Korupsi, pembunuhan,
penjambretan, pelecehan, aborsi dan banyak lagi jenisnya adalah suatu penomena yang sudah tidak asing lagi yang dihadapi bangsa ini beberapa dasawarsa
terakhir, seakan kejadian-kejadian seperti ini telah diterima sebagai suatu
kewajaran yang baru sebagaiman dalam suatu penelitian menyatakan bahwa suatu
kejahatan yang dilakukan selama berulang-ulang sebanyak 62.000 kali akan
diterima sebagai suatu kewajaran baru bagi masyarakat, mungkin paradigma
berpikir kita sekarang mulai bergesar ke arah sana, coba kita perhatikan tiap
hari distasiun tv kita menyaksikan berbagai macam jenis kejahatan mulai dari
maling sendal sampai maling kelas kakap
pembobol uang rakyat seperti Nazaruddin dan Gayus, dari bunuh diri dengan cara
yang macam-macam sampai pembunuhan berantai
yang dilakukan dengan berbagai macam motif. Di balik semua
kejadian-kejadian itu ada suatu penomena unik dan memprihatikan yang seharusnya
lebih seksama diperhatikan bagi kita terutama saya pribadi, sikap apatisme akut
yang menjangkiti sebagian besar masyarakat indonesia,
Apa yang salah dengan karakter
bangsa ini ? sebuah pertanyaan besar
sempat terlintas di benakku beberapa hari terakhir, sudah cukupkah pendidikan
yang selama ini di dapatkan dari bangku sekolah/ universitas mencover kebutuhan
akan pembelajaran karakter, etika dan moralitas bagi setiap individu. Seakan-akan terminologi
baik, buruk, benar / salah adalah suatu kata yang sangat sukar di pahami
maknanya bagi kebanyakan orang di jaman ini, bahkan tidak dari mereka yang
notabennya alumni suatu instut-instut agama terpandang di negeri ini, sebut
saja beberapa nama besar yang sering kita dengar dimedia masa dengan aksi dan
gerakan-gerakan pembebasan atau biasa kita dengar istilah liberal yang katanya
untuk membebaskan kecendrungan berpikir radikal dan konservatif bangsa ini.
Proses pembelajaran yang hanya
sebatas doktrin yang mendominasi terminologi-terminologi kata menjadikan kita
kurang memahami akan nilai dan substantif
dari kata-kata di atas. Kegagalan moral semacam suatu empedimik yang
telah menyebar rata di hampir seantero negeri. Bukan hanya wabah penyakit dan
wabah hama yang nampak secara visual menyerang bangsa, lebih jauh lagi penyakit
hati ( qolbun marid ) menjadi semacam wabah menular yang menyerang
masyarakat dari berbagai macam golongan; miskin, kaya, buruh, legislatif,
eksekutif, manajer, direktur, bahan tokoh-tokoh agama yang notabennya sebagai
panutan masyarakat tidak luput dari serangan membabi buta epidemik ini.
Keluarga yang diharapkan sebagai
tameng terakhir untuk melindungi generasi muda pun sekarang sudah mulai banyak dipertanyakan.
Berapa banyak nyawa seorang anak melayang ditangan ayah atau ibu kandungnya,
atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh keluarga dekat korban. pertanyaannya
kemudian, seberapa epektif bimbingan spiritual membawa seseorang ke arah
pencerahan yang lebih baik, ataukah kajian-kajian spiritual hanya berlaku di
dunia-dunia pesantren atau lingkup para aktivis-aktivis da’wah yang hanya
berkutat di seputaran mesjid dan kajian-kajian keislaman dari forum ke forum,
apakah kemudian nilai-nilai dari pembelajaran itu semua sudah tidak relevan
lagi di implementasikan di luar sana. ??
( bersambung )
0 komentar: