Akhir agustus kemarin, saya berkesempatan
kembali mengunjungi tanah mistis “Toraja”. Ini kali ketiga saya berkunjung ke
tempat ini. kali ini saya bersama
seorang teman saya yang memaksa saya untuk menjadi guidenya. Toraja memang
menarik, menyuguhkan wisata yang berbeda dari tempat wisata manapun yang pernah kukunjungi di Indonesia. Wisata
Toraja cenderung lebih mistis dan menyeramkan. Berbeda dari obyek wisata di tempat lain di
sini obyek wisatanya cenderung unik yakni kuburan, rumah adat atau mayat-mayat.
Bayangkan hanya di Toraja kita bisa
menemukan ratusan tengkorak mayat-mayat manusia berserakan di goa-goa. Perpaduan
wisata budaya dan wisata alam menjadikan Toraja menjadi salah satu tujuan
wisatawan lokal dan mancanegara. Tercatat setidaknya tercatat hampir seratusan
ribu wisatawan ke Toraja setiap tahunnya. Selama dua hari di Toraja saya
mengunjungi tempat-tempat menarik, berbekal sepeda motor sewaan kami
mengelilingi banyak tempat di Toraja. Berikut beberapa tempat yang layak
dikunjungi versi saya di Toraja.
Bori Kalimbuang
Batu-batu berbagai ukuran itu berdiri kokoh, menjulang tinggi ke langit. Bebatuan ini seperti berasal dari zaman-zaman yang telah lama berlalu, zaman yang telah lama orang lupakan. Bebatuan ini seakan telah merekam begitu banyak peristiwa kehidupan orang-orang Toraja, dari masa ke masa. Menyimpan rahasia dan mistismenya. Aroma purba terasa begitu kuat di sini.
Tempat ini tidak seterkenal Londa,
Lemo atau Kete’ Kesu namun bagi saya tempat ini sangat layak di kunjungi saat
berkunjung ke Toraja. Letaknya tidak terlalu jauh dari kota, Kita hanya butuh
berkendara 10-20 Menit dari Rantepao.
Tak hanya batu-batu menhir nan
megah yang menghiasi Bori, di sini juga terdapat kuburan batu yang tak kalah tuanya
(Liang Paa’). Kuburan-kuburan batu yang masih berpenghuni dan masih digunakan
hingga sekarang. Juga terdapat Pohon “Tara” Pohon sejenis pohon sukun yang tumbuh
menjulang tinggi. Pohon ini bukan pohon biasa di dalam batang pohon ini
disemayamkan jasad-jasad anak kecil yang telah meninggal. Orang Toraja
menyebutnya ‘Passilirian’ atau ‘Liang Pia’. Pohon Tara dilubangi bagian
tengahnya lalu jenazah anak kecil diletakkan di sana. Setelah jenazah
diletakkan lubang pohonnya kemudian ditutupi degan ijuk. Lama kelamaan lubang
itu akan menutup dengan sendirinya. Jenazah bayi-bayi akhirnya menyatu dengan
pohon ini. Saya sendiri menyebut pohon ini Pohon arwah mengingatkanku pada
pohon arwah di film Avatar
Tidak ada catatan pasti mengenai
sejarah awal mula tempat ini, Bori’ Kalimbuang diperkirakan sudah ada
sejak tahun 1718 yaitu saat pembukaan rante (digontingan rante) untuk Ne
Ramba. Tempat ini cukup terawat, bersih dan asri. Tarif masuk seikhlasnya.
Museum Nek Gandeng
Shamanisme bukan Agama, tetapi lebih kepada ajaran hidup bagi
manusia. Shamanisme diajarkan turun
menurun diwariskan dari generasi ke Genarasi. Paham Shamanisme tradisional menempatkan alam sebagai titik sentral
kehidupan dan kematian. Alam manusia dan alam roh saling terhubung dan
kehidupan di dua alam tersebut saling terkait satu sama lain. Dalam shamanisme tradisional pohon adalah
medium komunikasi universal untuk berhubungan dengan shaman-shaman dan nenek
moyang yang telah meninggal dan para roh itu sendiri.
Di Toraja paham Shamanisme bisa
ditemukan dalam bentuk lain, paham ini disebut “Alu Todolo atau Alukta” tidak semua orang Toraja pemeluk Alu, bahkan hingga kini kepercayaan Alu
ini seperti semakin terpinggirkan. Agama-agama tua itu akhirnya tergantikan
agama-gama baru. Hampir 100% penduduk Toraja kini beragama Kristen. Meski
demikian ritual-ritual Alu tidak
serta merta ditinggalkan. Aluk masih bisa kita temui di mana-mana dalam
simbol-simbol ukiran rumah Tongkonan, dalam tradisi dan ritus-ritus harian
orang Toraja. Aluk ada pada sejarah dan legenda,
filosofi dan kebanggaan orang-orang Toraja.
Tempat ini dikelilingi
rumah-rumah Tongkonan berbagai ukuran, juga beberapa batu megalitik berdiri
ditengah-tengah lapangan utama. Tempat hewan kurban disembelih. Museum Nek
Gandeng pada awalnya merupakan tempat pelaksanaan prosesi pemakaman Ne’ Gandeng
yang meninggal pada Agustus 1994. Namun seiring perjalanannya Musem Ne’ Gandeng
tidak hanya digunakan untuk upacara
seremonial keluarga Ne Gandeng, masyarakat sekitar juga bisa menyelenggarakan
ritual adat di sana terutama upacara Rambu Solok tutur Petrus Pasulu, anak
bungsu Ne' Gandeng yang kini mengelola tempat ini.
Museum Ne' Gandeng dilengkapi
fasilitas penginapan Tongkonan dengan tarif Rp 500 ribu per Tongkonan yang
dapat menampung 30 orang. Selain rumah Tongkonan juga disediakan penginapan
kamar per kamar dengan tarif yang lumayan murah hanya sekitar
Rp200.000,00. Untuk urusan perut tempat
ini juga dilengkapi restoran sederhana dengan
Harga masuk terbilang murah hanya
Rp20.000,00 saja. Pemandangan di sini sangat indah, hamparan sawah menghijau,
langit biru bersih dan udara pegunungan yang sehat. Dari Rantepao, ibukota Toraja Utara, waktu tempuh ke Museum Ne' Gandeng hanya 15 menit saja.
Kette’ Kesu
Kette’ Kesu sudah menjadi ikon wisata kota Toraja, hampir semua wisatawan yang berkunjung ke Toraja pasti akan mengunjungi tempat ini. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Rantepao hanya beberapa menit saja berkendara.
Rumah-rumah tradisional ini sudah
tidak berpenghuni, berjejer rapi saling berhadapan. Konon katanya rumah adat yang terletak di desa ini
diperkirakan berumur lebih dari 3 abad. Kompleks perumahan adat ini dijaga
secara turun temurun. Pada dasarnya tempat ini seperti halnya Museum Nek
Gandeng yang merupakan kawasan cagar budaya dan pusat berbagai upacara adat
Toraja yang meliputi pemakaman adat yang dirayakan dengan meriah (Rambu Solo), upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka), serta berbagai ritual adat lainnya.
Tak jauh dari kompleks perumahan
ini, tepatnya di belakang tempat ini terdapat kuburan batu yang lumayan besar. Seperti
pada umumnya orang-orang Toraja yang dikebumikan di lubang-lubang batu. Di Kete
Kesu ini kita akan disuguhkan pemandangan yang lumayan mengerikan. Lubang-lubang
batu berisi patung-patung dan tengkorak-tengkorak manusia. bahkan disepanjang
pendakian ke puncak gua disisi-sisi tebing berserakan tengkorak-tengkorak yang
usianya kemungkinan sudah beratus-ratus tahun.
Pertama kali saya datang ketempat
ini saya cukup terkaget, deretan tengkorak kepala manusia dijejerkan begitu
saja diatas peti-peti kayu yang lapuk termakan usia. Tulang-tulang manusia
berserakan tak kala mengerikannya. Tak hanya itu di ceruk-ceruk tebing-tebing masih
tergantung peti-peti tua berisi tengkorak-tengkorak manusia. bahkan sebagian
sudah jatuh di dasar menyemburkan isinya kemana-mana.
Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana orang-orang toraja membuat tempat seperti ini dahulu. Hingga kini
tradisi itu masih terus dipertahankan. Kemampuan mengukir bebatuan itu
diwariskan secara turun menurun. Tak heran jika Toraja menjadi salah satu
tempat yang direkomendasikan dalam buku “1.000 Places To See Before
You Die (2003),” Patricia Schultz mengukuhkan Tana Toraja
sebagai salah satu destinasi utama di dunia yang harus dikunjungi sebelum kamu
mati.
Londa
Londa jauh lebih menyeramkan lagi, ini ke tiga kalinya saya ke Londa dan entah kenapa memasuki gua berisikan ratusan mayat itu tetap membuatku bergidik. Bahkan kali pertama saya mengunjungi tempat ini malamnya saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Saya mimpi buruk, tengkorak itu seperti mengejarku. Mengerikan sekali.
Selain itu ada kisa menarik di
pemakaman Londa ini. di bagian terdalam goa ini terdapat sepasang mayat yang
disandingkan. Konon katanya dua orang ini adalah sepasang kekasih yang
meninggal karena bunuh diri. Cinta mereka tidak direstui, semesta tak
mendukung. Cinta mereka menentang adat. Bak kisah Romeo dan Juliet, dua sejoli
ini pun memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka.
Puncak Lolai
Salah satu tempat yang lagi hits
di Toraja adalah tempat ini. Puncak Laloi atau negeri di atas awan, begitu kata
orang-orang. Tempat ini berada di
ketinggian 1.300 Mdpl tak heran jika di pagi hari kita bisa menyaksikan lautan awan
seperti kapas terhampar luas.
Puncak lolai sendiri baru
terkenal tak lama ini. lokasinya sekitar
20 kilometer dari Rantepo, ibu kota Toraja Utara. Untuk sampai di sini kita
akan melewati pendakian berkelok-kelok. Dengan suguhan pemandangan yang indah
di sepanjang jalan ditambah dengan rumah-rumah tongkonan yang semakin
mempermanis pemandangannya.
Namun bagi saya pribadi, tempat
ini tidak terlalu istimewa bila kita tidak menginap disini, apalagi kita hanya
bisa menikmati hamparan awan itu di pagi hari. Jadi kalian bila ingin menikmati
keindahan tempat ini saya sarankan untuk menginap. Sebagaimana di semua tempat
wisata, di Lolai juga sudah terdapat banyak penginapan dan homestay yang bisa
disewa dengan tarip berkisar antara 250-500 permalam. Jika pun tidak ingin bermalam di sana, di
Toraja sendiri sudah banyak rentalan kendaraan yang bisa di sewa dan kalian
bisa berangkat ke sana subuh-subuh hari. Agar bisa menyaksikan matahari terbit.
0 komentar: