Duka Palu, Duka
Masyarakat Indonesia
November tahun 2018 kemarin. Negeri ini berduka. Sulawesi
Tengah, dengan ibu kota provinsinya Palu di hantam gempa dengan skala 7,1 sr. Sebuah
goncangan yang cukup kuat yang terasa sampai beratus-ratus kilometer dari pusat
gempa. Gempa yang datang menjelang mabrib ini bak mimpi buruk, menghancurkan banyak bangunan dan merenggut ribuan
nyawa. Bukan hanya itu, berselang
beberapa menit setelah gempa, tzunami setinggi 6 meter dengan kecepatan 800
km/jam menerjang Pantai Talise. Menelan korban lebih banyak lagi. Tidak sampai
disitu, beberapa saat setelah gempa, juga bencana yang tak kalah menyeramkannya
kembali menghantam Palu. Sebuah bencana yang belum pernah dterjadi di daerah
manapun di belahan bumi ini. Sebuah bencana yang membuat semua orang bergidik
ngeri. Shock.
Likuifaksi. Bencana yang belum pernah didengar dan
disaksikan bagaimana bentuknya sebelumnya. Saya tak bisa menggambarkan
bagaimana likuifaksi ini terjadi, sebuah tragedi yang menurutku dulu hanya kubaca di kitab-kitab suci, tentang
ummat-ummat yang dibinasakan. Likuifasi menjadi mimpi buruk bagi warga Palu,
terutama di Sigi, Petobo dan Balaroa. Bayangkan tiba-tiba tanah yang kau pijak
berputar, mencungkir balikkan dan
menelan apapun yang ada di atasnya.
Balaroa, Sigi dan Petobo tadinya adalah daerah padat
penduduk. Namun kini tempat itu hilang, di telan tanah, habis tak tersisa. Ada
ratusan dan bahkan mungkin ribuan mayat yang juga ikut serta hilang bersama
timbunan-timbunan tanah itu. tak banyak yang selamat, menurut paman yang
kutemui ditempat ini hanya kurang lebih 400 warga Balaroa yang berhasil
selamat. Yang lain hilang ditelan tanah. Saya bergidik ngeri menyaksikan
sisa-sisa puin bangunan di atas gundukan tanah setinggi 5 meter ini.
Terlepas dari semua hal menyakitkan yang terjadi di Palu
ini, ternyata bencana itu masih menyisakan banyak hal untuk di syukuri. Salah
satunya adalah tempat indah yang akan kuceritakan disini. Pusat Laut di
Donggala
Pusat Laut Donggala
Setelah Gempa
Bocah-bocah kecil berjumplitan, menanti beberapa receh yang
dilempar dari mulut goa.
Lempar koin om, lempar koin om. Begitu teriaknya
Saya tak punya koin jawabku
“uang kertas juga dak papa Om”
Laah, nanti basah. jawabku
Mereka berseru uuuuuu, kecewa.
“Kau tak sekolah” tanyaku
Khusus hari sabtu ternyata mereka lebih sering membolos,
wisatawan lebih rame berkunjung hari sabtu dan minggu. Memperebutkan uang koin
di dasar goa jauh lebih menarik perhatian mereka di banding harus berusah-susah
mengerjakan soal-sao matematika yang rumit. toh masa depan di pesisir ini tak
memberi banyak pilihan, jika lelaki diberi pilihan menjadi nelayan atau buruh
kasar, maka wanita juga hanya memiliki dua pilhan, menjadi istri nelayan atau
menjadi istri buruh harian.
Pusat Laut Donggala memang belum seterkenal tempat wisata
lainnya di negeri ini. Saya tak pernah menyangka ada tempat seperti ini di
pelosok Sulawesi Tengah. Pusat laut, pusentasi atau sumur laut begitu
orang-orang menyebutnya adalah sebuah sinkhole
selebar hingga 10 meter
dengan kedalaman mulut gua dan kedalaman air kurang lebih 5 atau 7 meter. Konon
kedalaman air bisa berubah-ubah. Jika kondisi laut pasang, permukaan air di
dalam sinkhole turun menjadi 5 meter. Namun, bila laut surut,
permukaan air di tempat ini justru malah naik ke angka 7 meter. Pusat laut
berada di pesisir pantai yang penduduk juga menamainya pantai pusat laut. Saya
merasa penamaan ini hanya asal-asalan saja, mengingat di sepanjang garis pantai
Sulawesi memang banyak pantai-pantai indah yang belum terjamah dan diberi nama.
Jadi begitu tempat ini mulai populer, masyarakat setempat kemudian menamai
pantai ini dengan nama pantai pusat laut.
Air di pusat laut ini konon berasal dari pantai
disebelahnya, laut Donggala. Diperkirakan terdapat goa yang meghubungkan antara
pusentasi ini dengan laut disebelahnya. Namun teori ini sampai sekarang belum
bisa dibuktikan kebenarannya. Belum ada penelitian ilmiah yang benar-benar
telah meneliti tempat ini.
Pertamakali menyaksikannya pusentasi ini saya dibuat
tercengang, sebuah sumur besar dengan
kejernihan airnya dan gradasi warna hijau dan biru serta riak-riak gelombang
dipermukaanya seakan memanggil-manggil untuk segera di lompati. Namun begitu
saya melongo kebawa, nyaliku menciut. Semangat yang tadi menggebu-gebu menguap
begitu saja. Pijakan untuk melompat terbilang lumayan tinggi. Saya bergidik
ngeri. Saya tersenyum kecut mendengan seruan anak-anak kecil yang dengan
entangnya melompat berkali-kali dari mulut sumur. Bocah-bocah itu melemparkan
diri ke udara. Berjumplitan dengan berbagai gaya, berselang tak lama kemudian,
suara dentuman dan percikan air laut mengudara.
Byuuuuuur.
Akses ke tempat ini terbilang mudah, dari Pusat kota Palu,
kita harus berkendara ke selatan melewati jalan poros Provinsi Sulawesi Barat.
Kita juga akan melewati kabupaten terselatan Provinsi Sulawesi Tengah,
kabupaten Donggala. Kabupaten yang juga telah hancur dan luluh lantah karena
gempa dan tzunami. Sepanjang jalan, kami disuguhi sisa-sisa reruntuhan bangunan
yang masih berserakan di sembarang tempat, aroma tak sedap bahkan masih tercium
di pesisir pantai teluk palu, yang menjadi pusat tzunami kala itu.
Jalan-jalan sepanjang kota palu menuju perbatasan sulawesi
barat terbilang sudah sangat layak di lalui, mesiki dibeberapa titik masih
bolong dan rusak kanan kiri juga reruntuhan bangunan masih berserakan
dimana-mana tapi secara keseluruhan akses dari dan ke kota Palu sudah bisa di
tempuh dengan kendaraan roda dua dan empat.
Setelah berkendara kurang lebih 1,5 jam perjalanan,
sampailah kita ke pertigaan Pusat Laut. Ada plang kecil yang tidak terlalu
mencolok yang menunjukkan daerah wisata ini. Sebaiknya bertanyalah pada warga
lokal untuk memastikan posisinya. Mengandalkan aplikasi pintar seperti GPS di
sini tidak terlalu berarti. Jaringan internet sangat menyedihkan. Dari pertigaan pusat laut, kita akan melewati
jalan berkelok dan sedikit menanjak. Sekitar 2 atau 3 kilometer jauhnya dari
jalan utama tadi. Terdapat beberapa lokasi wisata yang juga di dilalui sebelum
sampai ke pusat laut. Beberapa pantai indah dengan pasri putihnya yang tak
kalah indahnya, yang pasti pantai-pantai itu masih sangat alami dan sepi.
Kita akan disambut pintu gerbang yang tidak terawat, saya
bahkan menyangka kami tersasar karena ilalang dan rerumputan yang meinggi di
pintu gerbangnya. Tempat ini sungguh tak terawat pikirku. Namun begitu kita
memasuki pintu gerbang, pemandangan menyejukkan mulai memanjakan mata. Tempat
ini cukup rindang, dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa pondok-pondok
juga terlihat berjejer rapi, belakangan kuketahui pondok-pondok itu tadinya
penginapan, namun sudah tidak pernah digunakan lagi karena pemerintah daerah
tidak lagi menganggarkan biaya pemeliharaan untuk pondok yang telah berumur
sepuluh tahun ini.
Tarif sekali masuk disini masih terbilang murah hanya
Rp2.500 per orang dengan biaya perkir kendaraan roda empat sebesar Rp10.000,00.
Tempat ini telah di kelolah oleh Dinas Parawisata setempat. Sayangnya untuk
kebersihan, disini tidak tersedia air bersih yang cukup untuk bebilas. Kita
harus merogoh kocek pribadi untuk membeli sejerigen ari bersih yang dihargai
10.000,00. Pengeola pusat laut beralasan disini tak ada sumber air bersih jadi
untuk mendapatkan air bersih juga mereka harus beli dari mobil tangki yang
datangnya kadang tak tentu.
Puas memandangi pusat laut, kami berpindah ke pantai
berpesisir putih di sampingnya. Tempat ini masih sangat alami, bersih dan
jernih. Tak hanya menikmati pasir putihnya kami juga memutuskan untuk menyewa
“katinting” yang disewakan oleh masyarakat setempat. Mereka membawa kami ke
daerah dangkal berpasir putih tak jauh dari pesisir pantai. Tarif sewa
katinting ini sangat murah, hanya Rp10.000,00 per kepala. Katinting ini akan
membawa kita ke pasir putih ditengah laut yang berjarak kurang lebih 15 menit
perjalanan.
Sesampai di tempat yang dituju.Saya tak sabar untuk segera
menceburkan diri, melihat betapa jernihnya dasar laut didepanku. Kita bahkan
tak membutuhkan alat snorkle untuk menikmat dasar lautnya. Sayangnya kameraku
tidak didukung dengan fasilitas untuk memotret di bawa laut. Saya menceburkan
diri beberapa saat. Berhubung karena kami tak membawa perlengkapan apapun dan
tidak mepersiapkan cemilan bahkan air putih maka kami hanya bertahan sebentar
saja. Rasa penasaran untuk segera mengisi perut dengan Kaledo menjadi alasan
utama kami untuk segera buru-buru meninggalkan tempat ini.
Kaledo: Kaki Lembu
Donggala
Makanan khas Sulawesi Tengah ini memang cukup terkenal, Makanan
ini mirip dengan Kondro dari makassar bedanya bagian utama yang
disajikan adalah tulangnya yang dari kaki lembu dan disajikan bukan dengan nasi
melainkan dengan ubi. Tulangnya itu sendiri adalah ruas tulang lutut yang masih
penuh dengan sum-sum. Sebagian mengatakan, bahwa Kaledo berasal dari
Bahasa Kaili, bahasa penduduk Palu. Ka artinya Keras, dan Ledo artinya Tidak,
sehingga dapat diartikan "tidak keras"
Untuk menikmati makanan khas ini diperlukan peralatan
seperti Pisau, Sumpit dan Sedotan. Pisau digunakan untuk mengiris-iris daging
yang melekat di tulang kaki, sementara sumpit digunakan untuk menghancukan
sum-sum yang ada di dalam tulang kaki lembunya. Sedotan digunakan untuk
menyedot sum-sum yang sudah di hancurkan. Makanan ini di sajikan dengan kuah
segar bening dengan bawang goreng dan ulekan cabe yang endes. Satu porsi
dibandrol dengan harga yang cukup mahal, senilai RP75.000,00 tapi harga segitu
cukup sebanding dengan rasa Kaledo yang begitu nikmat.
Kalode Loli menjadi pilihan kami, tempatnya sekitar 20 km
dari pusat kota. Menemukan tempat ini agak repot, apalagi tempatnya yang
sedikit tersembunyi. Konon katanya Kaledo di sini adalah Kaledo terenak di
Sulawesi Tengah. Loli adalah salah satu nama desa di Donggala, dari sinilah
makanan Kaledo itu berasal. Kaledo Loli
cukup terkenal, bahkan untuk mempertahankan rasanya Kaledo Loli ini tidak buka
cabang
0 komentar: