Ilustrasi gambar diambil dari artikel berjudul "Kala Hujan Menyapa Bumi"
Tak seperti biasanya, Sabtu ini aku datang terlambat. Tempat paling favorit di sudut pojok puskot berganti penghuni, aku yang biasanya d...
Puskot, Hujan dan Gagasan Diri Cooley
Tak seperti biasanya, Sabtu ini aku datang terlambat. Tempat paling favorit di sudut pojok puskot berganti penghuni, aku yang biasanya duduk di sana seharian kini digantikan sepasang sejoli duduk cemberut saling bertolak. Kisah cinta berubah pahit, tak ada lagi cubitan-cubitan manja atau lirikan-lirikan malu-malu tersipu. Peran dingin sedang berlangsung.
Akhir November, musim hujan tiba. Selalu saja menyenangkan memandangi jutaan kubik air tumpah ruah membasahi berjengkal-jengkal tanah di belahan bumi ini. Hujan selalu mengingatkan cerita-cerita masa lalu, dulu sekali ketika jiwa-jiwa ini masih seringan kapas. kaki-kaki kecil kami berlari mengejar hujan, tertawa riang, polos dan jujur. Ya Tuhan., aku tiba-tiba begitu merindukan masa kecilku, teman-teman kecilku, desaku, kampung halamanku, rumahku, dan kejujuran hatiku. Aku merasa begitu kehilangan mereka sekarang.
Hujan membawa berjuta kebaikan, kehidupan-kehidupan baru bermunculan dari retakan-retakan tanah sisa kemarau panjang. Aroma tanah basah yang menyegarkan, dedaunan lebat menghijau, dan yang paling menyenangkan hujan selalu memberi kesempatan kepada kita untuk berhenti sejenak, mengenang masa lalu, melihat kembali siapa dan apa kita di masa itu dan kemudian membandingkannya siapa dan apa kita sekarang. Hujan selalu membuatku merindukan diri-diri di masa lalu itu. Diri yang bebas, diri yang jujur, diri yang apa adanya, diri yang tidak terbelenggu berbagai macam perspektif dan ideologi.
Berbicara tentang diri, aku sedikit terusik dengan gagasan diri yang dikembangkan oleh Cooley, dimana diri direpresentasikan sebagai pribadi-pribadi yang penuh tipu daya dan penuh kepura-puraan. Gagasan diri Cooley terdiri dari tiga komponen utama.Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi kita kemudian mempersepsi prilaku, tujuan, perbuatan, karakter, kawan-kawan kita, dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita pun terpengaruh oleh persepsi-persepsi tersebut. Gampangnya anda pernah memiliki baju yang anda sangat senangi, karena saking senangnya anda berkali-kali menggunakannya. Nah perhatikan alasan kenapa anda menyenangi baju tersebut. Bisa jadi awalnya anda tidak nyaman atau anda kurang cocok ukuran atau warnanya, tapi begitu anda mengenangkannya ternyata orang-orang di sekeliling anda memujinya, apa yang terjadi kemudian, jadilah baju tersebut urutan teratas dalam pajangan lemari anda. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi anda menyukai barang tertentu dan begitu nyaman menggunakannya, tapi ternyata pandangan negatif datang dari orang-orang di sekitar kita jadilah kita membohongi hati nurani. Lebih jauh Cooley dalam teorinya the looking-glass self, menegaskan bahwa konsep-diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya, jadi diri lebih menekankan pentingnya respons orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Aku sebagai diri hampir menerima seratus persen gagasan ini dan juga hampir menolak seratus persen.
Hujan masih terus mengguyur kota kami, kabut tipis dari balik jendela kaca menghalangi pandangan keluar. Sendu langit kota sesendu hatiku, dalam keheningan puskot mengalir lembut lantunan lagu Ahmad Albar “Panggung Sandiwara”.
Sabtu 26 Okt, 2013
Ilustrasi gambar diambil dari artikel berjudul "Kala Hujan Menyapa Bumi"
Sabtu 19 Oktober 2013 Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan b...
Kelana Kurban: Dari Lereng Gunung Kawi Ke Pesisir Pantai Kondang Merak
Fajar beranjak menyingsing , satu malam berlalu lagi, satu
mimpi menyesakkan terlewati lagi. Awal kehidupan baru bermula, burung kutilang
asyik bernyanyi di pohon mangga halaman depan menggoda kutilang betina yang
bertengger sombong di dahan paling atas. Sabtu pagi ini seperti sabtu pagi
sebelumnya, juga sabtu sebelum-sebelumnya, dan entah sampai ke beberapa sabtu
lagi. Lagi-lagi saya duduk di sudut terpojok di puskot ini. Bagian
terfavorit. Sudut di mana kalian bisa
mengamati berbagai kesibukan Poskut dengan leluasa. Mengamati dua sejoli yang bersmesraan,
takut-takut, malu-malu. wajahnya bersemu
merah, tangannya saling menggenggam di balik meja, sesekali saling melirik,
tersipu. Ahh begitiluah cinta, sejak jaman bahula kisahnya selalu saja
seperti itu.
Sepagi ini Puskot sudah segini ramainya, mungkin efek liburan
lebaran Kurban kemarin. Setelah puas mengisi perut dengan beraneka makanan
olahan daging, sekarang manusia-manusia ini lagi pada sibuk menutrisi otaknya. Berbicara
tentang kurban, banyak hal menarik yang akan saya tuliskan. Dua tahun ini saya
jadi panitia Kurban di Lembaga tempat saya berasosiasi. Dan menariknya, dua tahun
ini pula saya selalu dapat tugas mengantar paket daging ke daerah terpencil di
tempat saya ini. Daerah pedalaman, bisa dikatakan
masih terputus dari dunia luar, terisolasi dari peradaban. Bukan mendramatisir
tapi justru kenyataannya jauh lebih parah di banding dengan apa yang kalian
bisa bayangkan.
Tahun lalu misalnya, saya dan beberapa teman saya ditugaskan
mengantar paket daging ke titik terdalam di kawasan lereng Gunung Semeru, nama
desanya aku lupa persisnya. Setau saya desa itu masih terletak di kecamatan
Senduro. Didiami oleh masyoritas suku tengger yang kebanyakan dari mereka masih
menganut kepercayaan animisme. Suatu fakta menarik ditorehkan para aktivis
dakwah yang ditugaskan memperkenalkan Islam di sana. Sejak beberapa tahun silam pertumbuhan Islam kian subur dan bahkan kini hampir sebagian
dari penduduk telah beralih meninggalkan agama nenek moyang mereka
Akses masuk desa terisolasi, tanpa penerangan dan benar-benar
terputus dari dunia luar, dan lucunya kalian tau aku iseng nanya ke salah satu
dari penduduk desa perihal negeri kita, dengan polosnya dia menggelengkan
kepala, sambil tersenyum menjawab “tidak tahu”. Astaga gumamku. Jangankan
perkembangan dunia luar, melihat cahaya lampu di malam hari saja mungkin mereka
belum pernah. Ahh... Hidup memang kadang sangat paradoksal, di dunia bagian
lain negeri ini para pemimpin negeri kita entah meributkan perkara apa, mereka
yang katanya wakil-wakil kita, mereka yang katanya akan memperjuangkan
nasib-nasib kita, mereka yang katanya akan ini, akan itu., bla..bla..bla... ah,
bosen. Dan sialnya, justru merekalah yang menikmati segala kemewahan hidup,
bergelimang dengan fasilitas serba modern dan mungkin tak pernah berpikir ada
setitik kehidupan di pelosok negeri ini.
Matahari beranjak matang, angin timur bertiup kencang membawa
aroma hujan dari kejauhan sana. Oktober ini Kemarau akan segera berakhir. Suara
takbir masih terdengar mendayu-dayu dari balik celah-celah bukit. Baru saja
tadi pagi umat Islam merayakan lebaran Iduel Adha atau lebih sering disebut
Iduel Kurban, kesibukan yang sama terlihat hampir diseluruh masjid-masjid besar
di kota Malang, menyembelih dan menguliti sapi-sapi dan kambing, kemudian di
bungkus kecil-kecil untuk dibagikan ke masyarakat banyak. Euforia lebaran tadi
pagi masih kental terasa. Aroma daging segar memenuhi udara. Orang-orang tapak
lalu-lalang membawa berkantong-kantong daging, kesibukan di sana-sini. Beberapa
orang masih tampak bersitegang dengan tengkulak kambing, saling ngotot
menentukan harga yang pas. Seperti tahun kemarin, tim ekspedisi kurban kami
telah bersiap berangkat menuju lokasi masing-masing. Kali ini tim kami tidak
lagi ke lereng Gunung Semeru, melainkan di sebuah desa kecil di kaki Gunung
Kawi. Kalian pasti familiar dengan nama gunung yang satu ini. Konon katanya di
gunung ini sering ditempati pesugihan para pencari kekayaan instan.
Kami mengantar lebih dari 100 kantong daging sapi dan tiga ekor kambing
utuh yang telah dikuliti ke sana. Perjalanan sedikit mencekam, dibutuhkan
setidaknya tiga atau empat jam perjalanan untuk sampai pada tempat tujuan.
Jalanan berliku, tebing-tebing curam, tanjakan dan hutan-hutan pinus menemani
perjalanan kami. Perjalanan semakin melambat, beratnya daging yang harus di
bonceng ditambah kabut pekat menyelimuti lereng gunung menghambat kecepatan
sepeda kami, jarak pandang sangat terbatas. Aroma daging terbakar dari tetesan
darah yang kebetulan mengenai knalpot menambah kemistisan perjalanan ini.
Berkendara di antara kabut di tengah hutan pinus membuat perjalanan terasa
menyusuri dimensi lain belahan bumi ini. Ngeri dan mendebarkan. Lepas Isya kami
sampai tujuan, menyerahkan paket kurban ke masyarakat yang sedari tadi menanti
kami di sana. Kami disambut hangat oleh warga sekitar. Kepenatan terbayar
sudah. Melihat senyum senang penduduk desa, membayangkan nikmatnya gulai
kambing yang mungkin hanya bisa dirasakan sesekali ini. Wajah-wajah lugu dan
polos anak-anak kecil berlarian di sekitar kami, tertawa riang dan sesekali
melirik malu-malu. Prosesi serah terima
daging di laksanakan, sejam kemudian Setelah berbicara satu dua kalimat, kami
pamit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, di samping karena tumpukan
daging-daging yang tadi sudah berpindah tangan juga ada perasaan bahagia
membuncah di dadah menjadikan kendaraan terasa begitu ringan. Ah, betapa
sederhananya kebahagiaan itu.
Esoknya kami melanjutkan ekspedisi
daging kurban. mengantar beberapa ekor kambing ke daerah Malang selatan,
tepatnya di desa nelayan di pesisir pantai Kondang Merak. Desa yang di huni
tidak lebih dari 35 kepala keluarga.
Rute ke sana lumayan sulit, beruntung kali ini kita tidak lagi
menggunakan sepeda motor sambil membonceng daging-daging di belakang kami. Kami
menumpang mobil yang disediakan yayasan.
Dari Malang setidaknya dibutuhkan 2 sampai 3 jam perjalanan. Untuk sampai
tujuan kita melewati kebun-kebun tebu penduduk dan terakhir sebelum memasuki
pesisir pantai kita melewati jalanan berbatu di tengah hutan-hutan belantara, kira-kira 10 km jauhnya. Gelap.
Sesekali satwa-satwa liar penghuni hutan tersorot lampu mobil, menyeberang
jalan.
Azan isya berkomandan persis ketika
kami memarkir mobil di halaman tetua kampung. Kami pun memutuskan menunaikan
kewajiban kami dulu, menghamba kepada zat Yang telah menganugerahkan
kemudahan-kemudahan hidup kepada kami, termasuk kemudahan perjalanan kali ini.
Sholat isya berlangsung khidmat. Angin sepoi-sepoi bertiup menerobos dinding
bambu langgar yang terlihat bolong sana
sini. Hampir semua rumah di kampung nelayan ini masih belum permanen.
Berdinding bambu, beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah.
Setelah sholat prosesi serah terima
pun dilaksanakan. Prosesi sederhana, diserahkan secara simbolis yang diwakili
tetua setempat. Setelahnya kami disuguhi aneka panganan laut, dari cumi-cumi
sampai ikan bakar lezat yang menggiurkan. Tak tahan rasanya tidak segera
menghabiskan makanan yang tersaji. Bener saja tak butuh waktu lama makanan yang
ikan-ikan tersedia tandas sudah, menyisakan piring-piring belepotan dan
tulang-tulang ikan berserakan.
Malam baru beranjak, kami memutuskan
menikmati indahnya malam di pantai sejenak. Setelah kemarin menikmati sejuknya
lereng gunung, kini aku duduk termenung di atas hamparan pasir putih di pantai
Kondang Merak. Memperhatikan dari kejauhan bulir-bulir ombak yang tiada
hentinya bergemuruh, berkejar-kejaran tanpa lelah. Angin pantai berhembus
pelan, terasa hangat, sehangat penghuni pesisir pantai ini. Awan pekat menutupi
cahaya rembulan yang seharusnya bersinar lembut, suara bergemuruh
bersahut-sahutan. Teman-temanku entah ke mana, berlari menelusuri pantai
menikmati pijatan lembut pasir-pasir pantai. Aku duduk sendiri. Termenung.
Mencoba berkontemplasi, merenungkan berbagai hal yang selama hidupku ini belum
bisa kupecahkan, merenungkan kembali perjalanan-perjalanan saya selama ini.
Berusaha kembali meraba definisi kebahagian hidup. Dan terakhir aku lagi-lagi
harus banyak belajar, belajar tentang banyak hal, terutama pancaran cahaya
kebijaksanaan alam yang selama ini terlalu luput kita perhatikan.
“semoga
saja tahun depan masih diberi kesempatan belajar banyak dari perjalanan hidup”
Sabtu ini seperti sabtu pagi sebelumnya dan juga sabtu pagi sebelum-sebelumnya. Saya selalu menyisihkan waktu khusus ini di Puskot, du...
Ranu Kumbolo: Perjalanan Menaklukkan Hati
Sabtu
ini seperti sabtu pagi sebelumnya dan juga sabtu pagi
sebelum-sebelumnya. Saya selalu menyisihkan waktu khusus ini di Puskot,
duduk manis di bagian pojok belakang. Menghabiskan waktu menjelajahi
imajinasi para penulis-penulis buku. Menikmati waktu libur, menikmati
duniaku, menikmati kesendirianku dan mengamati fenomena unik para
pengunjung Puskot. Selalu saja ada cerita yang berbeda tiap pekannya.
Dua sejoli yang memadu kasih diam-diam, takut-takut, malu-malu.
Bapak-bapak usia paru baya yang beromatisan ria (hehehhe.. asumsi saya mungkin itu istri muda atau istri barunya).
Penjaga perpustakaan yang lalu lalang menata buku, sekali-kali
tersenyum sopan kepada para pengunjung. Suara lembut lembaran-lembaran
kertas yang dibolak-balik. Celoteh-celoteh tertahan bocah-bocah cilik
yang kebetulan diajak orang tuanya berkunjung ke puskot. Semuanya
membuat saya kangen, menjadikan tak sabaran menanti sabtu datang lagi,
saking kangennya sampai-sampai saya tidak sadar hari ini datang kepagian
heehehehe . Pagi ini saya kembali duduk di bagian terbaik di Puskot,
duduk di sisi pojok belakang bagian paling aku senangi.
Minggu lalu di puskot ada workshopnya Bang Anwar Fuadi pengarang bukunya negeri lima menara itu (udah aku ceritain kan pada episode sebelumnya).
Tapi kali ini bukan tentang Bang Fuadi itu lagi khehe.., kali ini hanya
ingin menceritakan tentang perjalanan saya beberapa Minggu yang lalu ke
Semeru, pasti pada tau kan Gunung Semeru (itu yang di filmnya 5 Cm, yakin kalian pasti udah pada nonton). Biar lebih jelas, sedikit akan aku ulas tentang Semeru.
Nah..
Semeru adalah gunung tertinggi dan salah satu gunung merapi yang masih
aktif di pulau jawa, dengan ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut
(mdpl),. Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi
Kabupaten Malang dan Lumajang, dengan posisi geografis antara 8°06' LS
dan 120°55' BT. Puncak Semeru dikenal dengan nama Mahameru dan kawah di
puncaknya di beri nama Jonggring Saloko, menurut legenda Gunung Semeru
dipercaya sebagai Bapak Gunung Agung yang berada di Bali. Gunung Semeru
juga dipercaya merupakan
tempat tinggal atau puncak abadi para Dewa. Mayoritas penduduk di sini
masih menganut paham kejawen dan beberapa beragama Hindu dan islam. Maka
tak heran ketika kalian berkunjung ke sana, ritual-ritual bernilai
budaya dan tradisi-tradisi masa lalu masih kental terasa. Dan itu
memberikan eksoktika tersendiri.
Orang
pertama yang mendaki gunung ini adalah Clignet (1838) seorang ahli
geologi berkebangsaan Belanda. Hingga kini tak terhitung banyaknya
pendaki-pendaki yang telah menaklukkan gunung Semeru ini. Pemandangan
dan petualangan yang menakjubkan menyebabkan jalur pendakian ini selalu
ramai. Oh iya di sini juga tercatat kisah momentual, Soe Hok Gie, salah seorang tokoh aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, meninggal di Gunung Semeru pada tahun 1969 akibat menghirup asap beracun di Gunung Semeru. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Meskipun demikian denyut di Semeru seperti tak pernah berhenti, tiap
saat selalu saja ada yang terpanggil, datang dan datang lagi. Seperti
pada hari ini, sabtu 25 september 2013, saya dan segerombolan
kawan-kawan saya, turut menorehkan kisah kami disini. Di Gunung Semeru.
Kisah tentang perjalanan anak-anak manusia untuk lebih mengenal
alam-Nya.
Perjalanan
ke Semeru setidaknya membutuhkan waktu 3 sampai 4 hari pulang pergi.
Dengan titik tolak awal keberangkatan di Ranu Pani, desa terakhir di
kaki Semeru. Kalian bisa ke Ranu Pani dengan menumpang truk sayur atau
jip. Dari Malang, mungkin dibutuhkan kurang lebih 3 sampai 4 jam untuk
tiba di Ranu Pani. Kami
tiba di kaki Gunung Semeru saat matahari malu-malu menampakkan sinarnya
dari balik bukit. Pagi, awal yang indah memulai perjalanan. Untuk
sampai puncak setidaknya kita akan melewati beberapa titik
pemberhentian: Ranu Pani à watu Rejeng à Ranu Kumbolo à Oro-oro Ombo à Kali Mati dan terakhir sebelum sampai puncak Mahamaru,
pendaki akan menginap di Arcopodo dan meneruskan perjalanannya
menjelang subuh. Menikmati matahari terbit di puncak Mahameru, dataran
tertinggi di tanah Jawa.
Dari
Ranu Pani ke Ranu Kumbolo perjalanan kami tempuh kurang lebih 4 jam
dengan jarak perjalanan +/- 14 km. Dibanding perjalanan saya sebelumnya
ke Panderman, menurutku track ke Ranu Kumbolo lebih enak dan lebih
landai, menyusuri lereng bukit dan mengikuti track pendakian lumayan
mudah. Di sepanjang perjalan kalian akan menikmati indahnya goresan
Tuhan, seluet puncak mahameru dari kejahuan, hutan pinus dan cemara,
lereng-lereng bukit ditumbuhi edelweis, dan beruntung kami sempat
melihat kepulan asap dari puncak Mahameru. Beberapa
kali kami break istirahat, setidaknya ada 4 sampai 5 pos peristirahatat
yang tersedia. Sepanjang perjalanan, kami sesekali berpapasan dengan
pendaki-pendaki yang turun gunung, saling sapa dan saling memberi
semangat. Entahlah ada ikatan batin tersendiri yang menyatukan hati-hati
para pendaki, membuat suasana terasa lebih akrab.
Matahari beranjak matang, menjelang Dzuhur akhirnya sampailah kami di Ranu
Kumbolo. Perjalanan yang melelahkan terbayar sudah. Di depan kami
terhampar danau indah dengan air biru kehijau-hijauan. Berada di
tengah-tengah bukit, di kelilingi pohon pinus dan cemara, padang sabana
terhampar luas. MasyaAllah, Sepotong surga di Indonesia, keindahan
semacam apa ini. Kami terdiam, beberapa teman perjalananku terlihat
menyeka ujung matanya. Terharu.
Selalu
ada rasa bangga, selalu ada rasa haru, ketika kita berhasil berada pada
titik tertentu dalam kehidupan kita. Seperti halnya pada hari ini,
setelah menempuh perjalanan berjam-jam kini kami di sini. Berdiri
bersama rumput, pinus dan kabut. Mengalahkan batas-batas ego,
mengalahkan batas-batas rasio. Karenanya sejatinya pendakian bukanlah
perjalanan menaklukkan gunung tapi lebih dalam, perjalanan ini adalah
perjalanan menaklukkan hati dan aku menamainya perjalanan ini adalah
perjalanan cinta.
Dua
jam, yah kami di sana memang hanya dua jam, tidak lebih. Dan bagiku itu
sudah sangat cukup. Mungkin jika terlalu lama di sana maka keindahannya
semakin terasa hambar, hilang rasa spesialnya. Bagiku jauh lebih
menyenangkan mengenang sepotong kejadian yang hanya selintas terjadinya.
Memberikan cela untuk membayangkan lagi kenangan itu, dan itu akan
membuat semakin penasaran saat mengenangnya. Kami memutuskan pulang.
Ranu Kumbolo sudah cukup bagi kami. Sedari awal kami memang tidak
merencanakan sampai ke puncak Mahameru. Mungkin lain waktu, jika Tuhan
memberi banyak kesempatan lagi.
Matahari
menua, sayup-sayup suara adzan magrib terdengar dari balik pepohonan.
Sepasang kunang-kunang terbang melintas di antara cela-cela ilalang.
Bunyi hewan-hewan malam bersahut-sahutan, aroma rumput basah dan
sesekali hembusan dingin angin gunung bertiup membawa kabut. Kami
akhirnya tiba di desa persis ketika matahari beralih menyinari bagian
lain bumi ini. Hari ini cukup sudah. Langkah kaki semakin kaku mungkin
pelumas di engselnya habis setelah seharian bekerja terlalu keras
menempuh perjalan kurang lebih 8 jam pulang pergi. Astaga.. kalian
pernah lihat mumi yang malang di filemnya paraNorman, persis seperti
itu. Engsel lutut tak bisa ditekuk, langka tertatih sambil ngangkang,
muka super cemong, rambut awut-awutan, aroma menyengat bau kelek.,
ckckkckc...
Seakan
tak cukup terminologi kata untuk menceritakan perjalanan kami ke sana,
tak cukup simbol untuk menggambarkan rasa yang mendedah di hati. Biarlah
kalian sendiri nanti yang akan menggambarkan rasanya dengan hati. Saat
di mana kalian juga menorehkan kisah kalian di sana, meninggalkan
sepenggal hati kalian di lereng Gunung Semeru.
Saya
Axxxr Mxxxxxxr bangga pernah di sini, bersama mereka orang-orang yang
berhati baik, orang-orang yang persahabatannya sangat aku hargai,
orang-orang yang aku cintai karena Allah.
NB: Akhir tahun ini merencanakan lagi perjalanan muncak ke Mahameru, menyambut matahari pertama 2014 di sana. InsyaAllah. Bagi yang berminat bareng, silahkan hubungi saya
Sabtu pagi di puskot. Kegiatan rutin yang selama hampir dua tahun terakhir kujalani. Datang lebih awal, menempati su...
Sabtu Pagi di Puskot
Sabtu pagi di puskot.
Kegiatan rutin yang selama hampir dua tahun terakhir
kujalani. Datang lebih awal, menempati sudut paling menyenangkan di
perpustakaan ini. Tak disangkah, hari ini ternyata ada workshop penulis muda,
pemateri utamanya kereeennn Bang Fuadi, kalian
pasti kenal., ituloh penulis novel terkenal negeri 5 menara ----------->
Baaaaaang ane salah satu penggemar novel-novelmu. Tapi maaf bang, mesikupn ane
penggemar novel2mu, entah kenapa ane kurang berminat ikut workshop pagi tadi. Mungkin
karena masih sebel dengan suatu kejadian., dan itu sangat ada kaitannya dengan
novel Bang Fuadi. 2 tahun yang lalu, ketika pertama kali membaca novel bang
fuadi "negeri 5 menara", saya langsung terhipnotis. Karena saking terpengaruhnya,
saya bahkan rela-relain melakukan survei kebeberapa tempat yang Bang Fuadi
sebutkan dalam novel tersbut. Termasuk ke Pondok Madani, Darusalam, Gontor. Sempat
beberapa malam menginap di sana, dan merasakan suasana santri yang digambarkan
bang Fuadi dalam novelnya. Klimaksanya, saya sungguh terpesona. Menyesal,
kenapa dulu tidak pernah terbayang untuk mondok. Mengingat usia saya tidak muda
lagi, dan tidak mungkin dimudakan lagi maka saya melakukan "eksperimen
human" dan korbannya adalah adik kandung saya sendiri, hehehhe....
Dengan segala cara saya berusaha memaksakan apa
yang tidak sempat saya lakukan kepadanya, mendoktrinnya sedemikian rupa,
mengiming-imingi keindahan dunia pesantren dan semua yang membuatnya tertarik
hehehhe. Jadilah tamat SD kemarin dia
mendaftar di pondok tersebut. Dan kenyatanya sungguh tragis , eksperimenku
gagal. Seminggu lalu dia kabur, tak cukup kuat untuk bertahan di dunia yang
namanya pesanter. nyesekkk
Kembali kepuskot,
selalu saja menyenangkan, duduk di bagian terpojok perpustakaan ini.
diantara hiruk pikuk pengunjung perpus., gelagat aneh sejoli yang
memadu kasih diantara tumpukan buku, suara lembaran-lembaran buku yang
dibolak-balik. Memberiku ruang tersendiri untuk menyepi. menyepi bukan berarti
kita dalam kondisi sendiri loh....! melainkan merasa sepi dan merasai sepi
diantara keramaian. Kesepian dan
kesendirian memang dua kata yang
penggunaannya hampir sama. Sepi merujuk pada hati dan kondisi jiwa, sedangkan
sendiri merujuk pada kondisi fisik.
menghabiskan sabtu pagiku disini selalu memberiku ruang untuk membersamai
hati, memperlambat laju kehidupan, dan yang paling penting di sini saya merasa sangat
hidup.
ah.. andai saja' tiap hari adalah sabtu pagi..
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 komentar: