Judul Buku : Honeymoon With My Brother
Penulis : Franz Wisner
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Jumlah Halaman : 592 Halaman
Harga : Rp. 69.000
ISBN : 9789790243866
Pernikahan impian. Tunangan sempurna. Karier politik yang gemilang. Franz Wisner, seorang pria mapan dengan kehidupan yang tampak tak bercela, merasa dirinya telah berada di puncak segalanya. Namun hidup, sebagaimana sering terjadi, menyimpan kejutan-kejutan yang tak bisa diprediksi. Hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan yang telah dirancang sempurna, tunangannya membatalkan segalanya. Undangan sudah tersebar. Tamu-tamu sudah diundang. Hotel sudah dibayar. Tapi cinta yang ia kira akan menjadi kekal, runtuh begitu saja.
Dalam pusaran rasa malu, kecewa, dan kebingungan, Franz menghadapi kenyataan pahit: ia tidak hanya kehilangan calon istrinya, tapi juga sebagian besar dari identitas dirinya yang selama ini melekat pada status sosial, pekerjaan, dan rencana hidup yang telah disusun rapi. Hidupnya, yang semula berjalan pada rel aman dan terencana, kini terasa kosong dan tak berarti.
Namun di tengah kehancuran itu, muncul satu keputusan impulsif namun penuh makna: mengubah bulan madu yang telah dipesan menjadi perjalanan bersama saudaranya, Kurt. Kurt — saudara laki-lakinya yang selama bertahun-tahun hubungannya renggang, dan hanya sesekali terdengar kabarnya. Mungkin orang lain akan mengurung diri dalam kamar, menangisi nasib, atau mencari pelarian dalam pekerjaan. Tapi tidak dengan Franz. Ia memilih untuk pergi — bukan untuk melupakan, tapi untuk menemukan kembali siapa dirinya sebenarnya.
Bersama Kurt, mereka memulai perjalanan yang awalnya hanya seharusnya berlangsung beberapa hari, namun berkembang menjadi perjalanan keliling dunia selama lebih dari setahun. Dari pasir-pasir gurun Maroko hingga pegunungan Peru, dari kuil-kuil di Thailand hingga pasar-pasar di Vietnam, keduanya tidak hanya menelusuri berbagai penjuru bumi, tapi juga membuka kembali ruang-ruang dalam hati mereka yang lama terkunci.
Dalam setiap tempat yang mereka kunjungi, Franz dan Kurt menyelami budaya, bertemu orang-orang asing yang ramah, menjajal makanan baru, dan bahkan menghadapi kesulitan-kesulitan tak terduga — semua itu dengan cara yang jenaka, reflektif, dan penuh kejujuran. Mereka tertawa bersama, bertengkar, saling membuka luka lama, dan membangun ulang hubungan persaudaraan yang dulu rapuh. Dari dua pria dewasa yang semula canggung satu sama lain, mereka menjelma menjadi sahabat sejati.
Apa yang membuat perjalanan ini begitu menyentuh adalah bagaimana Franz menulisnya dengan kejujuran brutal namun tetap dibalut humor yang cerdas. Ia tidak berusaha menjadi korban dalam kisahnya, tetapi justru membuka diri terhadap segala pelajaran yang ia temui di jalan. Perjalanan ini bukan hanya soal negara-negara eksotis atau momen Instagramable — ini adalah tentang memulihkan hati, menemukan arah hidup yang baru, dan belajar kembali tentang makna cinta dan keluarga.
Franz menyadari bahwa selama ini hidupnya terlalu terikat pada ekspektasi: menjadi pria yang sukses, menikah pada usia tertentu, punya pekerjaan yang terlihat membanggakan, dan mengikuti peta kehidupan yang dibuat oleh masyarakat. Tapi justru ketika peta itu terbakar, dan ia terjun ke wilayah tak dikenal tanpa arah yang pasti, ia benar-benar mulai hidup.
Kurt sendiri adalah sosok yang menarik. Ia berbeda dari Franz: lebih santai, lebih terbuka, dan lebih berani mengambil risiko. Meski pada awalnya terlihat sebagai pelengkap, seiring waktu Kurt menjadi cermin bagi Franz — menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kontrol dan prestasi, tetapi dari kemampuan untuk hadir di momen sekarang, tertawa saat gagal, dan menerima hidup apa adanya.
Salah satu kekuatan utama dari Honeymoon with My Brother adalah kemampuannya untuk menyentuh sisi emosional pembaca tanpa terasa sentimental. Setiap cerita tentang tempat yang mereka kunjungi dibumbui dengan refleksi pribadi, yang kadang jenaka, kadang getir, tapi selalu terasa manusiawi. Tidak ada kesan menggurui. Tidak ada drama yang dibuat-buat. Hanya dua saudara laki-laki yang mencoba mengisi kekosongan dalam hidup mereka dengan petualangan dan tawa.
Di balik cerita perjalanan yang penuh warna, ada benang merah yang mengikat semuanya: bahwa dalam hidup, kehilangan bisa menjadi awal dari penemuan; bahwa keluarga, seberapapun rumitnya, bisa menjadi tempat untuk pulang dan bertumbuh; dan bahwa dunia ini terlalu besar dan terlalu indah untuk diabaikan hanya karena satu luka hati.
Dalam perjalanan mereka, Franz mulai memahami bahwa cinta sejati tidak harus datang dari hubungan romantis. Ia menemukannya dalam bentuk lain: dalam pelukan kakaknya, dalam percakapan larut malam dengan orang asing, dalam napas yang ia hirup saat berdiri di pegunungan yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Ia belajar untuk mencintai hidupnya — dengan segala kekacauan, ketidaksempurnaan, dan kejutan-kejutan yang menyertainya.
Menjelang akhir buku, pembaca dibawa pada perasaan hangat: bukan karena Franz akhirnya “menang” dalam hidup, tetapi karena ia menerima dan mencintai hidup itu sendiri. Ia kembali dari perjalanannya bukan sebagai pria yang sama, tapi sebagai seseorang yang lebih jujur, lebih bebas, dan lebih manusiawi.
0 komentar: