Siapa dia ? Wanita di balik burqa. Di ada, tapi tak ada. Hari itu aku melihatnya, dan hari itu awal dari musibah yang menimpa hat...
Wanita di Balik Burqa
Siapa dia ?
Wanita di balik burqa.
Di ada, tapi
tak ada.
Hari itu aku
melihatnya, dan hari itu awal dari musibah yang menimpa hatiku akhir-akhir ini.
Dia wanita yang seluruh tubuhnya terbungkus selimut hitam, hanya menyisakan
sedikit ruang di antara dahi dan hidungnya tempatnya mengintip dunia dan
seluruh isinya.
Siapa dia,
wanita dalam burqa. Ia mengintip dunia, tapi dunia tak bisa mengintipnya. Ia
wanita tak berwajah, tak berwujud. Ia tak terungkap, jati dirinya terbungkus
rapat. Ia anonim, tapi Ia ada.
Dulu aku
berfikir, burqa adalah bentuk lain dari penindasan kebebasan, suatu bentuk
konservatisme agama, keterbelakangan, Kenihilan identitas, segregasi. Tapi
wanita dalam burqa itu.....
Tapi kalian
tahu, Burqa sejatinya adalah perlindungan, burqa adalah keamanan dan burqa
sejatinya adalah kebebasan. kebebasan melihat dunia dari sudut pandang mereka
pemakiannya. Kebebasan untuk menatap tanpa ada rasa khawatir untuk di
tatap.
Kini burqa
bagiku adalah suatu kemenangan mutlak seorang wanita. Wujud perlawanan yang tak
bisa kami kaum pria membalasnya sedikit pun. Bayangkan saja, mereka bisa
menatap wajah kita dan kita hanya bisa menerka-nerka wajah mereka. Yah mereka
menang. Menang mutlak. Kita hanya bisa berfantasi, membayangkan wajah-wajah
dibalik burqa itu”
Well, saya menyelesaikan dua buku luar biasa akhir pekan ini. Seacara tak sengaja saya meminjam dua buku yang ternyata memiliki...
Ways to Live Forever
Well, saya menyelesaikan dua buku luar
biasa akhir pekan ini. Seacara tak sengaja saya meminjam dua buku yang ternyata
memiliki kesamaan kisah. Sama-sama menceritakan kehidupan seseorang yang tengah
menanti detik-detik akhir dari hidupnya.
Yang pertama “Tuesday with Morrie”.
Buku yang ditulis oleh Mitch Albom ini merupakan kisah nyata yang diambil dari
kehidupan pribadinya. Mitch Albom dulunya adalah mahasiswa sosiologi yang
kebetulan dibimbing oleh Prof Morrie yang selalu dipanggilnya coach. Menurutku
buku ini harusnya dijadikan buku wajib bagi mahasiswa sosiologi. Tidak hanya
karena buku ini ditulis untuk mengenang seorang profesor di bidang sosiologi.
Tapi juga karena buku ini berisi begitu banyak pelajaran-pelajaran dan
makna-makna kehidupan.
Buku kedua, Way to Live Forever karangan
Sally Nicholls. Saya tidak pernah berfikir buku ini hanyalah kisah fiktif
penulisnya saja, sampai pada lembaran terakhir buku saya baca saya terus
menerus merasa kisah dalam buku ini begitu nyata. Sangat menyentuh. Penokohan dan
setiap karakter yang ada dalam buku ini di ceritakan begitu hidup. Buku ini bercerita tentang kisah seorang bocah yang
bernama“Sam” yang menderita leukimia. Hingga menjelang akhir hidupnya Sam
masih terus menerus bersemangat dan berusaha mencari dan menemukan
jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaan dan fakta-fakta tentang kematian yang
ingin di ketahuinya. Berikut beberapa pertanyaan yang ditulis Sam dalam bukunya
Pertanyaan no. 1: Bagaimana kita tahu kita sudah mati?
Pertanyaan no. 2: Kenapa Tuhan membuat anak-anak jatuh sakit?
Pertanyaan no.
3: Bagaimana kalau ada orang yang sebenarnya belum mati, tapi dikira sudah mati
oleh orang-orang lain? Apakah dia akan dikubur hidup-hidup?
Pertanyaan no. 4: Sakitkah kalau mati?
Pertanyaan no. 5: Seperti apakah kelihatannya orang yang
mati? Atau apa rasanya?
Pertanyaan no. 6: Kenapa sih orang mesti mati?
Pertanyaan no. 7: Ke mana orang setelah mati?
Pertanyaan no. 8: Apakah dunia masih ada setelah aku tidak
ada?
Dua buku ini begitu menyentak
kesadaran saya tentang betapa berharganya kehidupan ini. Pelajaran berharga
yang saya pelajari dari kedua buku ini adalah belajar bagaimana kita akan mati
sama artinya kita belajar bagaimana kita akan menjalani hidup.
Berikut review buku ini yang saya
kopaskan langsung dari goodreads (malas ngereview sendiri):
"Begitu kita ingin tahu bagaimana
kita akan mati, berarti kita sedang belajar tentang bagaimana kita harus
hidup"
Kutipan diatas adalah ungkapan Profesor Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang menutup matanya dengan tetap memberikan kontribusi yang luar biasa untuk setiap orang yang menyebutnya guru. Kontribusi terakhir ini disebutnya thesis terakhir
Mitch Albom menyuguhkan sebuah pelajaran baru yang pernah diterimanya lewat seseorang yang disebutnya Couch. Morrie Schwartz adalah seorang profesor dari Brandeis University dikota Waltham, Massachusetts. Seseorang yang selalu mendambakan dunia sebagai sebuah tempat yang lebih baik, dia cinta damai dan dia mampu menciptakan budayanya sendiri di tengah budaya-budaya amerika yang menurutnya tidak sesuai dengan nuraninya.
Suatu hari, pada usia tuanya, dia divonis menderita amyotrophic lateral sclerosis (ASL), sebuah penyakit ganas, tak kenal ampun, yang menyerang sistem saraf. Ketika dia berjalan keluar dari rumah sakit bersama istrinya, Charlotte , dia melihat sekitarnya dan berpikir Kenapa dunia tak ikut berhenti? Tak tahukah mereka guncangan yang baru saja kualami?. Dia beripikir apa yang harus diperbuatnya dan pada akhirnya dia menciptakan jawabannya dan menuntaskannya sebelum kematian menjemputnya. Ia ingin membuktikan bahwa kata "sekarat" tidak sinonim dengan "tidak berguna".
Morrie mengajarkan Mitch tentang Dunia. Tentang mengasihani diri sendiri. Penyesalan diri. Kematian. Keluarga. Emosi. Takut menjadi tua. Uang. Cinta yang tak padam. Perkawinan. Budaya. Maaf. Hari yang paling baik. Mitch terbang dari Detroit ke Massachusetts setiap selasa untuk menjenguk profesornya, mereka berdiskusi, walau terkadang Mitch harus menunggu beberapa lama karena Morrie sedang dalam kondisi yang semakin memburuk. Secara pribadi, ketika membaca, saya merasa sedang berdiskusi langsung dengan sang profesor karena penyampaian dalam tulisan yang begitu sederhana. Ini adalah thesis terakhir sang profesor.
Ketika ditanyakan oleh pembawa acara "Nightline" Ted Koppel mengenai hal apa yang ingin disampaikan Morrie kepada seluruh dunia, ia berkata :"Bangun semangat kasih. Dan bertanggung jawablah satu sama lain. Andaikata kita dapat menguasai pelajaran ini, yakinlah bahwa dunia akan menjadi tempat yang lebih baik",ungkap Morrie.
Pernahkah Anda mempunyai seorang guru
yang sejati?Orang yang melihat Anda sebagai batu berharga yang belum diolah,
sebuah berlian yang kearifannya dapat digosok sampai berkilauan?Apabila Anda
cukup beruntung dapat menemukan jalan menuju guru semacam itu, Anda akan selalu
tahu jalan pulang.
*untuk review lengkapnya Way to Live Forever nanti menyusul, atau silahkan berkunjung langsung ke link ini
"Mematikan Rasa" 20 Sep. 14. Sabtu pagi di puskot kebiasaan lama yang hampir terlupakan. Puskot bagiku tempat pa...
Mematikan Rasa
"Mematikan Rasa"
20 Sep. 14. Sabtu pagi di puskot kebiasaan
lama yang hampir terlupakan. Puskot bagiku tempat paling menyenangkan
menghabiskan waktu akhir pekan, bersama setumpuk buku usang, suara
lembaran-lembaran buku yang di bolak-balik, dan tingkah lucu muda-mudi memadu
kasih. Sungguh suatu hari nanti aku akan sangat merindukan saat-saat ini.
Bulan-bulan ini menjadi sedikiti tidak
menentu bagiku, bulan-bulan terakhir saya akan berada di kota yang telah
memberiku banyak pemahaman hidup ini. Setelah ujian akhir kemarin, kini hidupku
sedikit terombang-ambing, entahlah. Akhirnya aku terjebak dalam rutinitas yang
selama ini sangat tidak aku inginkan. Terjebak dalam ketidakpastian.
Kis the Rain-nya Yiurama terus mengalir
lembut di headset saya. instrumental yang mampu membuat saya melayang jauh ke
belakang. Ke suatu masa dulu. Saya bisa dengan santai memejamkan mata
membiarkan dunia menciut menjadi hanya sebuah tarikan nafas, ke luar, ke dalam,
ke luar, ke dalam. Menurunkan frekuensi gelombang otak. Kontemplatif.
Tuesdays With Morrie buku yang kini ada di tanganku. Buku
karangan Mitch Albom yang di angkat dari kisah nyata hidupnya. Kisah tentang
bagaimana dirinya akhirnya bisa menemukan kembali makna kehidupan dari seorang
Profesor yang sedang menanti bulan-bulan terakhir hidupnya.
Saya begitu larut dengan buku ini. Begitu
kagum dengan sosok Prof Morrie. Seseorang yang mampu memandang hidup secara
berbeda dari kebanyakan orang lain. padahal saat ajalnya sudah dekat sekali
“Kalian pernah merasa “tidak berguna” ?. sebuah pertanyaan yang membuat saya
tersentak, Profesor Morrie seakan berbicara langsung ke saya. Saya menutup
sejenak buku itu. membayangkan kembali hari-hariku selama ini. Hari-hari
setelah ujianku ternyata tak seindah yang pernah kubayangkan. Lamaran-lamaran
kerja yang kukirim entah untuk kesekian kalinya. Interview-interview yang gagal
berkali-kali, entah mengapa aku sering merasa akulah yang paling tidak
disenangi para interviewer itu. cita-citaku buyar. Untuk pertama kalinya aku
sungguh merasa sangat tidak berguna.
Saya semakin merasa waktu tiba-tiba
begitu berharga, seperti air yang tumpah lewat kucuran, namun aku tak cukup
cepat untuk menadahinya. Kalian mungkin pernah terjebak dengan sebuah kalimat
klise seperti ini “apa yang diharapkan dari aku versus apa yang aku inginkan
untuk diriku sendiri”
Kis the Rainnya Yiurama berakhir,
tergantikan gesekan biola nan menyayat hati milik Rishtey “Sad Scane Violin”.
Saya tersentak, tiba-tiba saya terlempar pada satu titik di mana saya ingin
tertawa dan menangis. Titik ketika saya tiba-tiba melihat diri saya berada di
antara penguji dan pembimbing saya yang membacakan kelulusan saya. tiba-tiba
ada bagian dalam diriku yang enggang meninggalkan bangku kuliah ini. Namun ada
bagian lain yang sangat ingin untuk pergi sebebas-bebasnya. Dua kubu yang
saling tarik menarik.
Alunan melodi dari gesekan biola itu
terus menyayat hati, bersama lembar demi lembar halaman buku ini. Hal. 56 “Cinta satu-satunya perbuatan yang
rasional”. Petikan kalimat levinas pada halaman ini saya baca berulang-ulang.
Saya terdiam sejenak. Memejamkan mata. Kembali terlempar ke suatu masa yang
lalu. Saya mendapati diriku duduk di satu taman yang rindang bersamanya
seseorang yang pernah kucintai begitu dalam. Merpati-merpati berebut
remah-remah roti yang kami lemparkan. Taman dan merpati-merpati itu saksi bahwa
kita pernah di sini, bersama. Mungkin saya butuh banyak belajar. Belajar
bagaimana saya akhirnya bisa berani menerima ketika cinta itu akhirnya
benar-benar pergi dan belajar kembali memberikan cinta saya kepada yang lain.
kita seharusnya kembali belajar menjadi
manusia. Kita harus memberi kesempatan pada diri kita untuk menangis jika itu
benar-benar harus dilakukan. Tapi setelahnya kita harus tetap fokus kepada
segala hal yang masih baik dalam kehidupan kita. Kepada orang-orang yang
mencintai kita. Kepada kisah-kisah dan perjalanan-perjalanan hidup kita yang
indah.
Instrumental lembut itu terus
mendayu-dayu di telinga saya. Saya merenungi kembali beberapa kalimat yang
membuat saya terenyuh: “Kau tahu, kadang-kadang kita tak boleh percaya pada apa
yang kita lihat, kita harus percaya pada apa yang kita rasakan. Dan jika kita
ingin orang lain percaya pada kita, kita harus merasa bahwa kita dapat
mempercayai mereka, bahkan meskipun ketika kita sedang terpuruk dalam
kegelapan, bahkan ketika kita sedang terjatuh”.
Saya kembali mempertanyakan keinginan saya untuk menjadi seseorang yang
realis.
SEPI kalian pikir karena apa manusia mati ? saat jantungnya tertembus peluru. ? bukan. saat mereka terserang penyakit mematik...
"SEPI"
SEPI
kalian
pikir karena apa manusia mati ?
saat
jantungnya tertembus peluru. ? bukan.
saat
mereka terserang penyakit mematikan ? bukan.
atau saat
mereka minum racun ? bukan.
manusia
mati saat dilupakan.
(one_peace)
Ini kisah tentang seorang wanita tua di saman penjajahan Belanda dulu. Entah alasan apa, wanita yang sudah sangat tua itu diasinkan penjajah di Sumedang. Jauh dari tanah lahirnya. Wanita itu tampak kuyu, kurus, tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang dengan status tahanan politik. Dia diasingkan.
Sampai kemudian wanita itu meninggal, dikuburkan dengan biasa. Bertahun-tahun kemudian Indonesia akhirnya merdeka. Identitas wanita itu pun perlahan-lahan terungkap. Siapa sebenarnya dia. Dia lah Cut Nyak Dien, wanita gagah perkasa dari Aceh. Wanita yang mengobarkan perang Sabil bertahun-tahun lamanya. Sedikit pun tak rela Tanah Rencong di kuasai kafir-kafir Belanda, begitu dia menyebut penjajah.
Kalian tau, jiwanya terus menerus mengobarkan perang, jihad dan dengan segala keterbatasan senjatanya beliau menuntut darah atas tuntutan apa yang dia yakini. Menuntut balas atas darah ayah-ibunya, suaminya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, rakyatnya dan untuk agamanya.
Di usia senjanya yang selayaknya menikmati masa-masa indahnya sebagai seorang bangsawan, kini ia hidup di pengasingan seorang diri. Wanita dalam pengasingan, Jauh dari tanah yang selama ini telah yang diperjuangkannya. Tanah di mana suami, anak, orang tuanya mengalirkan darah untuk kemerdekaan dan keyakinannya. Apa yang akhirnya membuat wanita kuat itu kalah. Bukan umur, bukan fisik, bukan senjata, bukan luka. Tapi dia “Kesepian”.
“Kesetiaan Ranjang dan Cicak” Belajarlah arti kesetiaan pada ranjang. Ranjang begitu banyak menyimpan endapan memori. Ranja...
Belajarlah Arti Kesetiaan dari Ranjang dan Cicak
“Kesetiaan Ranjang
dan Cicak”
Belajarlah arti kesetiaan pada ranjang.
Ranjang begitu banyak menyimpan endapan memori. Ranjang adalah penonton prosesi
kehidupan yang paling setia. Ranjang menyaksikan banyak kisah, dari kelahiran
sampai kematian, mimpi-mimpi indah, pertumbuhan, asmara, sakit, tangis,
pertengkaran, pergumulan, amarah, perdamaian, dan banyak lagi skenario
kehidupan yang disaksikannya. Tapi ranjang selalu setia menyimpan
rahasia-rahasianya. Tetap setia dalam diamnya.
Ranjang adalah saksi awal dan
sekaligus akhir dari sebuah kehidupan, dari sinilah bayi merah pertama kalinya
menghirup udara dunia fana dan di atas sini pulalah manusia kelak akan menanti detik-detik terakhir
hidupnya. Menanti ujung dari akhir kehidupan panjangnya, menghembuskan nafasnya
untuk yang terakhir kalinya. #TerimakasihRanjang
Atau belajarlah arti kesetiaan dari
seekor cicak. Lihatlah cicak, makhluk yang paling tidak di anggap di muka bumi
ini. Diacuhkan, dianggap tak ada bahkan sering kali dijadikan sasaran tembak
katapel anak-anak kecil. Tapi bagaimanapun juga cicak selalu setia menjaga
manusia. Cicak dalam diamnya selalu berusaha melindungi kita dari gigitan
nyamuk, tanpa peduli apakah kita manusia memperdulikannya. Mungkin cicak adalah
contoh dari platonis ideal. #TerimakasihCicak
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 komentar: