Singapura seperti bagian lain dari Malaysia yang kebetulan
terbelah. Malaysia dan Singapura di pisahkan oleh Selat Johor. Membentang
panjang dari Jurong ke Changi. Bahkan dulu Singapura pernah secara resmi berada
dibawa persekutuan kerajaan-kerajaan Malaya. Sayangnya penyatuan dua negeri
itu tidak berjalan lancar. Selang setahun setelahnya Singapura memisahkan diri,
kembali mendirikan negerinya sendiri. Hingga kini konflik perbatasan
Singapura-Malaysia serta sentimen kebangsaan kedua negara ini masih sering
terjadi.
Singapura tadinya merupakan negeri Melayu namun perlahan-lahan
masyarakat pribumi itu tergerus, hingga kini Populasi Melayu di Singapura
sampai sekarang hanya tersisa kurang lebih 13% dari total penduduk Singapura.
Penduduk pribumi itu tersisih di negerinya sendiri, kehilangan identitas,
kebanggaan, budaya dan akar rumpun mereka. Masa depan Melayu sedang
dipertaruhkan di negeri ini.
Di negara-negara multirasial, perbedaan etnis sering kali
menjadi problem. Berbagai macam problematika etnis ini kadang terlihat sangat
sulit di urai benang merahnya. Ada arogansi identitas, ada iri hati, ada perasaan
saling curiga dan tidak percaya. Namun bagi saya akar dari semua ini hanyalah
ketidak adilan.
Saya teringat tulisan Agustinus Wibowo dalam salah satu
bukunya “Negara-negara yang terlalu menonjolkan kebangsaannya cenderung menekan
minoritas. Apa yang terjadi untuk bangsa-bangsa
yang bukan “pemilik” negara itu? Diintegrasi ? dilebur ? atau dibantai
?” .
Hipotesa itu terjawab di Singapura. Negara-negara yang
tidak menonjolkan kebangsaannya akan kehilangan harga dirinya. Orang-orang
Melayu Singapura telah kehilangan kebangsaannya. Di Singapura saya sangat
jarang mendengar orang-orang berbahasa melayu, sebagian besar berbahasa
Mandarin dan sebagian lagi berbahasa Inggris Singapura dengan aksen Singapura
yang kental, Bahasa Singlis (Singapura Inggris) yang menurutku agak susah dipaham
oleh pendatang. Bahkan orang-orang yang masih sangat berwajah melayu cenderung
lebih nyaman menggunakan bahasa inggris dibanding bahasa melayu itu sendiri. Satu-satunya yang tersisa dari Melayu di
Singapura mungkin hanyalah Lagu
Nasionalnya “Majulah Singpapura” yang hingga sekarang liriknya masih tetap
menggunakan bahasa melayu.
Marilah
kita Rakyat Singapura
Sama-sama
menuju bahagia
Cita-cita
kita yang mulia
Berjaya
Singapura
Marilah
kita bersatu
Dengan
semangat yang baru
Semua
kita berseru
Majulah
Singapura
Majulah Singapura 2X
(lagu Kebangsaan Singapura)
Di Indonesia sendiri pergesekan “mayoritas” dan “minoritas”
sedang hangat-hangatnya, Di Indonesia permasalahan etnis ini sangat sensitif.
Begitu kau menyinggung etnis tertentu serta merta kau akan dicap “Rasis” ,anti
Pancasilais, kebanyakan makan micin, IQ jongkok, bumi datar atau sindiran
macam-macam itu lah dan bla..bla.. bla… Sedang di Singapura sendiri kesan
pertama saya menjadi Melayu berarti menjadi warga kelas dua. Melayu tidak
memiliki ruang gerak yang cukup di sini. Terpinggirkan. Semoga saja hipotesa saya salah.
Namun demikian, kita orang luar datang hanya sekali atau
dua kali tidak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi di sana, kita hanya
datang melihat-lihat sekilas, mengumpulkan hipotesa, menarik kesimpulan sepihak
lalu pergi dan mungkin tidak lagi berniat untuk kembali, tapi bagi mereka warga
negara Singapura kenyataan itu segamblang hitam dan putih.
0 komentar: