Suatu pagi
saya duduk di lobi kantorku. Saya sedang memikirkan tentang sesuatu yang berat,
kehidupan dan kematian. Beberapa menit sebelumnya saya baru saja membaca berita
di koran. tentang beberapa orang pendaki yang meninggal terbakar di Gunung Lawu.
miris dan menyedihkan.
Pandanganku
teralihkan oleh suatu gerakan di lantai, sekitar setengah meter dari kakiku. Seekor
kecoak. Hewan itu tergeletak dalam posisi terbalik, kaki-kaki kecilnya
meronta-ronta sia-sia. Saya memalingkan
wajah, namun kedua mata saya kembali tertuju ke mahluk kecil yang berada dalam keadaan menyedihkan itu.
Aslinya
saya salah satu tipe manusia yang kurang bisa bersahabat dengan hewan bernama
kecoak ini, beda dengan si Juki yang punya piaraan kecoak namanya coro, tau kan
si Juki. Komik yang lumayan terkenal di webtoon itu. Meskipun demikian saya
mempertimbangkan beberapa pilihan untuk mengambil tindakan atas nasib malang
kecoak tersebut. Pertimbangan pertama menginjaknya dan melepaskannya dari
penderitaan, yang kedua mengabaikannya dan pura-pura tidak melihatanya dan
pertimbangan terakhir saya bisa menyelamatkan nyawanya, seekor serangga memang,
tapi tetap merupakan nyawa.
Saya
memutuskan untuk mengambil pilihan ketiga, saya melangkah ragu-ragu menuju ke kecoak
malang tersebut. Menendangnya dengan lembut.
shuttt.... kecoak itu terlempar sekitar tiga meter dari kakiku, masih
terjungkir balik. Kaki-kaki kecilnya masih meronta-ronta. ah gagal.. fikirku,.
Sudahllah, saya kemudian mengabaikannya. saya rasa tidak ada kaitannya antara kehidupan
kecoak itu denganku. Saya berjalan meninggalkannya.
Beberapa
menit kemudian diliputi rasa penasaran saya kembali ke tempat kecoak tersebut,
dan sialnya saya masih menemukannya dalam kondisi seperti semula, semakin
melemah. Kali ini kembali kutendang kecoak itu dengan lembut. Shut.. dan
berhasil, tubuh kecoak itu terpental beberapa meter, terbalik dan segera
berlari meninggalkanku. Dia menghilang dibalik lemari tanpa mengucapkan terimakasih
kepadaku. Rasanya menyenangkan, saya menyelematkan satu nyawa, meski hanya
seekor kecoak tapi itu tetap satu nyawa.
Keesok
hari, saya kembali menemukan kecoak itu terjungkir balik di lobi kantorku dan saya
sangat yakin kecoak yang terjungkir balik ini adalah kecoak yang sama yang
kutemukan kemarin. Anehnya saya tidak lagi merasa harus menyelamatkannya. Saya
menginjaknya. membebaskannya dari penderitaan, dan dia mati. Entah mengapa saya
merasa lega, mungkin karena berpikir kecoak itu tidak lagi akan merasakan
penderitaan yang sering dia rasakan selama ini, terjungkir balik. Mungkin dia akan tenang di sana.
Kematian
mungkin memang seperti itu, hanya seperti selaput tipis yang begitu gampang
disebrangi. Seperti kecoak tadi, dia tidak pernah menyangka akan berakhir di
kaki orang yang telah menyelamatkan hidupnya sebelumnya.
Bukan hanya
kecoak, manusia pun seperti itu, pagi ini mungkin saja kita masih bisa
menghirup udara bebas, tapi siapa yang menjamin beberapa jam kemudian kita
masih berada dalam kondisi yang sama. Kita bisa tiba-tiba saja mati.
Kembali berbicara
tentang kematian. Saya tidak pernah merasa takut mati di usiaku kini. Dulu saya
selalu berfikir mungkin saya akan meninggal di usia mudaku. seperti Soe Hok Gie,
salah satu tokoh pavoritku. Manusia pada umumnya ketika berfikir tentang
kematian, mereka akan memikirkan banyak hal yang kemungkinan belum sempat
mereka lakukaan. Ambis-ambisi besar mereka yang belum tercapai, anak-anak mereka
yang belum bisa mandiri dan berbagai persoalan-persoalan lainnya, yang justru
membuat mereka akan semakin gelisah dan takut akan kematian itu. Menurutku
begitu kita mati, maka tugas dan kewajiban kita di bumi sudah berakhir, kita
tidak lagi perlu memusingkan hal-hal seperti itu. Kita terbebas. Kita berpindah
ke kehidupan yang lain, ke tempat dimana semua manusia akan kembali, ke kehidupan yang lebih abadi. Kita mati.
0 komentar: