|
@asdar_munadar |
Aku Pamit
Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat ini berisi dua kata itu dihapus lagi. Ia justru mematikan handponnya. Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia mengambil mushafnya. Lelaki itu menangis. Menangis sambil terus membaca ayat demi ayat di lembar mushafnya.
Tidak ada artinya kata pamit. Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Lelaki itu sejenak terdiam, menghayati makna ayat demi ayat yang dia baca. Lalu lelaki muda itu kembali menangis.
Lima tahun yang lalu, tanpa kata cinta, layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asrama, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir hati itu tersingkap dan mereka pun tak mampu lagi menutupi apa yang ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun yang mengikat hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan.
Lelaki itu, lima tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama, sungguh singkat sebenarnya.Tidak ada yang tahu, tetapi sesosok perempuan yang ia beri nama “bintang utara” mengerti dan memahami. Sesosok perempuan itu membuatnya memiliki harapan.
Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga lelaki itu kini mendapati banyak “bintang-bintang lain yang juga ternyata siap menyinari malam-malamnya. Lelaki itu jengah. Bukan ia berhenti mencintai bintangnya, tapi karena ia mengerti satu hal. Tangannya tak mampu menggapai “bintang utara“ itu. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu.
0 komentar: