Kawasan
Transmigrasi Saluandeang. Begitu orang-orang menyebutnya. Tempat ini, berada di
titik terjauh Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Berbatasan langsung
dengan Seko, dataran tinggi yang terletak ± 1200–1800 meter di atas permukaan
laut di Luwuk Utara Sulawesi Selatan. Konon dari sini, untuk sampai ke seko hanya
butuh kurang lebih 12 jam lagi jalan kaki. Bahkan mayoritas penduduk di Batupeluru
salah satu desa di distrik ini adalah penduduk asli Seko. Bagaimana tidak, jika
dari Masamba ibu kota Kabupaten Luwuk Utara sendiri akses ke Seko terbilang
begitu sulit. Butuh waktu 2 sampai 3 hari untuk sampai ke Seko dengan biaya
ojek yang kurang lebih sejuta untuk sekali perjalanan atau dengan alternatif
lain, pesawat perintis dengan biayanya yang tak kalah mahalnya.
Konon
Saluandeang ini adalah rumah masa depan bagi warga transmigrasi. Ada lebih dari
seratusan warga transmigrasi yang hidup disini kurang lebih dari tahun 2018
yang lalu. Akses ke sini terbilang susah, butuh berjam-jam dari ibu kota kabupaten untuk sampai
ke Saluendean. Jangan bayangkan anda akan menemukan aspal mulus seperti di
kota-kota besar. Jalanan utama di sini di dominasi jalanan berbatu atau tanah
liat yang licin dan tergenang begitu musim hujan tiba. Kawasan ini dianugerahi
tanah yang subur, debit air yang melimpah dari Sungai Karama dan di topang
perkebunan kelapa sawit yang membentang luas.
Saya bercakap, cakap dengan
salah seorang warga transmigran dari Betawi. Namanya Bapak ”K”, sudah lebih
dari dua tahun tinggal di sini. Hidup di pengasingan, begitu dia menyebutnya. Katanya
dibanding di Jakarta yang sumpek, di sini jauh lebih nyaman. Ada rumah yang
layak untuk tinggal, ada sekolah dan fasilitas kesehatan gratis. Ada tunjangan
beras meski hanya dinikmati setahun. Dapat lahan garapan dua hektar per KK yang
bisa ditemani macem-macem palawija. Meski kehidupan disini berat, paling tidak
ada harapan yang bisa di simpan untuk masa depan anak-anaknya. Mungkin beban kemiskinan
kelak bisa dia entas dari pundak anak-anaknya. Begitu katanya.
Lain lagi Bu “R”, warung tempat kami menikmati semangkok mie pangsit Banyumas. Ya, Bu “R” janda beranak empat itu memutuskan mengikuti program pemerintah “transmigrasi” dua tahun yang lalu. Lelah dibekap kemiskinan, dengan tekat yang kuat beliau berangkat dengan anak-anaknya ke negeri yang begitu jauh ini. Butuh tiga kali transit pesawat katanya, untuk benar-benar bisa sampai disini. Awalnya hidup disini seperti tak ada harapan. Tak ada masa depan, jauh dari peradaban, belakangan Bu “R” punya cara sendiri untuk bertahan hidup. Melihat begitu banyak pekerja proyek yang masuk disini, berbekal keahliannya dari Jawa beliau memutuskan untuk membuka warung makan sederhana. Yang awalnya kadang hanya bisa mendapatkan tidak lebih dari 30ribu sehari, kini pengunjung warungnya tak pernah sepi. Bahkan saat kami mampir makan siang pun, menu yang ada hanya tersisa bakso dan mie pangsit. Habis terjual dari pagi, katanya.
Karena tuntutan pekerjaan, tak ayal membuatku harus datang ke berbagai pelosok kabupaten seperti ini. Kunjungan-kunjungan seperti itu kadang menyajikan banyak macam fragmen kehidupan. Saya banyak menyaksikan betapa masih begitu banyak saudara-saudara kita di pelosok negeri ini yang masih terpinggirkan. Terisolasi. Terjebak dalam dimensi mereka. Mereka terisolasi gunung-gunung tak tertaklukkan. Medan yang berat, akses jalan tak ada, tak ada listrik, tak ada sekolah, fasilitas kesehatan sama minimnya, jaringan telekomunikasi apalagi internet sama mustahilnya. Sementara di bagian lain negeri ini para pejabat seperti menertawakan kebodohan anak negerinya. Berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan apapun. Dikotomi memang.
Saluendenga-Batupeluru, Mamuju Tengah Sulwesi Barat
Sabtu 26 Februari 2022
0 komentar: