Satu hal yang paling tidak
kusukai sebelum perjalanan adalah berkemas. Entah mengapa saya sering
bermasalah dengan berkemas ini. seringkail saya melupakan barang-barang yang
benar-benar penting untuk dibawa, atau sebaliknya saya malah membawa serta
barang-barang yang sama sekali kurang bermanfaat. Mungkin
karena perjalanan saya sering kali semuanya serba dadakan. Tiba-tiba ngajukan
cuti, tiba-tiba booking tiket pesawat dan tiba-tiba saya sudah di dunia lain
itu. Dunia kebebasan.
Hidup buat saya adalah sebuah kejutan, bahkan dibalik rutinatas kantor yang sangat monoton itu selalu ada kejutan kecil yang terjadi. Kejutan-kejutan kecil yang menyemarakkan hidup kita. Pagi itu minggu-minggu terakhir bulan desember, saya tiba-tiba sudah di Lombok, bersiap memulai petualangan panjang saya ke Flores.
Spontanitas memang selalu melahirkan hal-hal tak terduga. Saya masih merasa semua main-main sampai saya benar-benar berada di Flores beberapa hari sebelum tahun 2016 berganti. Karena spontanitas itu pula saya mengalami banyak hal tak terduga selama perjalanan. Saya terjebak di Bima karena air bah, tertinggal kapal penyeberangan ke Flores di Pelabuhan Sape’ termasuk bertemu dengan tiga orang traveler gokil dari Kalimantan yang kelak selama di Folres kami akhirnya jadi tim yang solid menjelajahi Labuanbajo hingga tersasar di pegunungan Tongkor Kina mencari Waerebo. Sebuah pertemuan yang aneh. Namun kemudian saya menyadari keanehan selalu menjadi awal dari sesuatu yang tidak mudah kita lupakan.
Saya rasa perjalanan seperti ini bukan hanya tentang liburan, ini tentang bagaimana kita harus belajar kembali pulang, kembali menjadi manusia. bayangkan saja kita menghabiskan berhari-hari dikubikel kecil berukuran 1,5 x 2,5 dengan rutinitas yang sama, dan itu menyedihkan.
Hidup buat saya adalah sebuah kejutan, bahkan dibalik rutinatas kantor yang sangat monoton itu selalu ada kejutan kecil yang terjadi. Kejutan-kejutan kecil yang menyemarakkan hidup kita. Pagi itu minggu-minggu terakhir bulan desember, saya tiba-tiba sudah di Lombok, bersiap memulai petualangan panjang saya ke Flores.
Spontanitas memang selalu melahirkan hal-hal tak terduga. Saya masih merasa semua main-main sampai saya benar-benar berada di Flores beberapa hari sebelum tahun 2016 berganti. Karena spontanitas itu pula saya mengalami banyak hal tak terduga selama perjalanan. Saya terjebak di Bima karena air bah, tertinggal kapal penyeberangan ke Flores di Pelabuhan Sape’ termasuk bertemu dengan tiga orang traveler gokil dari Kalimantan yang kelak selama di Folres kami akhirnya jadi tim yang solid menjelajahi Labuanbajo hingga tersasar di pegunungan Tongkor Kina mencari Waerebo. Sebuah pertemuan yang aneh. Namun kemudian saya menyadari keanehan selalu menjadi awal dari sesuatu yang tidak mudah kita lupakan.
Saya rasa perjalanan seperti ini bukan hanya tentang liburan, ini tentang bagaimana kita harus belajar kembali pulang, kembali menjadi manusia. bayangkan saja kita menghabiskan berhari-hari dikubikel kecil berukuran 1,5 x 2,5 dengan rutinitas yang sama, dan itu menyedihkan.
“we just need to stay away for a moment to get back home” beberapa
tahun yang lalu saya pernah membaca kalimat itu di sebuah buku yang menarik.
Saya lupa judul bukunya, namun kalimat itu begitu berkesan buat saya.
“kita hanya perlu menjauh sesaat untuk bisa kembali pulang” begitu kurang lebih
artinya. Yah, kita selalu butuh jeda, entah sejenak atau sedikit lebih lama.
Kita butuh merefresh kehidupan kita bagaimanapun caranya, tidak mesti dengan
backpacker atau liburan ketempat-tempat yang jauh. bahkan mungkin kita hanya butuh sehari duduk diam di kafe
menghabiskan segelas caramel maciato dan sebuah buku yang menarik.
Hal itu pulalah yang mendorong
saya melakukan perjalanan ini. Saya rindu menggendong ransel, saya rindu
merasakan berada diantara orang-orang yang tidak ku kenali, saya rindu berada
di tempat-tempat yang asing, yang membuat saya harus belajar lagi bagaimana
menyesuaikan diri, bagaimana menemukan teman perjalanan yang tepat atau
bagaimana harus belajar bersahabat dengan berbagai macam pemakluman baru. Saya
rindu merasa sendiri sekaligus bebas. Perjalanan ini sesungguhnya hanyalah proses
kepada pulang itu, langkah untuk menjauh sesaat agar bisa kembali menemukan
jalan pulang.
Saya memegang boarding pasku. Pesawat udara jenis ATR akan
menerbangkanku meninggalkan kota Bima. Banyak hal yang kupelajari dari
perjalanan ini. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar. Perjalanan adalah
proses asimilasi, proses internalisasi pemahaman akan hakikat diri, belajar
untuk melihat ke dalam diri. Seseorang filosof berkata “kehidupan seperti
membaca buku raksasa dan orang-orang yang tidak pernah melakukan perjalanan
hanya membaca sampul pertamanya saja”. Saya tidak merasa menjadi lebih hebat
dengan telah melakukan perjalanan ini. Banyak orang-orang telah melakukan
berbagai macam petualangan yang jauh lebih besar, jauh lebih menantang, jauh
lebih membuat mulut-mulut berdecak kagum dari hanya sekedar backpakeran sendiri
ke Flores. Tapi bagiku, begitu kita berani melangkah ke luar banyak hal yang
akan berubah dari kehidupan kita. Perjalanan akan merubahmu. Konon katanya
orang-orang yang sering berjalan melihat dunia akan memiliki cara pandang yang
lebih baik, memiliki perspektif berbeda.
Saya akhirnya mengakhiri perjalananku di sini. Setelah bertualang yang
cukup panjang selama 9 hari lamanya, Makasar-Mataram-Bima-Labuanbajo-Waerebo-Labuanbajo-Bima-Makasar dan akhirnya saya harus pulang. Pulang memang jalan yang harus dijalani oleh
semua pejalan. Dari suatu titik kita berangkat, kepada titik itu pulalah kita
kembali.
01 Januari 2017
Ruang Tunggu Bandara Muhammad Salahuddin, Bima NTB
01 Januari 2017
Ruang Tunggu Bandara Muhammad Salahuddin, Bima NTB
0 komentar: