Day 5 28 Desember Labuan Bajo-Wae Rebo Wae Rebo via Rute Selatan “Para pejalan akan menemukan jalannya sendiri” Kalimat itu y...

Part VII: Labuan Bajo ke Waerebo via Jalur Selatan

Day 5
28 Desember
Labuan Bajo-Wae Rebo

Wae Rebo via Rute Selatan

“Para pejalan akan menemukan jalannya sendiri”
Kalimat itu yang selalu kutanamkan dalam hatiku ketika akan melakukan perjalanan sendirian. Solo backpaker bukan berarti kita akhirnya hanya akan berjalan dan melakukan apa-apa sendirian. Saya menyusun itenariku dengan melewatkan Wae Rebo dari daftar tempat yang akan kukunjungi. Beruntunglah di perjalanan ini saya dipertemukan dengan tiga orang backpacker yang dengan berat hati (hahahhahaha) mengijinkanku bergabung dengan rombongan mereka. Jadilah kami berempat menjelajahi Flores selama beberapa hari. Melewati hari-hari yang luar biasa menyenangkannya mengunjungi banyak tempat yang tidak ada duanya di Indonesia ini.


Kami tidak di dermaga labuan Bajo menjelang ashar, tidak banyak waktu yang kami miliki. Kami harus meninggalkan Labuan Bajo sebelum malam. Untungnya di sini cukup mudah menemukan persewaan kendaraan. Lepas ashar kami meninggalkan Labuan Bajo, berkendara ke arah Timur dengan sejuta rasa penasaran.

Saya berkendara dengan kecepatan sedang, udara di sini dingin dan lembap. Aroma jerami basah menguap di udara. Memenuhi rongga dadaku sepanjang perjalanan. Musim panen sedang berlangsung. Orang-orang menjemur gabah di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak kecil berlarian berjumpalitan di tumpukan jerami. Tertawa riang.



Saya tiba-tiba merindukan kampung halamanku, dulu saat musim panen tiba semua orang bersuka cita, pasar-pasar menjadi ramai, orang-orang berdatangan dari berbagai desa, ikut andil dalam pesta panen. Hingga moderenitas merenggut semua kebahagiaan itu. Kini tak lagi kita temukan kemeriahan musim panen.  Padi-padi dipanen dengan kendaraan nan canggih. Cepat dan hemat. Manusia-manusia tergantikan oleh kecanggihan teknologi yang memudahkan. Bagus memang, tapi seperti ada sesuatu yang hilang tercerabut dari akar-akar kehidupan pedesaan.


Kami terus berkendara ke arah Timur, ke arah Ruteng jalur trans Flores. Lembor desa Muslim terakhir yang akan kita lewati sebelum sampai ke Ruteng.  Di Lembor kami beristirahat sejenak, maghrib. Lapar dan sedikit bingung. Kalian tahu, hampir semua orang yang kami tanyai tidak begitu mengetahui tempat yang kami tuju itu. Wae Rebo atau desa Denge. Dan jangan sesekali berharap kita bisa menggunakan GPS. Lupakan pilihan itu. Desa-desa disana belum terbaca oleh aplikasi pintar penunjuk arah itu.

Selepas Maghrib kami memutuskan untuk beristirahat di desa ini. Beruntung Ibu warung banyuwangi (lupa namanya) memperkenalkan kami dengan ibu pemilik penginapan tak jauh dari tempat kami beristirahat. Tarif penginapan lumayan murah, kami hanya membayar seratus ribu untuk semalamnya. Kami memutuskan akan beristirahat malam ini di sini, di Lembor. Tidak seorangpun diantara kami yang pernah ke Flores sebelumnya, itulah makanya kami memutuskan melanjutkan perjalanan esok hari, perjalanan malam hari lebih beresiko dengan kondisi kami seperti ini.

Lepas subuh kami melanjutkan perjalanan lagi, melewati desa-desa dengan landscape yang sangat indah. Sawah-sawah membentang luas tersusun rapi berpetak-petak. Padi-padi menguning. Desa-desa yang sungguh tampak berbeda dari tempat-tempat yang saya pernah kunjungi sebelumnya. Dari pertigaan Lembor kami berkendara ke arah selatan. Jalur ini belum banyak di lalui orang-orang. Kami menemukan alternatif ini setelah semalaman melakukan pencarian di internet. Agak riskan memang, mengingat jalur ini masih sangat jarang dilalui kendaraan.


Secara ringkas rute yang akan kami tempuh via jalur selatan bisa digambarkan seperti ini: (Labuan Bajo-Lembor-Nangalili-Borik-Dintor-Kombo-Denge). Sepanjang perjalanan saya menggunakan aplikasi pintar "C" alias Congor untuk menemukan rute. Kami banyak bertanya ke penduduk sekitar, siapapun yang kami temui diperjalanan, tidak banyak memang yang mengetahui desa Wae Rebo ini. Nah untuk memudahkan sebaiknya tanyakanlah desa-desa terdekat yang akan kita tujuh, misalnya jika posisi kalian di Lembor maka jangan tanyakan penduduk Lembor dimana di Wae Rebo itu namun tanyakanlah seberapa jauh Nangalili dari sini. Jangan sungkan-sungkan bertanya, orang-orang Flores sangat ramah. Mereka tulus.


Sepanjang perjalanan kami hanya akan melewati hutan-hutan dan pesisir pantai tak berpenghuni. Bagaimanapun juga, kami tetap memutuskan memilih alternatif ini. Jalan yang kami lalui tidak bisa dibilang mudah, selain jalan berbatu berkelok-kelok di tebing jurang kita juga akan melewati 3 sungai dangkal berarus deras dengan bebatuannya yang besar-besar. Sepeda motor jenis matic yang kami gunakan bekerja keras melewati beratnya medan ini.  Saran saya, jika kelak ada yang ingin memilih jalur ini di kemudian hari hendaknya jangan menggunakan motor matic. Akan sangat menyusahkan di beberapa kondisi jalan. Namun sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan yang menyejukkan mata.


Setelah menembus hutan lebat, kita akan berkendara di pesisir pantai dengan deburan ombaknya yang kencang. Kami berkendara melewati Taman Nasional Laut Sawu dan dari kejauhan tampak pulau Mules yang eksotis. Jalur ini begitu sepi, jarang sekali kami berpapasan dengan pengendara lain. Sesekali kami dikagetkan dengan segerombolan babi hutan yang menguasai jalanan, kami kadang harus berhenti menunggu lama membiarkan hewan-hewan liar itu berlalu dari bahu jalan atau monyet-monyet liar berlarian di padang rumput yang membentang panjang yang kadang tiba-tiba menyeberang jalan mengagetkan kami, juga kerbau-kerbau yang membenamkan diri di kubangan lumpur memperlihatkan tanduk dan matanya yang tampak gagah.


Setelah berkendara cukup lama, kami akhirnya menemukan pertigaan Dintor.  Dari pertigaan ini kami berkendara menuju ke arah Desa Kombo dan lanjut ke Desa Denge desa terakhir yang bisa ditempuh dengan kendaraan.  Kami tiba di penginapan Pak Blasius saat Matahari sepenggalan, dua orang traveler telah lebih dahulu mendahului kami tiba di sini, mereka berangkat via Ruteng, rute yang juga tadinya kami akan tempuh, namun berbekal kenekatan kami bisa memangkas perjalanan yang seharusnya harus ditempuh 8 jam kami bisa tempuh hanya kurang lebih 6 jam.


Pak Basilius Monta ini merupakan putra asil Wae Rebo, dia mendirikan homestay wejang asih di kaki gunung Togkor Kina. Dari sinilah kita akan memulai tracking kami setelah sebelumnya menikmati makan siang ala kadarnya yang disiapkan oleh anak pak Blasius. Dua orang traveler tadi juga akhirnya bergabung dengan rombongan kami. Jadilah kami berenam ditambah si Timo yang jadi guide kami memulai perjalanan kami menuju desa dibalik gunung itu.

NB:
secara ringkas rute ke Wae Rebo bisa ditempuh melalui tiga jalur ini:
1. Jalur Trans Flores (Labuan Bajo – Lembor – Pela – Todo – Narang – Dintor – Kombo – Denge – Desa Waerebo)
2. Jalur Trans Flores (Ende – Bajawa – Ruteng – Narang – Dintor – Kombo – Denge)
3. Jalur Selatan (Labuan Bajo – Lembor – Nangalili – Borik – Dintor – Kombo – Denge)

*Bersambung
  

0 komentar: