3 Jenis Jomblo yang di ajak ke kondangan Ilustrasi:Goodreads Sabtu ini saya baru menghabiskan alokasi belanja buku saya untuk ...
3 Jenis Jomblo yang di Ajak ke Kondangan
3 Jenis Jomblo yang di ajak ke kondangan
Ilustrasi:Goodreads
Sabtu ini saya baru menghabiskan alokasi belanja buku saya untuk dua buku ini: Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya dan satu lagi bukunya ustad muda Felix Siau: Beyond the Inspiration. niat awalnya sih pengen beli bukunya Jarry D. Greey, tapi berhubung karena budgetnya nggak cukup makanya akhirnya dua buku ini yang berhasil ikut ke kosan saya. well Saya akan sedikit memberi komentar untuk buku pertama, Sabtu Bersama Bapak. Awalnya saya tertarik melihat judul buku ini, megingatkan saya pada bukunya Mitch Albom "Thursday with Morrie" (sudah saya review). Pada dasarnya buku ini lumayan bagus, bahasanya ringan dan ada beberapa dialog-dialog cerdas yang kadang membuat saya tersenyum senyum sendiri. Hei jangan pikir buku ini akan membuat kalian banjir air mata, buku ini tidak semelangkolis judulnya. Anda tidak akan banyak menemukan drama-drama seperti itu. Mungkin karena awalnya ekspektasi saya terlalu tinggi pada buku ini mengingat saya membandingkannya dengan bukunya MItch Albom itu makanya setelah merampungkan saya merasa sedikit kecewa. Buku ini tidak cukup mampu memenuhi ekspektasi saya itu.
But, aku tidak ingin mereview lebih jauh seperti apa isi buku ini silahkan baca sendiri di goodread disitu sudah banyak banget yang mereview. Saya hanya ingin mengutip satu point yang menurut saya cukup menarik. Pada halaman 34 sang penulis memaparkan tiga fakta aneh buat para jomblowers yang sering diajak kondangan dan itu membuat saya sukses ngakak dan miris. Aditya Mulya mengkategorikan 3 jenis jomblo yang sering diajak ke kondangan nah berikut pengkategoriannya, (setelah saya tambahkan beberapa uraian)
1. Golongan pertama: mereka yang masih jomblo dan berharap akan bertemu jodohnya dari kenalan mempelai pria atau wanita yang masih jomblo. Golongan ini datang dengan penuh percaya diri, optimis dan berusaha tampil necis. mereka-mereka adalah orang-orang yang oportunis, berusaha mencari peluang sekecil apapun, berusaha menemukan koneksi langsung dengan sang calon atau orang tua calon. Meski sering kali golongan ini pulang dengan ratapan pilu di hati dan berakhir di bawah shower sambil nangis-nangis cakar-cakaran sama bantal tapi anehnya mereka seakan tidak pernah kapok di ajak kondangan.
2. Golongan ke dua: Jomblowers yang mempunyai orang tua yang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Terkadang sebagian jomblowers tidak suka dengan kondisi seperti ini mereka datang dengan muka masam, mulut monyong dan selalu memandang sinis. Mereka menganggap kondangan seperti neraka dunia dengan seabrek pertanyanaan kapan, kapan, kapannya itu. Sebagian yang lain yang sudah gagal mencari pasangan, berkali-kali gagal membina hubungan atau tepatnya berkali-kali ditolak gebetan datang dengan muka penuh harap. Berharap orang tuanya mampu mempertemukan dengan calon jodohnya. Masa depan jomblo golongan ini sedikit lebih cerah, karena ada orang tua yang bertindak sebagai makelar.
3. Golongan ketiga: Jomblowers golongan ini adalah jomblo yang paling menyakitkan. mereka datang ke pesta dengan status barunya sebagai jomblo mereka datang dengan langkah gontai, tatapan dingin, putus asa dan seperti terlihat ingin membunuh seseorang. Mereka jomblo tidak lain karena mempelai yang sedang bersanding di sana adalah mantan pacarnya. Hati-hati bila golongan ini datang dengan kado yang terbungkus rapi, segera hubungi gegana karena bisa dipastikan kado itu isinya bom. juga jangan sekali-kali menerima makanan dan minuman dari jombo jenis ini bisa dipastikan itu racun.
KOPIKU *** Kopi memang bukanlah jus tomat. Kopi selalu punya sisi pahit yang tidak bisa disembunyikannya. Sisi pahit yang me...
Segelas Kopi Susu
KOPIKU
***
Kopi memang bukanlah jus tomat.
Kopi selalu punya sisi pahit yang tidak bisa disembunyikannya.
Sisi pahit yang membuat penikmatnya kadang kalah tersenyum getir.
Segetir hidup ini.
***
Rasa-rasanya sudah lama sekali saya tidak lagi menikmati secangkir kopi beraroma nikmat. Kopi selalu punya banyak cerita, selalu punya banyak penggemar. Tua, muda, kaya, miskin, petani, pekerja kantoran, pengangguran, ustad, koruptor bahkan pemimpin negara pun banyak yang menyukai minuman pahit kental beraroma manis ini. Kopi adalah bahasa universal yang bisa dipahami semua kalangan.
Banyak yang bilang dengan menikmati secangkir kopi pahit kita bisa lebih memahami, bahwa sejatinya di luar sana masih banyak hal-hal manis yang bisa kita temukan. Bagiku kopi adalah wujud dari eksistensi, wujud dari perlawanan sosial. Segelas kopi pahit itu ibarat cermin kegeraman eksistensial, atau semacam protes sosial: marah kepada hidup yang hanya kadang-kadang memberikan momen yang ringkas untuk bahagia, atau marah pada suatu kalangan yang hidupnya lebih enak, yang pintar bermanis bibir di depan kami rakyat jelata ini, yang tinggal di daerah kelas satu, yang sangat fasih berbicara tentang persoalan-persoalan kami yang tidak dipahaminya ini.
Itulah mungkin mengapa aku sampai saat ini belum bisa dikatakan penikmat kopi sejati. Saya masih menikmati kopi dengan berbagai macam cita rasanya, dengan berbagai macam campuran dan varian yang berbeda. Bukan kopi hitam murni dengan rasanya yang begitu pahit. Tapi kalian tahu, di antara ratusan varian kopi yang ada saya begitu menyenangi kopi susu. Kopi hitam dicampur susu putih manis. Dua rasa yang berbeda, dua warna yang berbeda dalam sebuah cangkir, bertemu, bercampur melebur menjadi satu.
Kenapa harus kopi susu ?, tanya temanku suatu hari. Bagiku, pada segelas kopi susu itu kita menemukan sesuatu yang ambivalen. Seperti hidup ini yang selalu punya dua sisi. manis dan pahit, baik dan buruk, hitam dan putih. Kalian tahu sejatinya warna hitam kopi dan putih susu di hasilkan dari warna dasar yang sama. Ketika kita mencampurkan beberapa warna cerah yang berbeda kita akan menghasilkan warna putih. Jika kita mencampurkan zat warna yang lain akan menghasilkan warna hitam. Hitam dan putih memiliki nilai yang sama. Ada putih dalam hitam dan hitam dalam putih. Seperti kehidupan kita ini. Sifat alami manusia pada dasarnya sama tidak ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Orang baik dan orang jahat punya sisi baik. semua orang bisa membuat kesalahan. Aku pernah, semua orang juga pernah. Kita harus melihat manusia sebagai suatu entitas yang utuh. bukan malaikat apalagi pendosa. Segelas kopi susu ini mewakili dua rasa itu, warna hitam dengan rasa pahitnya dan warna putih yang mewakili rasa manisnya.
Bagiku dan bagi kebanyakan orang, kopi mungkin adalah supermasi kejujuran, lambang kebenaran sejati. Karena dari segelas kopi itu kita bisa lebih banyak memahami. Betapa kehidupan ini telah mengajari kita dua hal yang datang silih berganti, manis dan pahit. Betapa dalam kehidupan ini pada kenyataannya tidak pernah ada yang benar-benar sempurna kita hanya berada di antara dua sisi hitam dan putih itu. Tapi bagaimanapun juga hidup ini akan selalu indah begini adanya. Mari berhenti sejenak dari rutinitas hidup yang melelahkan, menyeruput segelas kopi di senja hari. Biarkan waktu berlalu melambat. Karena hidup selalu punya banyak rasa begitu kata salah satu iklan kopi di TV.
LARI Berlari ibarat bertanding dengan diri sendiri Akhir-akhir ini saya sering berlari. Berlari di awal pagi. Rasanya begitu b...
LARI
LARI
Berlari ibarat bertanding dengan diri sendiri
Akhir-akhir ini saya sering berlari. Berlari di awal pagi. Rasanya begitu bersemangat. Ketika kakiku kukayuh berlari, sesuatu seakan tertinggal di belakang. Sesuatu yang selama ini memang selalu ingin kutinggalkan. aku selalu ingin mempercepat lariku, memperjauh langkahku. Meninggalkan masa laluku. Tiba-tiba saja aku ingin jadi pelari.
Dengan berlari aku tiba-tiba kembali merasa hidup. Hidup yang dulunya melambat tiba-tiba berubah, berganti ritme, semakin cepat. Mungkin dengan semakin cepat berlari saya bisa lebih cepat melupakan masa laluku. Masa-masa yang menyakitkan itu.
Saya suka ketika berlari, buliran-buliran keringat keluar melalui pori-pori setetes demi setetes membawa sesuatu dari dasar hatiku. Sesuatu yang memang sudah seharusnya kukeluarkan sejak dulu. Berlari memberiku kesempatan untuk bisa bernapas lebih panjang, bisa kembali mengatur ritme pernafasanku yang dulu begitu kacau. Itu artinya aku bisa hidup lebih lama, bisa bernafas lebih lama. Aku berharap dengan banyak berlari hormon androgen dalam tubuhku bisa tumbuh menjadi lebih baik. Saya bisa lebih bahagia.
Kenapa harus berlari. Mungkin karena aku berharap hidupku sesimpel berlari. Kita tidak membutuhkan banyak infrastruktur untuk melakukannya, yang kita butuhkan hanya keinginan berlari. Kita bisa melakukannya di mana saja dan kapan saja.
Aku menemukan banyak hal di pagi hari saat berlari. Seorang kakek mendorong kursi roda istrinya sambil terus bergumang sesuatu. Istrinya tersenyum penuh arti. Saya akan menghentikan sejenak langkahku. Berdiri diam terpaku. Menatap kehangatan mereka. Sungguh senja yang indah bagi hidup mereka.
Diperempatkan berikutnya, saya akan berpapasan seorang ibu dengan tumpukan sayuran di keranjang sepedanya. Mendorongnya dengan semangat. Entahlah kehidupan selalu sulit di cerna bagi otak kecilku ini. Selalu ada rona bahagia di wajah berpeluh itu. setiap pagi, setiap aku berpapasan dengannya di perempatan yang sama. Aku berharap hidupku seperti berlari, pada akhirnya kita bisa sampai ke tempat yang kita inginkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 komentar: