Kami meninggalkan desa Wae Rebo
setelah sarapan. Matahari bersinar
cerah, Kabut tipis baru saja tersingkap, Saya menengok untuk terakhir kalinya
menatap lamat-lamat desa ini. Merekam berbagai detail yang masih bisa direkam
oleh mataku. Saya menarik napas dalam-dalam, bergumam dalam hati mungkin ini
adalah kesempatan pertama dan terakhir kalinya saya mengunjungi tempat ini.
Sesampai di desa Dengen kami langsung
berpamitan kepada Bapak Blasius Monta, berbasa basi sebentar lalu bersiap-siap
meninggalkan Denge. Pak Balisus menyarankan untuk tidak lagi melewati jalur
selatan, mengingat jalur itu melewati sungai yang terhubung langsung dengan
lepas pantai. Jam-jam kami melewati jalur sungai itu adalah waktu-waktu pasang
air sungai akan meluap begitu kata pak Blasisus. Namun karena pertimbangan
waktu kami bersikeras kembali melewati jalur selatan itu. Dibanding jalur utama
yang harus melewati Ruteng, dengan jalur selatan kami bisa memangkas 3-4 jam
perjalanan.
Meski kemudian kami bisa
terhindar dari air pasang namun nasib sial ternyata datang tak terduga. Ban motor saya bocor. Sementara jarak antar
desa ke desa bisa berjam-jam jauhnya. Desa terdekat kurang lebih 2 jam lagi.
Dengan kondisi jalan berbatu dan berpasir dan harus menyebrangi dua sungai
lagi. Saya hampir putus asa.
Beruntungnya orang-orang di sini
sangat respek sama kami. Seorang bapak yang sedari tadi membersamai kami
menawarkan diri mengambil alih teman goncenganku. Saya terpaksa memaksakan
motor ini berjalan dengan kondisi ban belakang bocor. Setelah hampir dua jam
desa Naga Lili akhirnya terlihat dari kejauhan dan tedeeeng., satu-satunya
bengkel tambal ban di desa ini tutup pemirsa. Hahahhaha., kecewa pastinya. Saya
terpekur menatap ban motor yang sudah tidak karu-karuan bentuknya. Jumaat siang
yang sangat panas. Perutku mulai
mengeluh. Sepanjang jalur selatan ini tidak ada satupun warung makan yang kita
temukan.
Bersama kesulitan Allah selalu
beri kemudahan begitu selalu keyakinan yang ditanamkan guru ngaji saya dulu,
dan hal itu selalu terjadi memang. ternyata tetangga pemilik bengkel tadi orang
Banjar sama seperti ke tiga temen perjalananku ini. Betapa Allah mempermudah
urusan kami. Jadilah kami dijamu dengan suka cita di rumahnya. Mereka seperti
bernostalgia bercerita banyak hal terkait kampung halaman mereka dengan bahasa
Banjar yang sama sekali tidak kufahami. Saya memilih tertidur, lelah.
Satu persatu masalah kami
terselesaikan dengan baik, setelah mengisi perut kosong, bengkel sebelah juga
telah buka lagi, ban motor kami sudah ditambal dengan rapi siap melanjutkan
perjalanan ke Labuan Bajo. Kami meninggalkan desa Naga lili ini menjelang
ashar, tak lupa berucap banyak terimkasih kepada si Bapak yang kemungkinan
besar kita tidak akan pernah bertemu lagi.
Dengan ringan kami melaju motor
kami kembali ke Labuan Bajo. Lepas magrib kami akhirnya tiba kembali ke Labuan
Bajo, mengembalikan motor rentalan dan mencari penginapan. Kapal penyebrangan
ke Sape baru akan berangkat besok pagi. Esoknya penyerangan ke sape terbilag
lancar kami tiba di Sape sesuai jadwal. Sepanjang penyebrangan saya hanya tidur
dan tidur, akumulasi lelahku seakan memaksa mataku untuk terus menerus
terpejam.
Menjelang maghrib kami tiba di
terminal Dara di Bima, terminal yang beberapa waktu sempat luluh lantah karena
air bah kini mulai bisa beroperasi. Saya lagi-lagi harus mencari penginapan,
sementara mereka bertiga baru akan melanjutkan petualangan mereka ke
Mataram-Bali dan kembali ke Kalimantan. Perjalanan yang sangat-sangat panjang
pikirku. Kami berpisah di sini. Sedih juga, setelah beberapa hari mengalami
petualangan yang luar biasa bersama, kita akhirnya harus berpisah. Tapi
begitulah kehidupan. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada mereka. Mereka sudah
mau dengan ikhlas menerima saya ikut bergabung dalam petualangannya, menjadikan
petualangan saya begitu berbeda. Bayangkan andai kami tidak ketinggalan kapal
penyebrangan di Sape, saya mungkin tidak akan dipertemukan dengan orang-orang
ini, artinya kemungkinan besar jika hanya saya seorang diri saya tidak akan
berkunjung ke Wae Rebo dengan keseruan seperti ini.
Day 8: 31 Desember 2016
26
Desember 2016, pukul 04.00 Subuh. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan
kakiku di Bima, kota yang lululantah karena air bah beberapa hari yang lalu.
Subuh yang sepi. Sisa-sisa genangan air masih terlihat di mana-mana. Gundukan
tanah basah bercampur dengan berbagai macam benda yang terbawa air menggunung
di sepanjang jalan. Akses ke dan dari kota masih terbatas. Jembatan-jembatan
penghubung terputus hancur terbawa air. Akses telekomunikasi dan jaringan
listrik sama minimnya.
Hingga
hari ini ketika saya kembali lagi ke tempat ini setelah sembilan hari.
Posko-posko pengungsian masih di padati pengungsi di beberapa tempat, tapi
bagaimanapun juga kehidupan di Bima mulai berdenyut, kehidupan akan
berangsur-angsur membaik. Perekonomian mulai pulih. Orang-orang kembali
melanjutkkan rutinitasnya meski dibeberapa tempat mungkin membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk kembali normal. Ini kali kedua saya melihat langsung
pengungsi seperti ini. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap musibah.
Saya yakin Bima kota yang memiliki julukan “Kota Tepian Air” ini akan kembali
menemukan dirinya.
Tak banyak tempat yang sempat ku kunjungi di Bima, seseorang teman
lama berkenang mengantarku keliling Bima. Saya berputar-putar di sekitar kota.
Melihat betapa mengerikannya efek dari air bah kemarin.
Bersambung: Epilog: Suatu Ketika di Sebuah Perjalanan
0 komentar: