Day 6: 9DSolobackpaker Labuanbajo 29 Desember 2016 Wae Rebo: Desa Dibalik Gunung “kita akan melewati sebuah jembatan bambu” b...

Part VIII: Wae Rebo, Desa Dibalik Gunung



Day 6: 9DSolobackpaker Labuanbajo
29 Desember 2016
Wae Rebo: Desa Dibalik Gunung

“kita akan melewati sebuah jembatan bambu” begitu kata Timo, pemuda tanggung yang jadi guide kami. Jembatan ini seperti portabel waktu, memisahkan antara dunia kita dan dunia orang-orang Wae Rebo itu. Kami sudah berjalan hampir 3 jam lamanya, tanda-tanda perkampungan Wae Rebo itu belum nampak sama sekali. Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak ini. Hutan-hutan tua dengan pohon-pohon yang tak kalah tuanya berdiri kokoh di sepanjang jalan.  Pos satu tempat kami berehat tadi sudah jauh tertinggal di belakang. Sesekali kami berpapasan dengan tamu atau warga Waerebo yang hendak turun ke Denge’. Tidak banyak pengunjung beberapa hari ini begitu kata si Timo.

Saya lelah, setelah berkendara berjam-jam kini saya harus berjalan berjam-jam pula. Gerimis tampa ampun menyirami kami. Jas hujan ala kadarnya rasa-rasanya malah semakin memperberat langkahku. Dan pada titik lelahku dari jauh dibalik kabut sama-samar kulihat pucuk-pucuk rumah kerucut itu.  Kita hampir sampai, begitu kata si Timo.  Lelahku tiba-tiba menguap, hilang bersama kabut.

Pos ke dua. Si Timo membunyikan kentongan yang tergantung kesepian di pojok pos dua yang tampak seperti posko ronda. Dari pos kedua kita bisa melihat dengan jelas rumah-rumah kerucut itu. Si Timo menjelaskan bahwa setiap tamu yang datang ke kampung ini diwajibkan membunyikan bambu ini. Babbu ini menandakan ada tamu baru di sini. Si Timo menggoyang-goyag bambu itu, menghasilkan suara kelontang-kelontang yang menggema ke udara. Jarak dari pos ke dua ini hingga ke pintu gerbang Wae Rebo hanya sisa kurang lebih 500 meter lagi.

Sesampai di Wae Rebo kami langsung diarahkan ke rumah utama “Niang Gendang”. Tetua adat menanti kami dengan ramah di sana.  Niang Gedang merupakan rumah utama yang ada di kampung ini. Niang gendang ini hanya boleh dihuni oleh keturunan langsung penduduk Wae Rebo. Secara turun temurun Mbaru Niang dihuni oleh 7 atau 8 kepala keluarga dari marga yang berbeda-beda yang mewakili semua marga di sini.
Sesuai tradisi Wae Rebo semua tamu yang berkunjung di sini terlebih dahulu harus melalui ritual yang disebut “Wae Lu’u”. Upacara ini bertujuan untuk menyambut tamu yang baru datang. Bapak tua itu merapalkan mantra yang cukup panjang, dengan bahasa Manggarai kuno yang sama sekali tidak kumengerti artinya. Meski mayoritas masyarakat di sini beragama Kristen namun adat istiadat leluhur masih dipegang kuat di sini.  Setelah prosesi selesai kami dipersilahkan untuk beristirahat di rumah adat yang disiapkan untuk para pengunjung Wae Rebo, sambil menanti makan siang kami disuguhkan segelas kopi Manggarai beraroma nikmat.
Wae Rebo merupakan satu-satunya kampung adat yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional Manggarai yang disebut Mbaru Niang. Terbuat dari kayu dengan atap ilalang yang dianyam. Bentuk Mbaru Niang ini mengerucut ke atas. Konstruksi bangunan ini hanya menggunakan bahan-bahan sederhana yang diperoleh dari hutan sekitar, arsitektur tradisionalnya juga terbilang udzur, menggunakan tekhnologi ikat sebagai bahan untuk menyambung struktur bangunan. Ini pulalah yang menyebabkan Wae Rebo memperoleh award of excellence dari Badan Unesco tahun 2012 lalu. Meski demikian Mbaru ini terlihat begitu kokoh menantang alam.

Sesuai ketentuan adat, di sini hanya terdapat 7 Mbaru Niang. Dimana dalam setiap rumah itu terdapat lima tingkatan yang difungsikan berbeda-beda. Tingkatan pertama adalah tempat yang digunakan untuk tempat tinggal para penghuninya. Tingkat ke dua disebut “Lobo” tempat ini berfungsi untuk menyimpan bahan makanan sehari-hari, selanjutnya tingkat ke tiga disebut “Lentar” difungsikan untuk menyimpan benih pangan. Tingkat ke empat disebut “Lemparae” berfungsi untuk menyimpan cadangan makanan khusus musim kemarau dan tingkat ke terakhir disebut “Hekang Kode” yang berfungsi untuk tempat sesajian persembahan bagi para leluhur.
Mbaru Niang ini merupakan simbol kearifan masyarakat Wae Rebo begitu kata seorang penduduk desa. Masyarakat di sini seperti hidup di dua dunia. Di sini hanya ada desa adat sementara dibawa sana ada kehidupan yang lebih modern. Meski terpencil Desa ini tak lantas terkucil, desa ini justru telah mendunia setiap tahun setidaknya ratusan wisatawan dari manca negara berkunjung ke tempat ini.
Desa ini berada di dataran tinggi diatas 1.100 Mdpl diatas permukaan laut, hal itulah yang menyebabkan tempat ini begitu terisolasi. Keterpencilan dan keterisolasian Wae Rebo justru memiliki daya tarik tersendiri. Terletak di tengah kawah pegunungan Togkor Kina yang menjulang tinggi dan curam menampilkan Kampung Wae Rebo sebagai salah satu kampung terindah dan unik di muka bumi. Tidak heran bila Unesco menetapkan Wae Rebo sebagai salah satu warisan dunia. Hidup di balik gunung tidak lantas membuat warga Wae Rebo terasing, justru dengan cara seperti ini mereka menjaga warisan leluhur yang mewarnai peradaban dunia.

“Neka Hemoh Kuning Agu Kalo” ungkapan ini secara harfiah bisa diartikan seperti ini “inilah tanah kelahiran tanah pusakan dan tanah tumpah dara yang tidak dapat dilupakan” begitulah prinsip hidup yang dipegang kokoh oleh masyarakat Wae Rebo. Kecintaan terhadap tanah leluhurlah yang menyebabkan mereka mampu bertahan hingga kini, ditempat terisolir ini. Dan satu-satunya alasan membuat saya ingin berkunjung ke tempat ini adalah keterpencilan dan keterisolasianya.
Meski demikian Wae Rebo setidaknya jauh lebih maju dibanding desa adat yang pernah kukunjungi sebelumnya. Desa adat Badui dalam. Di Wae Rebo tidak ada larangan penggunaan teknologi apapun. Penerangan modern juga bisa dinikmati di sini, toilet umum yang bersih dan berbagai macam kenyamanan yang tidak bisa kita dapatkan di Baduy Dalam.  
Malamnya saya tidak melakukan banyak hal, hanya bergelung dibawa selimut tebalku dan bertukar cerita dengan beberapa pengunjung yang juga datang ke sini, sambil menikmati kopi khas Manggarai. Kopi-kopi di sini masih diolah dengan cara tradisional, di tumbuk dengan palung batu untuk memisahkan daging dari biji kopi, dijemur dengan cahaya matahari yang cukup. Kopi-kopi itu kemudian disangrai di tungku tanah liat dengan panas api sedang selama kurang lebih 30 menit. Kopi-kopi yang telah matang ini dihaluskan lagi dengan palung batu, baru kemudian bisa disajikan dalam bentuk segelas kopi yang beraroma nikmat.
Selain dari parawisata penghasilan utama masyarakat Wae Reo didapatkan dari perkebunan Kopi yang lumayan luas. sejak era tahun 2000an tanaman kopi sudah mulai memasuki desa Wae Rebo, hingga kini Kopi menjadi salah satu sumber penghidupan utama di sini. Hampir semua penduduk Wae Rebo menanam kopi. Setidaknya ada 3 varian kopi yang ditanam di sini. Arabica, Robusta dan Kolombia. Kopi-kopi di jual ke kota, dipangkul dari puncak gunung ini ke desa bawah, saya memikirkan hal itu dengan agak miris, di perjalanan ke sini tadi beberapa kali saya berpapasan anak-anak usia sekolah dasar menggotong berkilo-kilo karung untuk dibawa ke desa terdekat, Kopi-kopi itu hendak diuangkan, buat bekal mereka melanjutkan pendidikan, begitu katanya.



*bersambung*

NB:
silahkan baca catatan perjalanan saya di postingan sebelumnya.
Bagaimana akhirnya saya bisa sampai di Wae Rebo. memulai perjalanan panjang melelahkan dari Makasar-Mataram-Bima-Labuan Bajo-Wae Rebo. 

0 komentar: