Sudah lama sekali
rasanya saya tidak menulis sesuatu di blog ini, mungkin sudah setahun lebih.
Terakhir saya menulis tentang makna potongan lagu “waktu bukan kita yang
punya”. Sebuah bait syair yang begitu berkesan menurutku. Tulisan itu rupanya
menarik banyak perhatian, dalam waktu singkat view-nya sudah lebih dari ribuan
orang. Namun belakangan tulisan itu saya takedown dari blog-ku. Sesuatu hal
buruk menimpaku, saya fikir bisa jadi karena tulisan itu diaminkan oleh banyak
orang dan pada akhirnya kesedihan-kesedihan yang kuceritakan itu benar-benar
menghajarku tanpa ampun.
Desember tahun kemarin
saya tiba-tiba terkena panic attack, sebuah peristiwa yang sangat menakutkan
yang kualami seumur hidupku. Rasanya seperti waktu hidupmu sebentar lagi akan
berakhir. Saya begitu ketakutan, membayangkannya saja membuatku bergidik.
Kejadian itu sudah berlalu setahun yang lalu, namun rasa traumanya masih
kurasakan sampai saat ini. Kali ini saya tidak ingin bercerita tentang
bagaimana kengerian serangan panik itu, atau bagaimana akhirnya saya bisa
bertahan sejauh ini. Lain kali saya akan tuliskan lebih detail di sini.
Kali ini saya hanya
ingin bercerita tentang potongan film yang kebetulan lewat di beranda
Facebookku. Tentang seorang anak yang terjebak di masa lalu. Seorang anak yang
tiba-tiba tersesat di dimensi berbeda. Bertemu dengan ayahnya di usia
sekolahnya dan menyaksikan bagaimana ayahnya bertumbuh di masa-masa itu,
melewati berbagai macam kesedihan yang tak pernah diceritakan kepada anaknya.
Saya tidak tahu bagaimana keseluruhan kisah film ini, saya hanya melihat sedikit adegan itu. Bagian yang menarik saat anak itu berkata “ternyata selama ini saya tidak mengetahui terlalu banyak tentang orang tuaku”
Potongan kalimat itu
benar-benar seperti menamparku, saya tiba-tiba merenungi diriku. Bagaimana
dengan masa lalu Ayah-Ibuku. Apakah sebenarnya mereka juga melewati masa-masa
sulit. Bagaimana mereka melalui masa-masa itu. Barangkali selama ini saya
ternyata kurang peduli dengan apa yang telah mereka alami dan lalui. Barangkali
yang saya lihat hari ini adalah tumpukan-tumpukan batu yang tersusun dari darah
dan air mata mereka di masa lalu.
Saya kembali
membayangkan percakapan-percakapan dengan ibuku. Rasa-rasanya Ibuku selama ini
hampir tidak pernah menceritakan masa lalunya, yang saya tahu, ibu ditinggal
pergi nenekku di usianya yang masih sangat kecil. Ibu tidak pernah bercerita
bagaimana dia melewati masa-masa suram itu.
Yang saya tahu selama
ini Ibuku wanita kuat, sangat jarang mengeluh. Saya selalu menganggapnya kuat
dan selalu baik-baik saja, namun belakangan saya sadar. Ibu menyimpan lukanya
sendiri. Ibu memendam semua hal yang dia lalui sendiri. Ibu tak pernah memiliki
siapa pun untuk berbagi. Ibu hanya dituntut untuk selalu kuat, untuk selalu
hadir di segala kondisi. Terakhir saya melihat ibu menangis saat saya jatuh
sakit. Dia memelukku sambil terisak. Selebihnya hampir tak pernah melihat ibu
menangis.
Tentang ayahku, saya
pun tak banyak tahu bagaimana masa lalunya. Konon dia dibesarkan dengan cara
yang sangat keras. Kakekku penjudi dengan temperamen yang buruk. Ayah sering mendapat perlakuan kasarnya, ditambah lagi
ayah harus menjadi tulang punggung keluarga. Harus bekerjakeras menghidupi ibu dan saudara-saudaranya yang lain.
Saya dulu sering
membenci ayahku karena temperamennya yang sama buruk. Suaranya yang keras, dan
bentakannya yang sering menyakitkan hati. Belakangan semakin tua ayahku mulai
berubah. Mulai lebih hangat. Belakangan saya sadar, temperamen ayah terbentuk
dari masa lalunya yang sama menyedihkannya. Sayangnya dulu saya tidak pernah menyadari itu semua.
Tiba-tiba saya begitu merindukan ibu bapaku.
Semoga Allah memanjangkan umurnya, memberinya kebahagian dan menyayanginya
sebagaimana mereka menyayangiku dimasa kecilku.
Ilustrasi Desaku di masa lalu
0 komentar: