Moralitas
Pengemis
Berbicara
tentang moralitas. Mungkin moralitas saya telah tereduksi sedemikian rupa. Hati
saya tidak lagi bergeming melihat pengemis dan derivatifnya di pinggir jalan.
Ibu-ibu dengan anak-anak balitanya atau perempuan tua di depan pintu-pintu mini
market. Amplop-amplop permohonan bantuan biaya sekolah dan biaya hidup yang
dibagikan kepada pengunjung ATM. Entahlah rasa percaya saya sama mereka telah
terkikis habis. Saya menyebut mereka orang-orang yang mempermainkan rasa.
Bayangkan hanya
dengan tampan melas, baju compang-camping, muka sedikit kusut mereka
mempermainkan hati kita. Kita kemudian tersentuh, bergetar hatinya, menyodorkan
lembar ribuan. Mereka tersenyum, mengucapkan terima kasih dan sedikit doa.
Hahaa.. cerita lama kawan. Saya mengenali ibu-ibu dengan seorang anak gadisnya
di depan kampus saya yang juga berprofesi seperti itu. Bayangkan hampir tiga
tahun saya lalu lalang di kampus dan saya selalu melihat mereka di lampu merah
yang sama, dengan keadaan dan kondisi yang sama, dengan selogan yang sama
“Mohon Bantuan Biaya Sekolah”. Mereka bukan pengemis kawan, mereka penipu
berkedok pengemis.
Ironi
memang, kadang saya berpikir berapa rupiah duit yang mereka bisa kumpulkan tiap
harinya. Sedikit ? anda salah, mereka bisa hidup makmur dengan profesinya
itu. Mereka kaya tanpa perlu bersusah
payah. Kehidupan memang menampilkan berbagai macam lakon. Mengajarkan berbagai
macam modus. Menuntut manusia untuk terus menerus kreatif dan inovatif termasuk
dalam hal profesi ngemis-mengemis. Hei, kawan bahkan saya sering menemukan
pengemis-pengemis dengan modus beraneka rupa.
Saya pernah
didatangi seseorang yang mengaku satu daerah dengan saya. Mengalami nasib
tragis, kabur dari tempat penampungan TKI, tak punya uang, tak punya kerabat
dan terakhir minta ongkos pulang. Kenapa saya meyakini ini penipuan, ternyata
di hari yang sama dia datang juga ke tempat teman saya dengan modus dan cara
yang sama dan besok-besoknya saya sharing ke yang lain ternyata banyak yang
juga mengalami penipu dengan modus seperti ini. Mengaku satu daerah asal,
kehilangan dompet lah, nyasar lah, apa lah. Inti-intinya mereka-mereka ini
sedang menipu rasa kasihan kita.
Dewasa ini
kita sungguh dituntut untuk skeptis, tidak mudah percaya dan tidak mudah iba.
0 komentar: