kali ini tim kami tidak
lagi ke lereng Gunung Semeru, melainkan di sebuah desa kecil di kaki Gunung
Kawi. Kalian pasti familiar dengan nama gunung yang satu ini. Konon katanya di
gunung ini sering ditempati pesugihan para pencari kekayaan instan.
Kami mengantar lebih dari 100 kantong daging sapi dan tiga ekor kambing
utuh yang telah dikuliti ke sana. Perjalanan sedikit mencekam, dibutuhkan
setidaknya tiga atau empat jam perjalanan untuk sampai pada tempat tujuan.
Jalanan berliku, tebing-tebing curam, tanjakan dan hutan-hutan pinus menemani
perjalanan kami. Perjalanan semakin melambat, beratnya daging yang harus di
bonceng ditambah kabut pekat menyelimuti lereng gunung menghambat kecepatan
sepeda kami, jarak pandang sangat terbatas. Aroma daging terbakar dari tetesan
darah yang kebetulan mengenai knalpot menambah kemistisan perjalanan ini.
Berkendara di antara kabut di tengah hutan pinus membuat perjalanan terasa
menyusuri dimensi lain belahan bumi ini. Ngeri dan mendebarkan. Lepas Isya kami
sampai tujuan, menyerahkan paket kurban ke masyarakat yang sedari tadi menanti
kami di sana. Kami disambut hangat oleh warga sekitar. Kepenatan terbayar
sudah. Melihat senyum senang penduduk desa, membayangkan nikmatnya gulai
kambing yang mungkin hanya bisa dirasakan sesekali ini. Wajah-wajah lugu dan
polos anak-anak kecil berlarian di sekitar kami, tertawa riang dan sesekali
melirik malu-malu. Prosesi serah terima
daging di laksanakan, sejam kemudian Setelah berbicara satu dua kalimat, kami
pamit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, di samping karena tumpukan
daging-daging yang tadi sudah berpindah tangan juga ada perasaan bahagia
membuncah di dadah menjadikan kendaraan terasa begitu ringan. Ah, betapa
sederhananya kebahagiaan itu.
Esoknya kami melanjutkan ekspedisi
daging kurban. mengantar beberapa ekor kambing ke daerah Malang selatan,
tepatnya di desa nelayan di pesisir pantai Kondang Merak. Desa yang di huni
tidak lebih dari 35 kepala keluarga.
Rute ke sana lumayan sulit, beruntung kali ini kita tidak lagi
menggunakan sepeda motor sambil membonceng daging-daging di belakang kami. Kami
menumpang mobil yang disediakan yayasan.
Dari Malang setidaknya dibutuhkan 2 sampai 3 jam perjalanan. Untuk sampai
tujuan kita melewati kebun-kebun tebu penduduk dan terakhir sebelum memasuki
pesisir pantai kita melewati jalanan berbatu di tengah hutan-hutan belantara, kira-kira 10 km jauhnya. Gelap.
Sesekali satwa-satwa liar penghuni hutan tersorot lampu mobil, menyeberang
jalan.
Azan isya berkomandan persis ketika
kami memarkir mobil di halaman tetua kampung. Kami pun memutuskan menunaikan
kewajiban kami dulu, menghamba kepada zat Yang telah menganugerahkan
kemudahan-kemudahan hidup kepada kami, termasuk kemudahan perjalanan kali ini.
Sholat isya berlangsung khidmat. Angin sepoi-sepoi bertiup menerobos dinding
bambu langgar yang terlihat bolong sana
sini. Hampir semua rumah di kampung nelayan ini masih belum permanen.
Berdinding bambu, beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah.
Setelah sholat prosesi serah terima
pun dilaksanakan. Prosesi sederhana, diserahkan secara simbolis yang diwakili
tetua setempat. Setelahnya kami disuguhi aneka panganan laut, dari cumi-cumi
sampai ikan bakar lezat yang menggiurkan. Tak tahan rasanya tidak segera
menghabiskan makanan yang tersaji. Bener saja tak butuh waktu lama makanan yang
ikan-ikan tersedia tandas sudah, menyisakan piring-piring belepotan dan
tulang-tulang ikan berserakan.
Malam baru beranjak, kami memutuskan
menikmati indahnya malam di pantai sejenak. Setelah kemarin menikmati sejuknya
lereng gunung, kini aku duduk termenung di atas hamparan pasir putih di pantai
Kondang Merak. Memperhatikan dari kejauhan bulir-bulir ombak yang tiada
hentinya bergemuruh, berkejar-kejaran tanpa lelah. Angin pantai berhembus
pelan, terasa hangat, sehangat penghuni pesisir pantai ini. Awan pekat menutupi
cahaya rembulan yang seharusnya bersinar lembut, suara bergemuruh
bersahut-sahutan. Teman-temanku entah ke mana, berlari menelusuri pantai
menikmati pijatan lembut pasir-pasir pantai. Aku duduk sendiri. Termenung.
Mencoba berkontemplasi, merenungkan berbagai hal yang selama hidupku ini belum
bisa kupecahkan, merenungkan kembali perjalanan-perjalanan saya selama ini.
Berusaha kembali meraba definisi kebahagian hidup. Dan terakhir aku lagi-lagi
harus banyak belajar, belajar tentang banyak hal, terutama pancaran cahaya
kebijaksanaan alam yang selama ini terlalu luput kita perhatikan.
“semoga
saja tahun depan masih diberi kesempatan belajar banyak dari perjalanan hidup”
0 komentar: