Semua yang bertemakan pengalaman pertama pasti
akan selalu berkesan dan menarik, apapun itu.
Ketika memulai atau akan melakukan sesuatu untuk pertama kalinya bisa
dipastikan segala macam rasa bercampur aduk di dalam hati. Yupss.., itupun yang saya rasakan kemarin.
Untuk pertama kalinya memberanikan diri meninggalkan zona nyaman kediaman saya menuju
ke daerah antah berantah di pegunungan Panderman sana.
This is the first time, melakukan suatu perjalanan menantang yang
istilah kerennya biasa disebut “mendaki” ke gunung, tepatnya di Gunung Panderman. Panderman adalah merupakan salah satu gunung
pavorit bagi para pendaki pemula (newbie). Dengan ketinggian 2000 mdpl dan
medan yang tidak terlalu sulit panderman bisa ditempuh antara 3-4 jam
perjalanan waktu normal menjadikan gunung ini hampir tidak pernah sepi terutama
pada akhir pekan.
Kami (saya, Miswar, Salim, Ridho dan seorang
teman dari Libia “Muhammad”) merencanakan perjalana kami beberapa hari
sebelumnya. Kami menyiapkan perlengkapan
seadanya. Beruntunglah di Malang tidak sulit menemukan tempat persewaan
alat-alat camping. Hanya dengan sekitar Rp. 100ribuan kita sudah bisa
mendapatkan tenda, sleaping bad, Matras, dan beberapa perlengkapan kecil
lainnya yang sangat membantu acara pendakian.
Titik awal pendakian di mulia di desa Purwosari.
Untuk sampai pada titik awal pendakian
ini bisa ditempuh dengan sepeda motor, dari malang mungkin hanya sekitaran
45menit saja. Dari situ speda motor dititipkan di rumah warga yang memang
menyediaka jasa penitipan sepeda bagi para pendaki. Pendakian kamipun bermula
dari sini dengan hanya bermodal nekat dan tampa didampingi seorang guide
kami dengan sangat-sangat semangatnya mencoba menapaki jengkal demi jengkal
pegunungan tersebut.
30 menit pertama, perjalanan yang tadinya
diiringi canda dan guyon perlahan-lahan mulai terganti dengan erangan dan
keluhan. Satu persatu dari kami sudah mulai merasa lelah. Bebarapa dari kami
termasuk saya sendiri sudah memikirkan untuk mengakhiri dan memilih pulang
saja. maklumlah fisik yang tidak terbiasa bekerja sekeras ini tiba-tiba harus
bekerja super ekstra mendaki jalanan terjal plus bawaan yang lumayan berat
membuatnya cukup berteriak tobat. Kami memilih Istirahat untuk memulihkan stamina dan kembali
saling menguatkan semangat.
Perjalanan mencapai puncak Panderman (Pasundara)
akan melewati beberapa tempat persinggahan dimana setiap tempatnya menawarkan panorama
eksotis tersendiri. Untuk sampai pada persinggahan
pertama dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Sayangnya kami tidak
bisa menikmati pemandangan indah di tempat tesebut, cuaca saat itu mulai gelap
dan langit mulai menampakkan wajah sedihnya. Persinggahan berikutnya yakni di Watu
Gedhe suatu dataran datar diketinggian sekitar 1.200 dmpl yang dikeliling
beberapa bongkahan batu raksasa memberikan cerita tersendiri. Tapi sayang
keeksotisan batu-batu tesebut ternodahi oleh tulisan-tulisan tangan-tangan para
manusia yang kurang peka terhadap kealamiahannya.
Seiring perjalanan kami, bayang-bayang gelap
pun mulai menyusupi setiap celah-celah hutan pinus. Beberapa pendaki mulai menyalakan
penerangan-penerangan yang telah mereka siapkan sebelumnya. Nyanyian-nyanyian
burung yang tadinya menemani perjalanan perlahan tergantikan dengan suara-suara
satwa malam yang saling bersahutan. Gelap dan dibumbuhi aroma tanah basah menjadikan
suasana sedikit mencekam. Bayang-bayang hutan pinus terlihat seperti
monster-monster dalam cerita horor yang siap menerkam. Lampu-lampu senter para
pendaki terlihat seperti kendaran dalam satu jalur berkelap kelip di sepanjang
jalan setapak yang dilalui. Dari kejahuan sayup-sayup terdengar suara adzan
maghrib menandakan senja telah beranjak pergi dan malam akan segera menyelimuti
setiap jengkal pengunungan Panderman ini.
Dua jam perjalanan. Langit semakin beringasnya
menumpahkan kemarahannya mengguyur para pendaki. Hujan semakin menambah berat
perjalanan ini, jalanan yang semaikin terjal, licin dan basah memperlambat
perjalanan kami. Disepanjang perjalanan, kami bersua dengan beberapa kelompok
pendaki yang singgah untuk berehat sejanak. Beberapa pendaki juga terlihat mulai menyerah memilih mendirikan
tenda-tenda sebelum sampai di tempat tujuan.
Malam
beranjak, jangkrik dan serangga-serangga semakin santer bernyanyi. Alhamdulillah,
sebelum pukul 20.00 WIB kami telah menapaki Pasundara puncak tertinggi
Panderman. Langit yang tadinya menumpahkan air matanya tiba-tiba saja berhenti,
tergantikan dengan hamparan kebun bintang yang begitu indahnya seakan-akan
menyambut kedatangan kami. Tenda dan segala perlengkapannya segera
dipersiapkan. Makan malam, api unggun, sholat dan beristirahat sambil terus
mengagumi kebun bintang yang menjadi penghias langit malam ini.
"Mahasuci Allah
yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang."
(QS. 25/Al-Furqon: 61)
“Dan sungguh Kami telah
menciptakan gugusan bintang
di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang
yang memandangnya.
" (QS. 15/Al-Hijr: 16)
Saya
begitu terpana memandang bintang-bintang yang menembus kegelapan. Sangat-sangat
terasa berebeda menyaksikan jutaan bintang di ketinggian Panderman ini. Diperkiran
ada 400 miliar bintang dilangit sana berada
dalam satu bagian tatanan alam semesta
yang kita kenal dengan sebutan galaksi Bima Sakti. Bintang terbesar dalam
galaksi ini adalah matahari. Dan bumi yang kita tempaki berpijak ini hanyalah
sebongkahan kecil dari miliaran bintang di galaksi Bima Sakti terebut. Galaksi Bima
Sakti diperkirakan berdiameter 100.000 tahun cahaya dan lebar 1000 tahun cahaya.
Bisa dibayangkan luasnya alam semesta itu seperti apa, jika satu galaksi saja
bisa berukuran seperti itu maka luasnya alam semesta yang menampung bermiliar-miliar
galaksi ini memang sangat-sangat mustahil untuk bisa diprediksi
Saya
dulu tidak pernah habis pikir, bagaimana orang-orang jaman bahula dulu
bisa bepergian, menentukan perjalanan, dan bahkan menentukan musim tanam dan
musim nikah hanya dengan membaca pola bintang-bintang. Juga ketika teringat
pelajaran-pelajaran smp dulu. Tentang rasi-rasi bintang yang tampak saling
berhubungan membentuk suatu konfigurasi khusus dan dengan pola-pola tersebut
digunakan oleh kebanyakan para ahli nujum untuk meramal nasib yang tingkat
keakuratannya sangat patut untuk diragukan.
Bintang-bintang itu
juga menjadi petunjuk jalan bagi manusia. "Dan Dialah yang menciptakan
bintang-bintang bagimu supaya kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di
darat dan di laut." (QS. 6/Al-An’am: 97)
"Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk
(jalan)."
(QS. 16/An-Nahl: 16)
Manusia alam dan lingkungan merupakan suatu
kesatuan yang memang tidak bisa dipisahkan, terikat dalam suatu keteraturan dan
hukum-hukum alam yang salin tersinergi. Setelah
perjalanan melelahkan ini kamipun terlelap, berharap kelehan dan kepenatan hari ini segera beranjak
pergi.
Berdiri di atas awan, menyaksikan semurat jingga di
awal pagi puncak Panderman. Warnah-warnah nan indah itu seakan memberikan kabar
akan datang setelahnya sosok sang Mentari pagi yang di nanti. Penat dan lelah
semalam terbayar sudah. Matahari pagi serasa begitu dekatnya. Pesona
keindahanya memberikan kepuasan tersendiri bagi mata, hati dan rasa.
Perjalanan ini tentang apa, siapa dan mengapa, dan
juga sebuah usaha anak manusia untuk
menemukan epistimologi kehidupannya. Inilah saya, kami, dan mereka yang
telah terlalu lama terkungkung dalam suatu pusaran kehidupan yang sedih. Kami kesini
untuk melepaskan belenggu-belenggu kehidupan tersebut. Kehidupan yang telah
mempenetrasikan apologi akut dalam hati-hati ini dan membiakkan bibit-bibit
patologi bersemai subur didalamanya. Akhirnya hati bisa sedikit merasa hidup
setelah sekian lama kehilangan daya kohesif yang telah terkikis habis oleh
bibit-bibit patologi tersebut. Mati sebelum mati.
Berdiri diatas puncak gunung memberikan sedikit keyakinan bahwa sejatinya masih ada segenggam
idealisme yang patut diperjuangkan. Masih ada realitas yang terbentang panjang
sejauh mata memandang seperti gumpalan awan yang terhampar luas didepan kami
ini. Dan juga masih ada sejuta rasa cinta, kekuatan, harapan, keajaiban, mimpi
dan keyakinan yang senantiasa menanti
diujun perjalana ini. Dan terakhir kami pulang dengan penuh rasa syukur,
bersyukur atas semua karunia dariNya yang telah menciptakan keindahan dan
keteraturan ini.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
(maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan)
In memorian
Panderman 13-14 April 2013
Dedicated for
Akhunafillah fil Mustawwa Awwal Ma’had Abd. Rahman Bin Auf.
Salam ukhuwa.
fotonya mana sob, pengen liat nih...
ReplyDeletemakasih udah mampir.
Deletefotonya di sini
http://simpulhatiku.blogspot.com/2013/04/kenangan-di-panderman.html
mantap bro, terima kasih sudah berbagi...
ReplyDeleteIya. sama-sama. makasih udah mampir.
Deletejadi merinding baca ceritanya,.....
ReplyDeleteMakasih udah mampir
Delete