30 Desember 2016 Kami meninggalkan desa Wae Rebo setelah sarapan.   Matahari bersinar cerah, Kabut tipis baru saja tersingkap, Say...

Part IX. 9 Day Backpaker ke Flores: Ketika Mimpi Tergerus Realita




30 Desember 2016
Kami meninggalkan desa Wae Rebo setelah sarapan.  Matahari bersinar cerah, Kabut tipis baru saja tersingkap, Saya menengok untuk terakhir kalinya menatap lamat-lamat desa ini. Merekam berbagai detail yang masih bisa direkam oleh mataku. Saya menarik napas dalam-dalam, bergumam dalam hati mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir kalinya saya mengunjungi tempat ini.


Kami berjalan terburu-buru, perjalanan turun gunung jauh lebih terasa ringan, beberapa kali kami berpapasan pengunjung yang baru akan menuju ke desa. Kebanyakan dari mereka adalah pengunjung dari manca negara. Mungkin karena tempat ini kurang bersahabat untuk dompet wisatawan lokal. Untuk semalam menginap di Mbaru Niang kita harus merogoh kocek hinggaRp325.000,00 per malam per orang sedangkan jika tidak menginap akan dikenakan biaya Rp200.000,00 belum lagi jasa ojek, guide dan macem-macemnya.  


Sesampai di desa Dengen kami langsung berpamitan kepada Bapak Blasius Monta, berbasa basi sebentar lalu bersiap-siap meninggalkan Denge. Pak Balisus menyarankan untuk tidak lagi melewati jalur selatan, mengingat jalur itu melewati sungai yang terhubung langsung dengan lepas pantai. Jam-jam kami melewati jalur sungai itu adalah waktu-waktu pasang air sungai akan meluap begitu kata pak Blasisus. Namun karena pertimbangan waktu kami bersikeras kembali melewati jalur selatan itu. Dibanding jalur utama yang harus melewati Ruteng, dengan jalur selatan kami bisa memangkas 3-4 jam perjalanan.      

Meski kemudian kami bisa terhindar dari air pasang namun nasib sial ternyata datang tak terduga.  Ban motor saya bocor. Sementara jarak antar desa ke desa bisa berjam-jam jauhnya. Desa terdekat kurang lebih 2 jam lagi. Dengan kondisi jalan berbatu dan berpasir dan harus menyebrangi dua sungai lagi. Saya hampir putus asa.






Beruntungnya orang-orang di sini sangat respek sama kami. Seorang bapak yang sedari tadi membersamai kami menawarkan diri mengambil alih teman goncenganku. Saya terpaksa memaksakan motor ini berjalan dengan kondisi ban belakang bocor. Setelah hampir dua jam desa Naga Lili akhirnya terlihat dari kejauhan dan tedeeeng., satu-satunya bengkel tambal ban di desa ini tutup pemirsa. Hahahhaha., kecewa pastinya. Saya terpekur menatap ban motor yang sudah tidak karu-karuan bentuknya. Jumaat siang yang sangat panas.  Perutku mulai mengeluh. Sepanjang jalur selatan ini tidak ada satupun warung makan yang kita temukan.


Bersama kesulitan Allah selalu beri kemudahan begitu selalu keyakinan yang ditanamkan guru ngaji saya dulu, dan hal itu selalu terjadi memang. ternyata tetangga pemilik bengkel tadi orang Banjar sama seperti ke tiga temen perjalananku ini. Betapa Allah mempermudah urusan kami. Jadilah kami dijamu dengan suka cita di rumahnya. Mereka seperti bernostalgia bercerita banyak hal terkait kampung halaman mereka dengan bahasa Banjar yang sama sekali tidak kufahami. Saya memilih tertidur, lelah.

Satu persatu masalah kami terselesaikan dengan baik, setelah mengisi perut kosong, bengkel sebelah juga telah buka lagi, ban motor kami sudah ditambal dengan rapi siap melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Kami meninggalkan desa Naga lili ini menjelang ashar, tak lupa berucap banyak terimkasih kepada si Bapak yang kemungkinan besar kita tidak akan pernah bertemu lagi. 

Dengan ringan kami melaju motor kami kembali ke Labuan Bajo. Lepas magrib kami akhirnya tiba kembali ke Labuan Bajo, mengembalikan motor rentalan dan mencari penginapan. Kapal penyebrangan ke Sape baru akan berangkat besok pagi. Esoknya penyerangan ke sape terbilag lancar kami tiba di Sape sesuai jadwal. Sepanjang penyebrangan saya hanya tidur dan tidur, akumulasi lelahku seakan memaksa mataku untuk terus menerus terpejam.



Menjelang maghrib kami tiba di terminal Dara di Bima, terminal yang beberapa waktu sempat luluh lantah karena air bah kini mulai bisa beroperasi. Saya lagi-lagi harus mencari penginapan, sementara mereka bertiga baru akan melanjutkan petualangan mereka ke Mataram-Bali dan kembali ke Kalimantan. Perjalanan yang sangat-sangat panjang pikirku. Kami berpisah di sini. Sedih juga, setelah beberapa hari mengalami petualangan yang luar biasa bersama, kita akhirnya harus berpisah. Tapi begitulah kehidupan. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada mereka. Mereka sudah mau dengan ikhlas menerima saya ikut bergabung dalam petualangannya, menjadikan petualangan saya begitu berbeda. Bayangkan andai kami tidak ketinggalan kapal penyebrangan di Sape, saya mungkin tidak akan dipertemukan dengan orang-orang ini, artinya kemungkinan besar jika hanya saya seorang diri saya tidak akan berkunjung ke Wae Rebo dengan keseruan seperti ini.

Day 8: 31 Desember 2016
Bima: Kota Tepian Air

26 Desember 2016, pukul 04.00 Subuh. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kakiku di Bima, kota yang lululantah karena air bah beberapa hari yang lalu. Subuh yang sepi. Sisa-sisa genangan air masih terlihat di mana-mana. Gundukan tanah basah bercampur dengan berbagai macam benda yang terbawa air menggunung di sepanjang jalan. Akses ke dan dari kota masih terbatas. Jembatan-jembatan penghubung terputus hancur terbawa air. Akses telekomunikasi dan jaringan listrik sama minimnya.





Hingga hari ini ketika saya kembali lagi ke tempat ini setelah sembilan hari. Posko-posko pengungsian masih di padati pengungsi di beberapa tempat, tapi bagaimanapun juga kehidupan di Bima mulai berdenyut, kehidupan akan berangsur-angsur membaik. Perekonomian mulai pulih. Orang-orang kembali melanjutkkan rutinitasnya meski dibeberapa tempat mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali normal. Ini kali kedua saya melihat langsung pengungsi seperti ini. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap musibah. Saya yakin Bima kota yang memiliki julukan “Kota Tepian Air” ini akan kembali menemukan dirinya. 

Tak banyak tempat yang sempat ku kunjungi di Bima, seseorang teman lama berkenang mengantarku keliling Bima. Saya berputar-putar di sekitar kota. Melihat betapa mengerikannya efek dari air bah kemarin.



0 komentar: