Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropa yang pernah mengalahkan
Inggris, di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah
mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang
melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan
Belanda di atas belahan dunia.
Perang Aceh termasuk ke dalam sepuluh perang terlama di dunia. Pada
tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Belanda mengeluarkan Pernyataan perang dengan
resmi atas kerajaan Aceh. Maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral J.H.R
Kohler pada tanggal 5 April 1873 mulai menyerang Aceh. Pasukan Belanda
memusatkan serangannya pada Masjid Raya Baiturrahman. Setelah pertempuran
berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman terbakar dan dapat dikuasai
Belanda. Dalam pertempuran tersebut Jendral Kohler tewas. Meskipun Masjid Raya
Baiturrahman dapat dikuasai Belanda, namun hal itu tidak berlangsung lama.
Belanda semakin terdesak dan pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April
1873.
Namun kemudian Belanda datang lagi. 24 Desember, 1873 Belanda kembali menyerang Aceh dengan mengerahkan serdadu upahannya dari Jawa, Madura, Manado dan Maluku. Mereka juga menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Prancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerahkan mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh. Kedatangan kembali Belanda ke Aceh dipimpin oleh Jendral J.Van Swieten. Belanda berhasil menguasai istana dan dijadikan daerah pertahanan. Walaupun istana dapat dikuasai Belanda, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung. Di bawah pemimpin-pemimpin Aceh seperti Panglima Polim, Teungku Chik Di Tiro, Teuku Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dien, Teuku Umar dll, rakyat Aceh terus berperang melawan kedzaliman dan penjajahan Belanda. Setelah terjadinya perang periode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Aceh tahun 1942.
Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan:
Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu
peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Aceh. Menurut kurun
waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut
korbannya -Lebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian
militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda”.
Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada
ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera
diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian
satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah
menjadi kenyataan.” (Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal.254).
Meski demikan Aceh juga telah membayar mahal perang ini, bukan saja
kehilangan 250.000 pejuang Aceh yang gugur dalam medan perang, 1.500 orang mengalami
dipresi dan sakit jiwa. (Paul Van ‘t Veer: 1985), akan tetapi Aceh, juga gagal
memanfaatkan peluang untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh--meletakkan Aceh
semula sebagai sebuah negara merdeka-- ketika Belanda sudah berhasil diusir
dari bumi Aceh pada 1942. Aceh bahkan
kehilangan segala-galanya, seperti institusi kesultanan, sistem dan struktur
pemerintahan, batas wilayah negara, mata uang, bendera, lambang, kekuatan
militer, hubungan diplomatik dengan negara luar, konstitusi (Meukuta Alam) dan
kerugian harta benda.
Aceh yang telah berhasil mengusir penjajah dari bumi Aceh justru gagal
mempertahankan dan menyelamatkan Aceh, bahkan status turun derajatnya dari
sebuah negara kepada Residen sejak (1938-1942), Residen Jepang (1942-1945),
dan Residen Indonesia (1945-1949), salah satu provinsi (1949-1950) dan provinsi
(1950-sekarang). Di atas pertimbangan inilah, ultimatum perang ini dianggap
menyisakan masalah politik Aceh hingga sekarang. Wallahu a’lam bis-sawab
Saya belum menemukan literatur yang benar-benar memuaskan kepenasaran
saya mengenai perjuangan rakyat aceh termasuk di Buku ini, Novel ini seri kedua
dari dwilogi perang Sabil karya Syaf Muhammad Isa hanya mengupas kulit luar
perang sabil di Aceh. Kisah-kisah heroik pahlawan Aceh hingga kini masih belum
banyak dibukukan apalagi ditulis menarik dalam bentuk Novel. Aceh seperti
menyimpan sejarahnya dalam kebisuan. Mungkin memang saya harus berkunjung
sendiri ke Tanah Rencong ini. J
Sumber:
NB:
Saya rekomendasikan kalian untuk menyaksikan film “Tjoet
Njak’ Dhien” arahan sutradara Eros Djarot yang dibintangi oleh Christine Hakim tahun
1988. Paling tidak di filem itu menggambarkan lebih dalam perjuangan dan kisah
heroik ““Tjoet Njak’ Dhien”
0 komentar: