@asdar_munandar Perbatasan, garis batas, tapal batas, titik akhir atau apapun sebutannya. Kesan yang ditimbulkan biasanya sama “menyera...

Melintas Batas Part I: Imigrasi

@asdar_munandar
Perbatasan, garis batas, tapal batas, titik akhir atau apapun sebutannya. Kesan yang ditimbulkan biasanya sama “menyeramkan”. Batam adalah limit akhir dari Nusantara yang membatasi kita dengan Singapura. Hanya kurang lebih 45 menit di seberang sana kita sudah berada di spektrum lain kehidupan. Bagian lain dari dunia yang begitu luas ini. Di seberang garis itu yang jaraknya tidak lebih dari 45 menit dari sini berlaku aturan yang lain, bahasa yang lain, mata uang, lambang negara, spektrum kehidupan yang lain dan berbagai macam identitas-identitas lain yang berbeda. Dan satu-satunya jalan untuk menembus itu semua adalah “imigrasi”
Saya mengalami pengalaman kurang mengenakkan di Imigrasi Singapura, meski mereka memperlakukanku dengan ramah dan profesional, namun tendensius etnis begitu terasa. Atau karena saya pemegang passport hijau. Dua kali saya masuk Singapura dua kali pula saya harus berurusan dengan bagian interogasi imigrasi Singapura yang terkenal angker.
Saya seperti pesakitan, digiring ke ruangan rahasia dengan kepala tertunduk malu. Saya nanya “if ther is something wrong whit my paspor ser” dengan agak canggung. Si pria berkepala botak yang bertampan India itu cuman masem sebentar. Dengan muka ketusnya dia cuman bilang. “Nope” just Random chek dengan gaya bahasa Inggris ala-alanya.
Random chek-random chek palamu, dongkolku dalam hati. Kenapa harus saya lagi.   Saya iri dengan sepasang traveler berkewarganegaraan German yang kebetulan melintas batas bersamaan denganku. Meski carier mereka 10 kali lebih besar dibanding daypack yang saya bawa, mereka melenggang kangkung dengan mulus melintasi Singapura. Mereka tidak di giring ke ruang interogasi, tidak harus mengeluarkan satu persatu dan memperlihatkan rupa-rupa barang tak berguna yang dibawa di tasnya. Tidak harus menghitung lembar demi lembar dollar singapura yang ada di dompet mereka.  Aii betapa menjadi Indonesia harus banyak beradaptasi dengan berbagai macam pemakluman.
Ruang interogasi Imigrasi Singapura terkesan angker, dingin dan menakutkan.  terdapat pintu kaca yang hanya bisa dibuka dengan identity card dari luar. Mirip ruang pemeriksaan CIA di filem-filem itu.  Di ruangan itu terdapat help desk yang dikelilingi peralatan komputer dan berbagai tetek bengeknya. Juga terdapat beberapa ruang interogasi yang lebih mirip kamar penjara berpintu besi.
Seorang petugas Imigrasi bertampang cines berumur hampir pensiun terlihat emosi. Berkali-kali dia menjelaskan kesalahan yang dilakukan pria pemegang paspor India yang jadi pesakitan di depannya itu. Konyolnya, pria India itu sama sekali tidak memahami apa maksudnya, batinku pria india ini hanya pura-pura. Dia mendebatnya dengan bahasa India sementara bapak imigrasi mencercanya dengan bahasa Inggris melayu.  Saya tak bisa menahan tawaku, pria India itu hanya mengangguk-angguk tak mengerti. Bapak-bapak Imgirasi itu tampak prustasi  kami bersitatap kemudian tertawa bersamaan.
Berdasarkan catatan-catatan blog yang saya baca, rata-rata orang-orang akan menghabiskan berjam-jam di Imigrasi ini hanya untuk ditanya persoalan-persoalan sepele. Bahkan kasus terakhir, ustad artis  yang terkenal dari Indonesia sempat di tahan di Imigrasi Singapura berjam-jam tanpa kejelasan yang pasti. Saya ngeri, bagaimana jika saya juga ditahan berlama-lama seperti itu. Sementara waktu saya di Singapura memang tidak banyak. Beruntunglah prosesi sakral di imigrasi singapura tidak sampai berjam-jam. Setelah saya diinterogasi saya kemudian dipersilahkan memasuki Singapura dengan penekanan harus meninggalkan Singapura secepatnya, seakan tidak percaya tiket kapal penyeberangan yang kuperlihatkan bersama dengan pasporku.
Meski demikian ada beberapa hal yang kusukai di Singapura.  Saya suka budaya antrinya, juga kebersihannya, lalu lintas yang tidak macet, sistem transportasi yang sangat bagus. juga budaya ketika di eskalator. Saya suka bagaimana mereka begitu tertib berdiri di sebelah kanan dan membiarkan sisi kiri kosong melompong untuk dilalui orang yang terburu-buru.
Secara umum orang-orang Singapura tampak terlihat serius. Saya canggung dan merasa aneh dengan keseriusan dan ketergesa-gesaan orang-orang di sini. Kita tidak akan menemukan senyum hangat khas orang Indonesia di sini, tidak ada salam basa basi apalagi ajakan mampir minum kopi atau sekedar saling  berkenalan. Tak seperti di Indonesia  dimana orang tak dikenal di jalan tanpa rasa curiga  mengundang kita mampir ke rumahnya.. “Monngo pinara-pinara” Begitu sapaan sopan orang-orang tua di Jogja saat saya menyusuri jalan-jalan di gang-gang Jogja suatu masa dulu. Di Sini di Singapura bahkan untuk bertegur sapapun orang-orang seakan tak punya hasrat, apalagi mengajak bercakap-cakap orang asing bertampan kere seperti saya.  Moderenitas, kemajuan ekonomi, kemakmuran memang berbanding terbalik dengan keeratan hubungan manusia.  Kekayaan  dan kenyamanan hidup menjadi sekat  kita dengan sesama manusia. Saya rasa hati nurani memang tak punya tempat di negeri seperti ini.
Indentitas dan Kebanggaan adalah dua hal yang penting bagi warga Singapura. Mejadi Singapore berarti mejadi warga kelas dunia. Menjadi warga negeri modern, warga kelas atas, Negeri kosmopolitan, maju, cerdas dan seabrek kebanggaan-kebanggaan duniawi lainnya.
Warga Singapura patut berbangga, negeri kecil itu ibarat Amerikanya Asia. Kiblat moderenisme di Asia. Jika ingin belajar keteraturan belajarlah pada warga Singapura, jika ingin belajar arti kerja keras belajarlah ke Singapura, jika ingin belajar menata negara belajarlah di Singapura. Di Singapura semua serba teratur dan tertata. Kebangaan seperti itulah kira-kira yang tertulis di jidat orang-orang Singapura. 
Tapi sayangnya orang Singapura seperti tidak pernah punya waktu untuk menikmati itu semua. Mereka selalu tampak terburu-buru. Orang Singapura cenderung tindak bahagia, bahkan berdasarkan banyak survey seperti jajak pendapat Gallup Internasional, warga Singapura bukan hanya tanpa emosi, tetapi juga orang paling tak bahagia di dunia. wow. Kesejahteraan duniawi tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. 
Menurutku jika ingin belajar menikmati hidup datanglah ke Indonesia. Menjadi warga Indonesia berarti menjadi warga negara yang berbahagia. Di Indonesia apapun bisa membuat orang bahagia, bahkan meski hanya perkara sepele. Kaum alayers misalnya, mereka bisa bahagia hanya dari like and share status facebooknya. Hanya karena foto selfie monyongnya di medsos banyak mendapat jempol dan komentar. Followers instagramnya semakin banyak. Atau pengikutnya di twitter sudah jutaan. 
Para Ibu-ibu bisa bahagia hanya karena durasi sinetron India di tivi semakin diperpanjang. Bapak-bapak bahagia karena tokoh pilihannya yang selama ini dipuja pujinya memenangkan pemilu. Kaum hedon bisa bahagia jika mampu membayar segelas kopi dengan harga ratusan bahkan hingga jutaan rupiah di kafe-kafe elit. Marketing MLM selalu terlihat bahagia meski hanya bisa berfoto di depan mobil mewah yang konon katanya bonus dari usaha MLMnya selama ini. Atau yang lagi trend saat ini orang-orang bisa puas berbahagia jika menemukan objek bulliying di media sosial. Di Indonesia kebahagiaan bisa berarti apa saja, bisa ditemukan dimana saja. Defenisi kebahagiaan di sini terlalu absurd. Pendeknya di Indonesia semua orang ingin tampak bahagia dengan definisinya masing-masing, entah itu harus pura-pura bahagia atau memang sedang berbahagia.
Di Indonesia orang-orang terlalu ramah dan sopan. orang-orang terlalu santai, tidak diperumit dengan berbagai keruwetan hidup. Orang-orang Indonesia tidak terlalu di pusingkan bagaimana menciptakan nukril atau bagaimana menerbankan roket ke angkasa. Tidak dipusingkan bagaimana harus membangun kereta bawa tanah di tengah kota seperti di Singapura. Orang-orang Indonesia menyukai macet yang berkepanjangan. Dengan macet artinya beban kerjaan akan semakin sedikit. Saat macetpun orang Indonesia bisa berbahagia. Bisa selfi-selfian.  Selain itu orang-orang Indonesia juga cenderung pemaaf, dibohongi setiap hari oleh pemerintah, uang pajak yang mencekik yang kemudian di korupsi juga oleh pemerintah, semua tak membuat orang Indonesia marah. Semua dihadapi dengan senyum. Kebanggaan tiada duanya jika memikirkan itu semua. Betapa bahagiannya menjadi warga negara Indonesia

0 komentar: