“Ketika anak keduaku lahir, anak pertamaku tiba-tiba tampak lebih besar.Tapi setelah kutatap wajah mungilnya yang tertidur malam ini,aku sad...

Maaf, Nak… Bukan Kamu yang Berubah, Tapi Aku yang Belajar



“Ketika anak keduaku lahir, anak pertamaku tiba-tiba tampak lebih besar.Tapi setelah kutatap wajah mungilnya yang tertidur malam ini,aku sadar… mungkin bukan dia yang berubah, tapi aku yang mulai melihatnya berbeda.”


Sebelum anak keduaku lahir, aku sering mendengar orang berkata, “Nanti, begitu adik lahir, kakaknya akan tampak lebih besar.” Waktu itu aku menganggapnya hanya ungkapan manis, mungkin sedikit berlebihan. Tapi ternyata, kalimat itu benar-benar terasa nyata.


Saat bayi kecilku lahir ke dunia, mataku memandang anak pertamaku dengan sudut yang berbeda. Tiba-tiba ia terlihat jauh lebih besar dari sebelumnya. Lebih dewasa. Lebih mandiri. Padahal, ia tetaplah anak kecilku yang sama—yang masih suka memeluk erat, masih belum lancar menyusun kalimat panjang, dan masih sangat membutuhkan pelukan ayah-ibunya.


Tapi ada jarak baru yang hadir. Bukan karena aku ingin, tapi karena hidup tiba-tiba memberi kami babak baru. Aku mulai mengurangi menggenggam tangannya sesering dulu. Kata-katanya kini kudengar dengan perspektif orang dewasa, seolah-olah ia sudah besar dan mengerti semuanya. Padahal belum. Kadang aku lupa, bahwa dirinya pun sedang bingung, sedang berproses, sedang menyesuaikan diri.


Malam ini, saat ia meringkuk tertidur di sisiku, aku menatap wajahnya lama-lama.

Wajah itu masih sama lembutnya.

Jari-jarinya masih kecil dan mungil.

Matanya—saat terbuka—masih penuh tanya yang belum selesai.

Sebenarnya, ia belum sebesar itu.

Ia masih kecil.


Hanya saja kini ada adik yang lebih kecil darinya. Dan dengan hadirnya adik itu, ia juga harus belajar:
Belajar berbagi perhatian, belajar menunggu, belajar memahami hal-hal yang mungkin bahkan belum ia pahami sepenuhnya.


Kadang tingkah lucunya yang dulu terasa menggemaskan, kini terlihat menyebalkan.

Kadang ia mencari perhatianku dengan cara yang tidak biasa: suaranya lebih keras, geraknya lebih liar, tangisnya lebih sering.

Dan aku—yang masih lelah, masih belajar, masih belum sempurna—kadang salah paham.

Aku membentaknya.

Dan dia pun terdiam... mundur perlahan... mengambil mainannya... mencari dunianya sendiri.

Saat itu, hatiku retak sedikit.


Barangkali, ia hanya ingin dipeluk lebih sering. Seperti dulu.

Barangkali, ia hanya ingin tahu bahwa meski kini aku membagi pelukan, cintaku tetap utuh.

Aku pun sedang belajar.

Belajar menjadi orang tua dari dua anak.

Belajar membagi cinta, perhatian, dan kesabaran.

Dan aku tahu, aku belum selalu berhasil.


Maaf, ya Nak...
Bukan kamu yang nakal.
Tapi sabarku yang masih sering kurang.
Pelukanku mungkin tak selalu tepat waktu.
Tapi cintaku padamu—tak pernah terlambat.


0 komentar: