Sepanjang ingatanku, tak banyak kenangan manis yang terjalin antara sayadan Bapakku. Satu-satunya kenanganku yang paling melekat dibenakku a...

A Story for Bicycle




Sepanjang ingatanku, tak banyak kenangan manis yang terjalin antara sayadan Bapakku. Satu-satunya kenanganku yang paling melekat dibenakku adalah pernah di bonceng dengan sepeda tuanya ke sawah. saat itu umurku m masih sangat kecil, masih TK. saya ingat, sepeda kumbang yang bapak miliki berwarna hitam, meski bukan yang terbaik di jamannya tapi bagiku saat itu dibonceng sepeda oleh bapak suatu kebahagian yang luar biasa. Saya ingat kakiku diikat di stan sepedanya dengan robekan kain sarung. dan saya selalu bersemangat di ajak bapak ke sawah dengan sepedanya. 

Selain kenangan itu tak banyak lagi  moment bahagia yang bisa mengaitkan antara kami. kejadian-kejadian yang datang berikutnya  tidak banyak yang bisa dikenang. pahit bahkan cenderung menorehkan luka yang menjadi-jadi. Sampai saya mendewasa hubungan kami tidak menjaid lebih baik. Mungking memang sudah menjadi hukum allam, antara ayah dan anak lelakinya  selalu ada tembok yang tak kasat mata yang dipasang oleh kedua-duanya. selalu ada jarak yang kita bangun, komunikasi yang terbatas, pola fikir yang berbeda dan banyak hal lagi yang membuat hubungan atara bapak dan anak lelakinya tidak selalu berjalan dengan baik.

Berbicara tentang sepeda, orang-orang saat ini sedang menggandrungi olah raga ini. komunitas-komunitas sepeda menjamuar dimana-mana. Dikota besar bahkan di pelosok desa, akitivitas bersepda ini menjadi pavorit, apalagi semenjak wabah virus covid ini merebak. Sepeda seperti alternatif lain yang aman dan nyaman.  

Bagiku, selain berlari dan bersepeda tak banyak aktivitas olah raga yang kusukai. Barangkali kenangan sekelabat antara saya dan bapakku di masa lalu itu menjadi sebuah memori  yang membuat saya sampai saat ini menyukai bersepeda. Bersepeda atau berlari mungkin memiliki dasar filosofi yang sama. Sejauh-jauhnya jarak yang kita tempuh jika kaki tetap mengayuh pada akhirnya akan mebawa kita sampai pada tujuan kita. Sejauh-jauh jarak yang akan kita tempuh, jika kaki tetap melangkah maka pada akhirnya kita pasti akan sampai pada tujuan kita.


Sungguh, bersepda bagiku bukan hanya sekedar eforia sesaat, atau sekedar olah raga rutin untuk menjaga kebugaran atau menghilangkan lemak perut. Bersepeda bagiku  lebih dari itu semua, bersepda ibarat mencoba membangun suatu rasa yang berbeda antara saya dan bapakku. Bersepeda bagiku seperti berusaha memperbaiki hubungan yang buruk bertahun-tahun belakangan ini. berusaha menutup semua kenangan buruk dan menggantinya kenangan bahagia seperti masa kecilku dulu. Saya berharap dengan semakin jauh mengayuh saya mampu meniggalkan luka-luka batin yang bapak pernah torehkan dimasa lalu. Luka-luka masa lalu itu berguguran, keluar bersama keringat yang mengucur. 

Konon, orang yang paling bisa mencintaimu dengan tulus adalah orang tuamu, pun juga sebaiknya orang yang paling berpotensi menorehkan luka batin padamu juga adalah manusia yang bisa mencitaimu dengan tulus itu. orang tuamu sendiri. Saya sering menemukan banyak orang tua yang sering kecewa, atas ambisi-ambisi pribadi mereka yang tak bisa ditunaikan anak-anaknya, tapi dsiatu sisi orang tua juga sering tidak menyadari, anak-anak terluka atas ego pribadi orang tuanya yang justru hanya melukai anak-anaknya.

Perasaan timbal balik dan saring terluka seperti itu kadang menjadi bumerang, menjadi alasan mengapa hubungan antara anak dan orang tua pada akhirnya tidak berjalan baik. Merenggang. Luka batin antara keduanya karna harapan-harapan yang berlebihan akhirnya berbuah menjadi jarak. Jurang yang terus menganga sampai pada satu titik penyesalan yang sama. Kedua-duanya menyesal, orang tua menyesal atas apa yang terjadi, mengapa sampai seperti ini, Anak-anak bahkan lebih menyesal lagi. 

Hubungan buruk seperti in ibarat memintal benang yang kusut. Susah menemukan titik temunya. maka langkah awal untuk mengurai semua ini adalah melupakan dan berusaha mereknstruksi ulang kenangan kita melalui afirmasi. Saya berharap dengan banyak bersepeda, hormon endrofin saya semakin meningkat. Saya bisa mengafirmasi kenangan-kenangan baik kedalam memori otakku. Seperti kenangan bahagia di masa kecilku dulu. Saya berharap dengannya bisa menutup rongga-rongga luka yang pernah tertoreh. 

Bagiku hormon endrofin pemicu kebahagian itu bisa menjadi alat pengurai benang kusut, bisa mengurai duka dan dendam masa lalu. Agar kelak saat orang tua saya sudah tidak ada, saya tidak lagi menyimpan dendam dan luka batin lagi, agar kelak saya bisa mengingat Bapak saya dengan tersenyum. Saya bisa bangga pernah memiliki Bapak seperti dia. saya bisa berkata "terimakasih Bapak, untuk semua hal baik yang kau lakukan untukku"




Bersepda ke Air Terjun Tamasapi-Mamuju Sulawesi Barat
 
 


0 komentar: