"Mematikan Rasa"
20 Sep. 14. Sabtu pagi di puskot kebiasaan
lama yang hampir terlupakan. Puskot bagiku tempat paling menyenangkan
menghabiskan waktu akhir pekan, bersama setumpuk buku usang, suara
lembaran-lembaran buku yang di bolak-balik, dan tingkah lucu muda-mudi memadu
kasih. Sungguh suatu hari nanti aku akan sangat merindukan saat-saat ini.
Bulan-bulan ini menjadi sedikiti tidak
menentu bagiku, bulan-bulan terakhir saya akan berada di kota yang telah
memberiku banyak pemahaman hidup ini. Setelah ujian akhir kemarin, kini hidupku
sedikit terombang-ambing, entahlah. Akhirnya aku terjebak dalam rutinitas yang
selama ini sangat tidak aku inginkan. Terjebak dalam ketidakpastian.
Kis the Rain-nya Yiurama terus mengalir
lembut di headset saya. instrumental yang mampu membuat saya melayang jauh ke
belakang. Ke suatu masa dulu. Saya bisa dengan santai memejamkan mata
membiarkan dunia menciut menjadi hanya sebuah tarikan nafas, ke luar, ke dalam,
ke luar, ke dalam. Menurunkan frekuensi gelombang otak. Kontemplatif.
Tuesdays With Morrie buku yang kini ada di tanganku. Buku
karangan Mitch Albom yang di angkat dari kisah nyata hidupnya. Kisah tentang
bagaimana dirinya akhirnya bisa menemukan kembali makna kehidupan dari seorang
Profesor yang sedang menanti bulan-bulan terakhir hidupnya.
Saya begitu larut dengan buku ini. Begitu
kagum dengan sosok Prof Morrie. Seseorang yang mampu memandang hidup secara
berbeda dari kebanyakan orang lain. padahal saat ajalnya sudah dekat sekali
“Kalian pernah merasa “tidak berguna” ?. sebuah pertanyaan yang membuat saya
tersentak, Profesor Morrie seakan berbicara langsung ke saya. Saya menutup
sejenak buku itu. membayangkan kembali hari-hariku selama ini. Hari-hari
setelah ujianku ternyata tak seindah yang pernah kubayangkan. Lamaran-lamaran
kerja yang kukirim entah untuk kesekian kalinya. Interview-interview yang gagal
berkali-kali, entah mengapa aku sering merasa akulah yang paling tidak
disenangi para interviewer itu. cita-citaku buyar. Untuk pertama kalinya aku
sungguh merasa sangat tidak berguna.
Saya semakin merasa waktu tiba-tiba
begitu berharga, seperti air yang tumpah lewat kucuran, namun aku tak cukup
cepat untuk menadahinya. Kalian mungkin pernah terjebak dengan sebuah kalimat
klise seperti ini “apa yang diharapkan dari aku versus apa yang aku inginkan
untuk diriku sendiri”
Kis the Rainnya Yiurama berakhir,
tergantikan gesekan biola nan menyayat hati milik Rishtey “Sad Scane Violin”.
Saya tersentak, tiba-tiba saya terlempar pada satu titik di mana saya ingin
tertawa dan menangis. Titik ketika saya tiba-tiba melihat diri saya berada di
antara penguji dan pembimbing saya yang membacakan kelulusan saya. tiba-tiba
ada bagian dalam diriku yang enggang meninggalkan bangku kuliah ini. Namun ada
bagian lain yang sangat ingin untuk pergi sebebas-bebasnya. Dua kubu yang
saling tarik menarik.
Alunan melodi dari gesekan biola itu
terus menyayat hati, bersama lembar demi lembar halaman buku ini. Hal. 56 “Cinta satu-satunya perbuatan yang
rasional”. Petikan kalimat levinas pada halaman ini saya baca berulang-ulang.
Saya terdiam sejenak. Memejamkan mata. Kembali terlempar ke suatu masa yang
lalu. Saya mendapati diriku duduk di satu taman yang rindang bersamanya
seseorang yang pernah kucintai begitu dalam. Merpati-merpati berebut
remah-remah roti yang kami lemparkan. Taman dan merpati-merpati itu saksi bahwa
kita pernah di sini, bersama. Mungkin saya butuh banyak belajar. Belajar
bagaimana saya akhirnya bisa berani menerima ketika cinta itu akhirnya
benar-benar pergi dan belajar kembali memberikan cinta saya kepada yang lain.
kita seharusnya kembali belajar menjadi
manusia. Kita harus memberi kesempatan pada diri kita untuk menangis jika itu
benar-benar harus dilakukan. Tapi setelahnya kita harus tetap fokus kepada
segala hal yang masih baik dalam kehidupan kita. Kepada orang-orang yang
mencintai kita. Kepada kisah-kisah dan perjalanan-perjalanan hidup kita yang
indah.
Instrumental lembut itu terus
mendayu-dayu di telinga saya. Saya merenungi kembali beberapa kalimat yang
membuat saya terenyuh: “Kau tahu, kadang-kadang kita tak boleh percaya pada apa
yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang kita rasakan. Dan jika kita
ingin orang lain percaya pada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat
mempercayai mereka, bahkan meskipun ketika kita sedang terpuruk dalam
kegelapan, bahkan ketika kita sedang terjatuh”.
Saya kembali mempertanyakan keinginan saya untuk menjadi seseorang yang
realis.
0 komentar: