More Picture: Cek IG @asdar_munandar |
“Dunia ini bagaikan buku raksasa. Dan mereka yang tidak pernah
melakukan perjalanan hanya membaca satu halaman saja”
-St. Agustine-
Day 3: 26 Desember 2016
Mataram-Pelabuhan Sape: Ketika Mimpi Tergerus Realita
Seberapa jauh sih “jauh” itu ?, kenapa banyak orang-orang yang terobsesi dengan kata jauh. Dulu ketika saya kecil, saya selalu betah memandangi cakrawala nan jauh. Berdiri di tanah lapang memandang lurus sejauh mata saya bisa memandang, atau ke pantai dan membayangkan berapa jauh kolong langit di cakrawala sana.
Pagi yang pengap, saya berdiri kecewa di pinggir dermaga pelabuhan sape, menatap jauh di cakrawala. Kapal penyebrangan ke Labuan Bajo sudah meninggalkan pelabuhan 3 jam yang lalu. Hiruk pikuk pelabuhan melambat. Perjalanan tidak selamanya mulus dan lancar, kadang bahkan lebih seringnya perjalanan yang kita jalani tidak sejalan degan apa yang kita rencanakan. Perjalanan hanyalah ibarat proses membenturkan fantasi dan realita. Dan nyatanya kita justru malah sering kecewa ketika fantasi-fantasi yang kita bangun rontok berguguran, hangus tergerus realita yang menyakitkan
Pelabuhan Sape |
Perjalanan seperti ini sungguh menguji daya tahan dan kesabaran kita sebagai manusia, juga mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang memang manusia tidak bisa kita paksakan. Semalam saya menempuh perjalanan panjang dari Mataram ke Bima hingga 13 jam lamanya. Berangkat dari Terminal Mandalika pukul 03.00 sore dan tiba di Bima tepat pukul 4 Subuh dan berharap pagi ini saya bisa menyebrang ke Labuan Bajo sesuai itinerary yang sudah saya susun sebelumnya. Tapi manusia hanya bisa berencana takdir selalu punya ceritanya sendiri.
Sepanjang perjalanan saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang kufikirkan. Berbagai macam isu berkembang di Bus, mulai dari banjir susulan, gempa dan akses ke pelabuhan yang bisa ditembus atau tidak. Orang-orang bercakap-cakap serius dengan bahasa yang tidak bisa kufahami. Di dekatku bapak berwajah lelah duduk terpekur sepanjang perjalanan. Gerimis sepanjang malam.
Kekhawatiranku terbukti satu persatu. Sesampai di Bima akses ke pelabuhan Sape tidak bisa ditembus dengan Bus yang biasa membawa penumpang ke sana. Buruknya lagi, terminal Dara sebagai terminal utama di kota Bima sama sekali belum bisa digunakan. Banjir melululantahkan semua. Bus tumpanganku menurunkan kami jauh di pinggir kota tepatnya di sekitar Pasar Amahami.
Kamu harus memilih alternatif lain begitu saran orang-orang kepadaku. Subuh yang dingin. Saya bingung, takut, sendirian dan tak tahu harus melakukan apa di pagi buta ini. Saya ditawarkan menggunakan mobil pickup dengan tarif Rp 70.000,00 sekali jalan, dua kali lipat lebih mahal dari tarif normalnya. Mobil open kap itu diisi 13 orang penumpang ditambah 1 keneknya. Kita melewati jalur alternatif, melewati gang-gang sempit dan jalan-jalan di pedesaan. Jalur utama sama sekali tidak bisa diakses. Hampir semua jembatan yang ada di kota Bima rusak parah, tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Sisa-sisa banjir bandan masih terlihat jelas di tengah kota. Air menggenang dimana-mana. Rumah-rumah warga rusak dan kotor. Kasur-kasur besar dijemur di depan rumah. Puing-puing dan gundukan-gundukan tanah basah yang terbawa arus menggunung di sembarang tempat. Bau udara yang lembab bercampur rasa dingin yang mistis. Konon katanya banjir ini adalah banjir terparah sepanjang sejarah Bima, beruntunglah banjir ini tidak merenggut korban jiwa, melihat kerusakan yang disebabkannya saya rasa suatu keajaiban Banjir ini sama sekali tidak menelan korban jiwa.
Sepanjang perjalanan saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang kufikirkan. Berbagai macam isu berkembang di Bus, mulai dari banjir susulan, gempa dan akses ke pelabuhan yang bisa ditembus atau tidak. Orang-orang bercakap-cakap serius dengan bahasa yang tidak bisa kufahami. Di dekatku bapak berwajah lelah duduk terpekur sepanjang perjalanan. Gerimis sepanjang malam.
Kekhawatiranku terbukti satu persatu. Sesampai di Bima akses ke pelabuhan Sape tidak bisa ditembus dengan Bus yang biasa membawa penumpang ke sana. Buruknya lagi, terminal Dara sebagai terminal utama di kota Bima sama sekali belum bisa digunakan. Banjir melululantahkan semua. Bus tumpanganku menurunkan kami jauh di pinggir kota tepatnya di sekitar Pasar Amahami.
Kamu harus memilih alternatif lain begitu saran orang-orang kepadaku. Subuh yang dingin. Saya bingung, takut, sendirian dan tak tahu harus melakukan apa di pagi buta ini. Saya ditawarkan menggunakan mobil pickup dengan tarif Rp 70.000,00 sekali jalan, dua kali lipat lebih mahal dari tarif normalnya. Mobil open kap itu diisi 13 orang penumpang ditambah 1 keneknya. Kita melewati jalur alternatif, melewati gang-gang sempit dan jalan-jalan di pedesaan. Jalur utama sama sekali tidak bisa diakses. Hampir semua jembatan yang ada di kota Bima rusak parah, tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Sisa-sisa banjir bandan masih terlihat jelas di tengah kota. Air menggenang dimana-mana. Rumah-rumah warga rusak dan kotor. Kasur-kasur besar dijemur di depan rumah. Puing-puing dan gundukan-gundukan tanah basah yang terbawa arus menggunung di sembarang tempat. Bau udara yang lembab bercampur rasa dingin yang mistis. Konon katanya banjir ini adalah banjir terparah sepanjang sejarah Bima, beruntunglah banjir ini tidak merenggut korban jiwa, melihat kerusakan yang disebabkannya saya rasa suatu keajaiban Banjir ini sama sekali tidak menelan korban jiwa.
Suasana Kota Bima Pasca Banjir Bandan |
Sepanjang perjalanan kami beberapa kali harus turun dari mobil karena jalanan sungguh hampir tidak layak digunakan. Beberapa kali mobil yang kami gunakan harus di dorong. Jam 06.30. Kami tiba di pelabuhan Sape. Kabar buruk berikutnya, kapal feri yang seharusnya menyeberang pukul 9 pagi justru berangkat lebih awal dikarenakan harus menghindari cuaca buruk. Kapal Peri itu sudah meninggalkan pelabuhan Sape sejak tadi jam 04.00 subuh. Jadilah kami para calon penumpang ke Labuan Bajo terkatung-katung tidak jelas nasibnya. Kecewa. Waktu saya yang sangat terbatas ditambah budget yang sudah diplot sedemikian rupa akan membengkak jika terjadi kondisi yang tidak diinginkan seperti ini. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, penyeberangan ke Labuan Bajo akan berangkat lagi besok subuhnya pukul tiga dini hari, jadilah kami harus merelakan waktu berharga kami di sini. Sehari terdampar di pelabuhan sape.
Angkutan Alternatif ke Sape |
Tapi bagaimanapun juga kita harus melihat sisi positif dibalik semua kejadian itu. Dibalik semua kejadian yang tidak mengenakkan itu selalu ada kebaikan yang Tuhan sisipkan. Di pelabuhan saya bertemu dengan beberapa orang pelancong. 3 orang backpacker yang juga melakukan perjalanan panjang dari Kalimantan ke Labuan Bajo ini. Juga sepasang Ayah dan anak yang terlihat akrab, mereka melakukan perjalanan panjang dengan Bus dari Jakarta ke Bima. Ayahnya bertampan Bule dengan wajah ramah yang selalu tersenyum. Berenam akhirnya kami memutuskan menyewa penginapan persis di dekat pintu gerbang masuk pelabuhan. Tarif penginapan disini terbilang murah, hanya berkisar antara Rp 70.000,00 hingga Rp 150.000,00 dengan fasilitas seadanya. Dan bersama mereka saya mengalami banyak petualangan-petualangan seru di Pulau Komodo bahkan sampai ke Wae Rebo tempat yang begitu ingin kukunjungi tapi akan menjadi mustahil jika hanya bepergian sendiri.
Penumpang Terlantar di Sape |
Tidak banyak yang bisa kulakukan di pelabuhan Sape. Setelah memilih penginapan dan beristirahat di sana, Sorenya saya hanya berkeliling-keliling di sekitar pelabuhan. Melihat aktivitas masyarakat pesisir. Melihat kepolosan hidup di pesisir Sape ini. Kalian tahu, Sape Ini adalah nama kecamatan paling timur di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kecamatan yang pertumbuhannya cukup pesat ini juga menjadi penghubung NTB dengan provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mayoritas penduduk di sini berprofesi sebagai nelayan dan petani garam.
DermagaPelabuhan Sape |
Dermaga Pelabuhan Sape |
Transportasi Dari Pelabuhan ke Kota Kecamatan Sape |
Rumah-rumah di Pesisir Sape |
*Tarif Penginapan berpariasi tergantung Penginapan/Hotel. Ada banyak penginapan bertebaran di sekitar pelabuhan. saran saya jauh lebih aman menunggu kapal penyebrangan di Sape dibanding bermalam di Bima karena harus mengejar bus pagi ke Sape.
*Ada banyak warung sederhana di dalam pelabuhan yang juga menyediakan penginapan dan pasilitas kamar mandi seadanya.
*Jika anda terjebak di Sape tidak ada salahnya berkunjung dan berkeliling kota kecamatan menggunakan delman, tarfi ke kota hanya Rp 5.000
* Beberapa meter dari pintu masuk pelabuhan ada masjid terapung yang cukup menarik untuk dikunjungi.
*Usahakan segeralah masuk ke kapal penyebrangan begitu anda mendapatkan tiketnya, anda bisa mendapat posisi duduk/tidur yang lebih nyaman
*Sebaiknya Bawalah Sleeping Bag jika anda berpergian seperti ini. akan sangat bermanfaat.
baca post ini jadi keinget berita banjir bandang Bima, dan aku lupa lupa inget juga kalau ternyata di Bima pernah ada kejadian banjir bandang.
ReplyDeletekadang aku juga gini, kalau pas solo traveling, itinerary bisa meleset karena kita nggak tau nanti ada tambahan biaya begini begitu dikarenakan hal hal yang nggak terduga
hai terimakasih sudah mampir. happy nice trip ya ke LBJ.
Delete