Rumah adat Mamasa "Banua" Perbedaan mencolok antara rumah adat Toraja dan Mamasa  terletak di Ujung melengkungnya dan uk...

Di Nosu Kematian Harus Dirayakan

Rumah adat Mamasa "Banua"
Perbedaan mencolok antara rumah adat Toraja dan Mamasa
 terletak di Ujung melengkungnya dan ukirannya

Saya takut-takut memanjat dan menengadahkan kepalaku melewati pintu yang hanya seukuran jendela selebar pinggang. Gelap, Aroma sejarah menyeruak di udara. Di dalam ruangan rumah adat ini saya bayangkan menemukan sesosok mayat yang duduk tersenyum dan menatapku di sana. Dadaku sedikit berdegub kencang antara lega dan kecewa, saya tidak menemukan apa-apa di sana. Hanya dua lembar kasur yang dibiarkan tergeletak tak berpenghuni. Ibu yang punya rumah, menawarkan ku untuk terus masuk ke dalam ruangan seukuran kamar itu. Saya menolak dengan malu-malu. Meski tak ada siapapun di sana aroma mistis menyeruak kuat. Bulu kudukku merinding. 

Di Toraja, rumah adatnya disebut Tongkonan, sedang di Mamasa disebut Banua. Rumah Adat yang ada di kabupaten Mamasa memiliki persamaan dengan rumah (Tongkonan) di Kabupaten Tana Toraja dari segi bentuk, syarat dan latar belakang sejarah pendiriannya, hal ini dikarenakan keduanya berasal dari satu rumpun nenek moyang yang sama. Namun seiring perkembangan jaman, ada perbedaan-perbedaan yang spesifik dari corak, ragam dan hias dari masing-masing rumah adatnya



Belakangan ku ketahui rumah adat ini tadinya memang ditempati oleh mayat leluhur mereka, namun setelah diadakan ritual ma’pandang  barulah mayat-mayat itu dipindahkan ke bagian belakang rumah utama ini, yaitu ke rumah makam, orang Nosu menyebutnya alang-alang. Di Nosu, mayat-mayat tidak dikuburkan dilubang batu sebagaimana saudara tua mereka di Toraja. Mayat-mayat justru disimpan dengan rapi di alang-alang itu 

Mayat-mayat leluhur di tumpuk di sana. Disusun dengan rapi seperti guling, begitu kata si empunya rumah.  Setiap tahun tepatnya di bulan agustus setelah musim panen tiba akan diadakan ceremonial “mangaron”.  Seluruh mayat yang ada se distrik ini dikeluarkan, dikumpulkan di tanah lapang. Babi dan kerbau-kerbau disembelih. Sebagai persembahan ke pada arwah leluhur. Pakaian-pakaian mereka di ganti, dibungkus lagi dengan rapi, diupacarakan lagi, baru kemudian dikembalikan ke  “alang-alang” ini, peristirahatan terakhir mereka. 

Seorang lelaki desa berkata kepada saya, rumah makam ini tidak bisa dibuka begitu saja, harus ada ritual tersendiri untuk membukanya. Pintu kecil itu hanya bisa di buka dengan mengetuk-ngetuk beberapa titik yang hanya diketahui oleh orang yang menutup pintu masuk “alang-alang” ini. Semacam sandi tertentu..
 
alang-alang "rumah kuburan orang Nosu"
Secara sekilas tidak ada perbedaan yang mencolok antara Mamasa dan Toraja dari cara mereka memperlakukan mayat. Seperti halnya di Toraja, di Mamasa Kematian tidak pernah diartikan sebagai Duka. Kematian adalah sesuatu yang seharusnya dirayakan. Orang yang meninggal itu hanya berpindah.  Mereka berpindah ke alam yang lebih baik. Mereka naik kasta.  Itulah mengapa kematian di sini dirayakan  seperti merayakan kehidupan. 

Disini kematian justru mempersatukan kehidupan. Kematian salah satu anggota keluar akan mendatangkan ratusan sanak saudara dari seluruh penjuru. Sanak keluarga datang berbondong-bondong. Mereka datang membawa ayam, babi atau kerbau yang harganya bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta untuk dipersembahkan ke keluarga yang meninggal. Beban biaya korban pemakaman yang mahal akan ditanggung bersama semua anggota keluarga besar. Itulah mengapa  ikatan kekeluargaan begitu  kokoh di sini. Ikatan keluarga bahkan tidak terputus meski seseorang telah meninggal.

Agama tua itu dikenal sebagai Alu’ Mapurondo—secara harfiah berarti “agama orang dulu”. Konon katanya pada awalnya semua orang Mamasa pemeluk aluk hingga kedatangan Belanda pada tahun 1900an berhasil mengubah wajah tempat ini. Meski demikian kepercayaan Alu’ ini tidak serta merta tercerabut dari keseharian orang-orang Mamasa.

Kepercayaan Alu’ di sini masih begitu kuat apalagi di distrik ini, di “Noso”.  Orang Nosu sangat menghormati orang mati. Mereka percaya bahwa roh-roh orang mati itu berada di sekitar kita, mengawasi apakah orang yang hidup masih membuat segala sesuatu menurut kebiasaan mereka dulu. Mereka berkuasa untuk menguntungan atau merugikan orang yang hidup

beberapa kali ban mobil
hampr tegelncir di jurang
Medannya bikin banyak-banyak beristghfar
kontur tanahnya rawan lonsor

Distrik ini masih begitu terpencil. Berjam-jam perjalanan dari ibu kota kabupaten. Akses ke sana tidak bisa dibilang mudah.  Bayangkan hanya sekitar 60km dari Ibu kota Kabupaten harus ditempuh 4-5 jam perjalanan. Tempat ini dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi, hutan-hutan tua, dan jurang-jurang yang menganga lebar. Aroma mistis bercampur dengan aroma kopi menyeruak kuat di udara.  Jangan harap kalian bisa dengan mudahnya mengakses internet di sini bahkan hanya untuk menelepon pun di sini hampir sama mustahilnya. Listrik dan penerangan pun masih sangat minim.  

Nosu merupakan salah satu distrik yang masih sangat terpencil di Kab. Mamasa. Perjalanan ke sana terbilang berat, Karena tuntutan pekeraan kami berkesempatan mengunjungi distrik ini pada bulan maret kemarin bahkan kami melanjutkan perjalanan ke distrik yang lebih jauh lagi di "Pana". Distrik ini masih 2-3 jam lagi dari Nosu dengan waktu tempuh 2-3 jam peralanan. Medannya jauh lebih berat dan lebih sulit di banding ke Nosu. Hanya kendaraan 4 wd  dan roda 2 yang bisa sampai ke distrik ini, bahkan di beberapa titik yang kami kunjungi hanya bisa di akses dengan kendaraan roda dua. Jika musim hujan tiba tempat ini akan terisolasi dari dunia luar, terputus dari peradaban. Semoga saya masih diberi kesempatan untuk berkunjung ke tempat ini.



Saha terasering


Mamasa, April 2017
Note:
Tempat ini di Pana, pemandangan alamnya eksotis, bikin ketagihan pengen kesini lagi ;)
silahkan kunjungi IG saya untuk foto lebih banyak @asdar_munandar

0 komentar: