( gambar ini diambil di sebuah pasar traditional di
sekitaran Malang tgl 20-04-2012, mohon maaf sebesar-besarnya untuk pihak
yang merasa dirugikan atas dipublikasikannya gambar in. Mohon ke ikhlasannya )
Aku juga entertainer, seorang seniman penjajah suara, bahkan mungkin
suaraku jauh lebih bagus dari mereka yang sering tampil depan tivi dengan ful
baking vokal atau lipsing nggak jelas. Aku tidak ingin kalian samakan seperti
mereka yang hanya menengadahkan tangannya memohon belas kasih, meski tak bisa
dipungkiri strata sosial kami memang mungkin sepadan. Aku ingin kalian
menghargai usahaku dan suaraku, karena hanya itulah yang bisa kujual untuk saat
ini. Andai bisa memilih akupun tak ingin seperti ini, hidup dari satu tempat
ketempat lain dari satu pasar ke pasar lain dari bus kebus yang lain bahkan
dari lampu merah ke lampu merah yang lain. Dentingan-dentinga receh yang
mungkin tak berarti bagi kalian adalah segenggam asa dimata saya, dari sanalah
asap dapur saya yang lebih sering kering bisa mengepul lagi.
Dentingan-dentingan receh itu juga berarti memberikan sesaat lagi kesempataan
untuk anak-anak saya menikmati bangku sekolah.
Hidup sebagai pengamen jalanan adalah keharusan bagi saya bukan sebagai
pilihan. karena andai ini adalah suatu pilihan pasti saya lebih memilih
jalan-jalan yang lain, bukan sebagai pengamen jalanan. Susah, sedih, senang,
bahagia adalah suatu ukuran yang sangat relatif untuk digambarkan, karena
disini dalam kerasnya kehidupan jalanan kami juga merasakan hal-hal seperti itu.
Namun Kadang kala merasa sangat
beruntung dengan keadaan seperti ini, jauh lebih beruntung dari mereka yang
dipusingkan dengan dinamika dunia yang penuh dengan kamuflase dan berparaskan
hypocrate, dijalanan semuanya serba apa adanya tak dibuat-buat apalagi sekedar
akting atau spekulasi. disini semuanya
digambarkan secara nyata, fiur dan gamblang. yang benar adalah kebenaran dan
yang salah adalah kesalahan, tidak ada yang ditutup-tutupi, disini tidak ada
korupsi berjamaah atau konspirasi-konspirasi licik untuk menjatuhkan yang lain
seperti yang dilakukan wakil-wakil kita di parlemen sana. Dilain kesempatan
sempat pula kumerutuki nasib, ketika harus diberi pilihan yang sulit antara
biaya pendidikan anak-anak saya dan rasa lapar. Lagi-lagi sedih dan bahagia
hanyalah sebatas terminologi kata yang mewakili ekspresi menangis dan tertawa.
Entah apa yang terlintas dalam benak-benak kalian ketika melihat
pengamen-pengamen dipinggir-pinggir jalan, atau di bus-bus kota seperti saya
ini. Sedihkah, miriskah, bencikah, iba atau kasiankah ?, hal itu sudah tidak
kami hiruakan lagi yang terpenting adalah bagaiman kami masih bisa bernafas
lagi untuk beberapa saat.
sangat mewakili perasaan saya di paragraf kedua, thanks gan....
ReplyDelete