Jika
berbicara tentang jarak yang terpikir di benakku justru jarak atara hidup dan
mati. Saat ini jarak itu terasa begitu tipis, hanya seperti dipisahkan selaput
tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tetiba kita berada diseberang dunia
lain itu. Dunia kehampaan, dunia kematian.
Berita duka
bertebaran di media sosial. Setiap hari kabar duka itu berdatangan tak
henti-henti. Karib kerabat, sanak saudara, orang-orang yang kita kenal sepintas
lalu maupun mereka yang begitu akrab, tetiba kabar dukanya datang menghenyakkan
batin. Kita tertegung, merenungkan antrian kita pada nomor urut ke berapa. Bukankah
sejatinya kita juga sedang menanti di ruang tunggu yang sama.
Dunia
sedang sakit, sedang dilanda pandemi yang sepertinya tidak ada titik terangnya.
Manusia terbelah, segolongan mempercayai pandemi ini nyata segolongan lagi
menganggapnya hanya rekayasa demi kepentingan korporasi yang lebih besar.
Masyarakat merasakan dampak yang luar biasa dari pandemi ini, sementara
pemerintah mengeluarkan ke(tidak)bijakan yang ugal-ugalan. Sebentar-sebentar
istilah baru dikeluarkan sebentar-sebentar larangan ini itu di terbitkan. Rasa-rasanya
tidak ada solusi yang lebih praktis sementara waktu demi waktu korban
berjatuhan semakin banyak. Masyarakat justru diminta goyang ubur-ubur atau
menggunakan kalung penangkal anti corona itu.
Anehnya
saya belum menemukan para pembuat kebijakan ugal-ugalan itu justru menjadi
korban, saya belum mendengar kabar duka dari mereka, padahal saya sedang
menanti-nanti kabar-kabar itu. Bukan karena apa, cuman barangkali kebijakan
yang lebih baik, yang lebih bijaksana untuk rakyat bisa dikeluarkan setelah
mereka sendiri mengalami nasib yang sama. Jangan sampai air mata yang mereka tumpahkan
hanya karena melihat rakyatnya menderita, bukan air mata keran mereka juga
terdampak penderitaan yang sama.
Atau barangkali
pandemi ini memang pintar menyasar golongan tertentu. Golongan yang tidak bisa
memiliki akses untuk mendapat perawat terbaik di rumah sakit. Golongan yang
tidak memiliki relasi yang bisa memberinya dukungan untuk mendapatkan penanganan
terbaik. Ah sudahlah percuma juga
memikirkan para pejabat itu, lebih baik kembali rebahan. Menikmati segelas teh
madu dan menyelesaikan novel tebalku ini.
Makassar, 6 Juli 2021
0 komentar: