Juli Minggu ke 4                                                                                                              Ras...

Lelaki yang Tertawan Masa Lalu “Labuni Essoe”




Juli Minggu ke 4                                                                                                           
Rasa-rasanya akhir-akhir ini saya terlalu sering melamun. Waktuku tiba-tiba sering terpause dengan sendirinya, awalnya hanya sepersekian detik tapi lama kelamaan saya rasa saya semakin sering terjebak di dunia paralel itu.

Bus yang membawaku meninggalkan kota ini melaju kencang, namun lagi-lagi saya terjebak di dunia lain itu. Entah sudah berapa jauh Bus ini meninggalkan terminal tadi, waktuku tersekip cukup lama.  Saya bahkan tak sadar sejak kapan gerimis mulai menemani perjalanan kami. Malam perlahan-lahan semakin kelam, lampu-lampu di sudut-sudut jalan padam satu persatu. Rumah-rumah penduduk semakin jarang terlihat berganti pepohonan hutan yang mulai merapat.  

“Waktu-waktu terbaik mengenang masa lalu ada saat kita bersafar”  begitu kata orang-orang. Entah benar atau tidaknya saya rasa kalimat itu cukup mewakili diriku saat ini. Saya seperti dipermainkan masa lalu jutaan kenangan tiba-tiba berpiling di benakku melemparkanku kembali ke tempat dan masa-masa yang jauh, masa-masa yang telah lama orang lupakan. 

Saya kembali melihat rangkaian-rangkaian peristiwa itu begitu jelas. Diputar ulang lagi, dari awal sampai akhir tanpa ada sedikitpun bagian yang terlewatkan dan entah kenapa sesak yang sama bertahun-tahun yang lalu itu kembali memenuhi dadaku. menyedihkan. 


“Labuni essoe turuni udannie ritau mabelaee” lagu bugis itu mendayu-dayu menemani perjalanan panjang kami. “Labuni Essoe” secara harpiah bisa diartikan sebagai senja, waktu dimana matahari hampir tenggelam, kondisi saat bukan sore atau malam. keadaan saat garis dunia menjadi samar. Hitam putih. Dalam mitologi bugis sendiri senja identik dengan “rindu”. Seperti lagu ini kurang lebih berarti “senja datang bersama rindu, rindu kepada orang-orang yang telah lama pergi” 

Kalian tahu konon saat senja kita kadang bisa melihat sosok astral, sesuatu yang bukan manusia tapi seperti manusia. Seseorang yang kita begitu rindukan, seseorang yang punya janji masa lalu dengan kita. Waktu-waktu seperti itu kadang siluet mereka bisa datang bersama senja. Sekilas dan samar. Nyata tapi tak nyata. Jika itu terjadi artinya kau begitu merindukan orang itu.  

“Waseng magi muonro ri dolangeng Temmulettutona temmurewetona. Poleni pettange poleni toni bare’e turunii bosie siturunge waemata”
Iyami ripuada idi tea iyya tea, Idi temmadampe iyya temmasenge. Idi temmadampe iyya temmasenge.

Lagu itu terus bersenandung menyedihkan, berkisah tentang seorang yang begitu berharap pada seseorang yang telah lama pergi, berharap pada seseorang yang tidak pernah mengharapkannya. dan pada akhirnya air mata adalah obat luka terbaik. Platonis ironis.

Bus itu terus melaju kencang. Musiknya berganti dari satu lagu ke lagu yang lain, malam datang semakin kelam. Suara musik yang begitu lembut bercampur deru bus yang tak beraturan seperti membuai. Penumpang bus ini satu persatu terbuai mimpi. Berpindah ke alam yang lain. Hibernasi. 



*bersambung


0 komentar: