Ketika teriakan-teriakan cinta memanggilku kencang, kusumbat telinga dengan kedua tanganku, pun ketika bayangan-bayangan indah masa lalu menari-menari di pelupuk mata, segera kututup mataku dengan kedua telapak tangan, aku tak ingin dan aku tak butuh masa lalu. Sejatinya aku sangat merindukan.
Ada rindu dan cinta yang senantiasa membuka tangannya menantiku kembali, kutepis semuanya, bukankah ini juga untuk cinta jawabku...! terdiam kemudian mereka, dalam hembusan angin senja aku tahu ada rasa yang berkecamuk sedih setiap kali panggilan telpon kuakhiri, tapi sejatinya aku menangis.
Rasa semakin kuat, kulawan dengan kepadatan aktifitas, kulupakan dengan setumpuk buku, kuhiraukan dengan jurnal-jurnal ilmiah, dan kuyakinkan bahwa bukankah ini juga untuk cinta. Tapi sejatinya aku ingin berhenti.
Kadang kita begitu egois dengan hati, menggenggamnya semakin kuat dan mendapatinya terburai berantakan tak berbentuk, seberapa kuat dan kerasnya tangan ini mampu mengikatnya suatu saat simpul hatipun bisa terburai. Kenapa tidak memilih untuk berhenti sejenak sekedar menuruti hati yang begitu meridu, kenapa melupakan... sementara mereka yang dalam tidurnya pun selalu menanti kepulanganmu. Terdengar begitu dilematis, begit kokoh mengejar mimpi untuk cinta tapi sejatinya membiarkannya hampa terabaikan.
“ Pulanglah nak “ Tangisnya suatu senja.
Maafkan aku Bu’ anakmu telah tersesat, mempertuhankan idielisme mengabaikan rasa.
dan akhirnya untuk kesekian kalinya romadhan akan kulewati sendiri.
0 komentar: