Tengkorak Manusia di Pekuburan Batu Tana Toraja |
Bayangkan kita
terjebak di suatu tempat
yang kita tahu takkan lagi ada jalan untuk kembali.
yang kita tahu takkan lagi ada jalan untuk kembali.
Bayangkan kita akan menjalani kekekalan di
sana,
tidak ada seseorang yang bisa menolong.
tidak ada seseorang yang bisa menolong.
Kita sendirian,
kesepian, putus asa dan menyesal.
Saya bermimpi, melihat rohku
perlahan-lahan keluar dari jasadku. Tubuhku perlahan-lahan mendingin. Mulutku mulai
membiru. Orang-orang tertegun sejenak disekelilingku. Beberapa mungkin
menangis. Ibu dan adik-adikku. Setelah itu semuanya seperti berjalan begitu
cepat. Saya dimandikan, dikahafani dan disholatkan oleh beberapa orang yang
tidak semua ku kenal. Setelahnya orang-orang terburu-buru mengusung jasad ku ke
kuburan. Saya diletakkan di liang kecil itu, ditutupi dengan beberapa lembar
papan dan ditimbun dengan tanah basah.
Orang-orang memadatkan tanah kuburan ku. Batu nisan bertulis namaku
telah terpasang. Dan satu persatu orang-orang berjalan meninggalkanku. Aku
ditinggalkan sendiri dihimpit tanah dan dilupakan.
Tengkorak Manusia di Pekuburan Batu Tana Toraja |
Kematian hanya seperti itu. hanya
seperti selaput gagasan tipis yang begitu gampang diseberangi. Dan tiba-tiba
kita disitu. Di dunia kehampaan, dunia keabadian. Dunia ketiadaan. Kita mati. Begitu
kita mati, berarti bagian yang dimainkan di dunia ini telah berakhir, dan
sekarang saatnya untuk melanjutkan arus yang lebih besar lagi. Maka dari itu,
kematian hendaknya mengajarkan kita betapa pendek dan tidak berharganya
kehidupan di dunia ini. Kehidupan dan kematian hanyalah bagian dari suatu arus
yang jauh lebih besar, dan muara untuk semua ini adalah ketiadaan. Keabadian,
Kekekalan, kekosongan sempurna.
Semua orang akan meninggal suatu saat nanti. Satu-satunya yang membedakannya adalah waktu datangnya. Tak ada yang bisa mencegah kematian, kematian adalah kesamaan universal yang akan dialami oleh semua manusia. Apapun agamanya. Tidak ada satu makhluk pun yang bisa lolos dari lubang kematian itu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan. Mempersiapkan ketidakhadiran kita atau mempersiapkan ketidakhadiran orang-orang yang selama ini selalu bersama kita.
Apakah akhir-akhir ini saya
tertarik untuk mati ?
Tidak. Pikiran-pikiran seperti
itu sudah lama berlalu. Dulu waktu saya masih di sekolah menengah atas, saya
pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang aktivis, sebuah catatan
perjalanan. Dan bagian yang paling menginspirasiku adalah catatannya tentang
“mati muda”. Dan dia sungguh mendapatkannya. Di usianya yang masih begitu belia,
dia meninggal di puncak tertinggi tanah Jawa. Puncak Mahameru. Sebuah kematian
yang fenomenal menurutku.
Dulu saya berfikir, saya akan
mati muda seperti dia. Waktu itu saya belum terlalu mengenalnya. Belum banyak
membaca buku-bukunya. Menurutku akan menjadi menyenangkan ketika kita bisa mati
di usai yang masih muda. Mati di kala semua semangat hidup kita justru berada
pada titik tertinggi. Mati dikala kita justru sedang pada kondisi yang begitu
prima menantang kehidupan. Usia 24-25 adalah waktu terbaik untuk mati. Begitu
fikirku. Dulu saya berfikir kematian di dunia hanya akan memutus semua
kesengsaraan kita. Membebaskan kita dari semua rasa sakit itu. Tapi akhirnya pada satu titik pandanganku
berubah. Saya tidak lagi ingin bermain-main
dengan kematian. Kematian memang bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi apa
yang ada dibalik kematian itulah yang selayaknya dipikirkan lebih dalam.
Kematian tidak sesimpel yang pernah kita pikirkan.
Mamasa, 15 February 2017
0 komentar: